Lihat ke Halaman Asli

Harry Ramdhani

TERVERIFIKASI

Immaterial Worker

Hukum Jalan

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14237893581495951587

ilustrasi

Satu-satunya yang tidak butuh alasansecara logisadalahmembunuh. Sebab, kau hanya diberi dua pilihan: suka atau tidak suka. Saya tahu itu dari orang-orang yang hidupnya di jalanan. Hukum jalan, begitu mereka menyebutnya.

Saya sendiri termasuk sering melakukan itu membunuh. Entah sudah berapa kali, yang pasti tiap saya tidak suka pada seseorang, pada apa yang mereka lakukan, maka pada saat itu pula saya membunuh. Kalau kau tidak percaya, akan saya ceritakan beberapa di antaranya.

Kali pertama saya membunuh, waktu itu sedang terjadi demo mahasiswa tentang kenaikan harga BBM. Seorang korlap demo itu, dengan bandana merah-putih di kepala, saya tarik dari pusat demostrasi.

"Mungkin ada yang bisa kalian lakukan daripada sekedar bikin macet di jalan," kata saya.

"Maksudmu apa?"

Pecahan batu yang ada tak jauh dari kami langsung saya benturkan ke kepalanya. Ia terjatuh. Tergeletak dengan wajah yang bersimbah darah. Saya seret dan saya letakkan tubuh korlap itu di parit. Barangkali, kata saya dalam hati, itu tempat yang cocok untuk pendemo yang malah lebih suka buat kericuhan tanpa membuat sama sekali perubahan.

Di seberang jalan sana, demostrasi makin tak karuan. Kalian bisa bayangkan, seperti tubuh yang berjalan tanpa kepala. Dan tak sampai 30 menit, demostrasi berangsur kendur. Pendemo menghentikan aksinya. Satu per-satu pergi dan yang lebih pentingjalan kembali lenggang. Dari kejadian itu saya tahu, membunuh ialah cara termudah menyelesaikan masalah.

Lalu, ketika saya sedang membersihkan emperan toko emas buat tidur. Selewat ada pengamen yang membuang bungkus rokok tepat di depan saya. Padahal tak jauh dari tempatnya tadi ada tempat sampah. "Bang, sini dululah. Kita nyanyi-nyanyi, nanti saya belikan kopi. Mana enak rokokan, tapi ndak ngopi. Kayak mandi tapi, ndak sabunan."

Pengamen itu sepertinya meng-iya-kan ajakan saya barusan. Ia menhampiri dengan langkah yang lebar. Kau mesti tahu..., ayolah, tak ada satu orangpun yang menolak bila ditraktir kopi, bukan?

Baru memainkan satu lagu, saya tinggal ia buat beli kopi. Bukan cuma itu, pada kopi itu pun saya larutkan juga lotion anti-nyamuk lavender. Ah, aroma kopi itu makin wangi. Makin nikmat dan memikat.

Lengking suara pengamen itu terdengar lirih saat menyanyikan lagu Iwan Fals – Rindu Tebal: Aku pergi meninggalkan coreng hitam di muka Ayah, yang membuat malu keluargaku. Kuingin kembali, mungkinkah mereka mau terima… rinduku?

Disesapnya kopi yang hitam dan amat pekat itu. Ia seakan menyesap rindu juga.

Dan lusa, setelah kejadian itu, ketika saya makan gorengan, kertas pembungkus dari koran itu memberitakan telah ditemukan seorang mayat di toilet umum dengan mulut penuh busa. Ia diduga overdosis narkoba. Sungguh malang nasib pengamen itu, sudah mati dibunuh, kabar dukanya pun berupa fitnah. Saya hanya bisa mendoakan para pembuat berita supaya berhenti berdusta.

Oia, kau mesti tahu, menjadi wartawan di kota ini sungguh mudah. Tiap hari mereka bisa membuat berita kriminal tanpa perlu bersusah-payah. Pembunuhan, pemerkosaan, penipuan, pencurian, penjarahan, kerusuhan, dan lain sejenisnya sering sekali terjadi. Bahkan, sampai berita itu belum selesai wartawan ditulis. Namun berita korupsi tidak laku. Kabar tentang siapa-siapa saja yang jadi korban, adalah kabar yang paling dicari. Setidaknya mereka jadi tahu, kalau salah seorang keluarganya belum mati terbunuh.

Kota yang saya tinggali, seperti daerah yang sudah disiapkan Tuhan; kalau-kalau neraka-Nya penuh. Dan tak lagi sanggup menampung.

Saya masih menyimpan silet yang baru kemarin saya pakai buat menguliti orang yang saya bunuh. Saya simpan di bungkus plastik rokok. Singkatnya, saya hanya tidak suka pada orang itu ketika saya merokok di angkutan umum. Sepanjang perjalanan ia menutup hidung, pura-pura batuk, dan berkali-kali membuka-tutup jendela. Di angkutan umum itu penumpangnya hanya kami berdua. Jadi saya pikir, wajar kalau merokok di dalamnya. Ketika ia turun, saya ikuti saja –meski saya belum sampai tujuan. Atau, tujuan saya barangkali sudah tepat walau bukan tempat: mengikutinya hingga jalanan benar-benar sepi dan membunuhnya.

Saya tidak suka kepura-puraan. Kalau tidak suka, bilang.

Kau boleh saja tak percaya pada semua cerita saya tadi. Saya mewajarkan karena kau pasti akan mempertanyakan itu dalam hati, “memang tidak ada polisi atau penegak hukum?”

Sebenarnya tugas polisi di kota ini hanya dua: pertama, menerima laporan kehilangan –apapun bentuknya. Kau juga tahu mungkin, hanya dicatat dan memberinya surat keterangan hilang sebagai bukti laporan tanpa ada tindakan berkelanjutan. Kedua, mengatur lalu-lintas. Kota ini tidak mengenal macet, polisi sangat tanggap tentang itu.

Sungguh, kau boleh tak percaya. Tapi, lebih baik percaya saja ‘lha. Saya takut bila saya tak suka malah mungkin kau orang yang saya bunuh selanjutnya. Ada yang membuat saya lega setelah menceritakan dan mengingat kembali ini, saya seperti bercermin: betapa saya tidak suka pada saya sendiri. Barangkali saya akan bunuh diri, tapi nanti.

Perpustakaan Teras Baca, 12 Februari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline