Lihat ke Halaman Asli

Harry Ramdhani

TERVERIFIKASI

Immaterial Worker

Penyair dan Tembok Puisinya

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14243998511452369501

sumber ilustrasi

Sebagai penyair, hidupnya tak jauh lebih baik dari seorang guru honorer. Yang bedakan hanya satu: guru honorer dapat upah kerja meski pembayarannya sering telat, tapi pasti; sedangkan penyair, belum tentu dapat bayaran dari tiap puisi yang ditulisnya. Seperti itulah hidup penyair. Kau tahu, cara penyair perindah hidupnya itu dengan terus menderita. Puisi-puisi itu ditulis dari timbunan dan tumpukan sedih dan luka.

Konon, tanpa kesedihan, penyair memang tak bisa menulis puisi. Dan tanpa penderitaan, seorang penyair terasa belum lengkap hidupnya.*

Ada guyonan yang penyair itu suka tiap mendapet upah menulis puisi, “boleh dicicil saja? Biar saya tetap bisa utang sana-sini dan dapat caci paling maki tiap telat bayarnya,” katanya sambil cekikikan.

Sehabis terima bayaran atas puisinya, penyair itu tak menulis puisi dulu. Ia lebih suka menulis list orang-orang yang kelak akan ia pintai utang. Asal kau tahu, kata penyair itu, bisa menyelesaikan daftar list utang sama membahagiakannya seperti menulis dua sampai tiga puisi dalam sehari.

Seperti langkah kaki, hidup penyair itu memang dari utang ke utang. Sedih, derita, dan luka adalah bayangannya. Malah kadang, bayangan itu mendahuluinya.

Pada siang yang lumayan terik. Saat matahari lebih silau dari permata intan yang kemilau, penyair pergi makan ke warteg. Penjaga warung itu bingung, yang penyair pesan tidak seperti biasa: nasi yang hanya dikecapi dan teh tawar yang panas sekali. penyair itu memesan nasi lengkap dengan ikan tongkol dan semur jengkol. Minumnya pun es teh manis. “Sekali-kali boleh, dong, makan ikan tongkol sama semur jengkol. Walau kenyangnya sama saja, tapi bau tongkol dan jengkol lebih tahan lama. Menghirup baunya yang tersisa dimulut, masih cukup bisa bikin kenyang dan kuat sampai besok siang.”

“Tapi tetap utang, kan?” tanya penjaga watung itu.

“Kalau itu tentu,”

Penjaga warteg, Mamang warkop, dan Tukang warung rokok, adalah orang-orang yang pasti ada didaftar list utangnya. Nama mereka ada diurutan satu sampai tiga. Sebab mereka bukan sekedar pemberi utang, bukan cuma sahabat, tapi bagi penyair itu, mereka sudah seperti malaikat penyelamat. Tuhan tahu apa yang hamba-Nya butuhkan.

Kadang, kalau-kalau penyair itu sudah tak diberi utang, penyair itu mengambil pena dari tas dan menulis puisi di tembok-tembok warung-warung itu. Awalnya memang dimarahi, namun setelah membaca puisinya, pemilik warung suka. Barulah penyair itu diberi utang.

Waktu itu, saya pernah coba datangi warung-warung yang suka penyair itu utangi. Selalu ramai tiap akhir pekan. Pada waktu yang bersamaan itu pula warung-warung itu alih fungsi menjadi museum. Museum memang tempat kedua kenangan bersemayam, setelah ingatan di kepala sudah tak cukup menampung.

Di sisi lain, salah satu syarat menjadi pahlawan, adalah mesti mati terlebih dulu. Penyair itu mendapat gelar Pahlawan Kehidupan dari Walikotanya, setelah ia ditemukan mati kelaparan di pinggir jalan. Ia tak lagi diberi utang oleh warung-warung itu karena temboknya sudah penuh ia tulisi puisi.

Perpustakaan Teras Baca, 19 Februari 2015

*) dari buku puisi Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan, anggitan Agus Noor.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline