[caption id="attachment_84368" align="aligncenter" width="550" caption="sumber gambar: joeldombek.com"][/caption] Beberapa hari lalu, ramai berita Facebook akan ditutup. Cukup heboh, baik di Facebook sendiri ataupun di Twitter. Di Indonesia maupun mancanegara. Ketika saya cek, kesal sekali rasanya. Ternyata banyak situs berita resmi Indonesia, jadikan lelucon murahan itu sebagai berita. Kalau hoax beredar di jejaring sosial, blog, atau forum, wajar. Tapi kalau situs berita resmi ikut-ikutan, keterlaluan. Tidak hanya satu, setidaknya saya lihat 4-5 situs resmi. Pengamatan saya, ada dua macam, satu yang menelan mentah-mentah isunya dan dijadikan berita. Semacam lagi, jelas sudah tahu itu hoax, namun masih diberitakan seolah-olah sungguhan, baru di kalimat terakhir, pembaca diberitahu itu cumahoax. Dua macam ini sama menjengkelkannya. Jurnalis, sedari awal sudah sangat diwanti-wanti masalah fakta dan fiksi. Haram hukumnnya mencampuradukkan kedua hal ini. Pemisahan fakta fiksi adalah jantung jurnalisme. Kalau sembarangan, kredibilitas taruhannya. Cuma ada dua, jurnalisme murahan atau berintegritas. Tidak ada gradasi. Beban Seorang Jurnalis Skeptis, itu syarat mutlak seorang jurnalis. Jurnalis senior, Luwi Ishawara bilang, “hanya dengan bersikap skeptis sebuah media bisa hidup.” Skeptis itu awal dari kepercayaan, kata Oscar Wilde. Kalau tidak, media cuma pesakitan cheerleader complex, maksudnya, bersifat hura-hura, ikut arus yang ada. Kalau sudah begini, media itu sedang gali kubur sendiri. Dalam 9 elemen jurnalisme yang termasyur itu, dikatakan disiplin verifikasi adalah esensi dari jurnalisme. Kalau tidak, jurnalisme tiada beda dengan propaganda, fiksi, atau infotainment belaka. Kadang, deadline jadi alasan jurnalis untuk tidak melakukan verifikasi. Tidak cukup waktu, katanya. Tapi dalam kasus hoax facebook ini, jelas deadline bukan pembenaran. Cukup baca sumber dari situs asli asal hoax itu, tidak sampai 1 menit, jelas situs itu khusus untuk berita parodi atau olok-olokan. Bukan situs berita serius. Bukan masalah deadline, tapi memang si jurnalis malas verifikasi, atau sengaja cari sensasi. Selain verifikasi, elemen jurnalisme lainnya adalah kesadaran bahwa loyalitas pertama jurnalis adalah terhadap masyarakat. Situs macam kedua tadi, yang sudah tahu isu itu hoax, tapi masih diberitakan, pasti “lupa” elemen ini. Kalau boleh menebak, motivasi tidak jauh dari meningkatkan jumlah pengunjung ke situsnya. Kejar target. Hal ini bahaya sekali. Media memang bersifat dwinatur. Satu sisi bersifat bisnis, karena butuh profit untuk bisa hidup, tapi di sisi lain, punya tanggung jawab sosial, yang tidak jarang berbenturan dengan sifat bisnis. Walau demikian, kata Andreas Harsono, di sini pula uniknya. Tanggung jawab sosial itu sekaligus adalah sumber keberhasilan perusahaan mereka. Media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri. Andreas kasih contoh sejarah awal dua harian raksasa, The New York Times dan The Washington Post. Eugene Meyer, yang membeli The Washington Post kala itu, menyatakan di halaman surat kabar-nya,“Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat.” Terlalu idealis, olok sebagian orang. Tapi terbukti benar, sampai sekarang dua harian itu tercatat sebagai institusi media yang prestisius, sekaligus bisnis yang menguntungkan. Mendengarkan Hati Nurani Terakhir, 9 Elemen Jurnalisme ditutup dengan poin penting. Setiap jurnalis harus mendengarkan hati nuraninyasendiri (personal conscience). Saya perhatikan beberapa komen pembaca di situs-situs yang beritakan masalah penutupan facebook. Karena ditulis juga bahwa video, notes, foto dan semacamnya akan dihapus, tidak sedikit yang panik. Ada yang marah, histeris, bahkan bertengkar di ruang komentar. Agak konyol, tapi itu realitanya. Bagaimana hati nurani jurnalis yang sengaja permainkan berita untuk profit? Ingat, pengaruh media begitu powerful, suka tidak suka, setuju tidak setuju. Profesi jurnalis bukan main-main. Bahkan, journalism kills, tulis Ian Hargreaves, jurnalis terkemuka di Inggris. 15 Oktober 1978, seorang guru matematika, Arnold Lewis, ditelpon oleh jurnalis yang telah selesai menyamar, memberitakan kebiasaan Lewis mengadakan (maaf) pesta seks di karavannya. Tahu berita akan terbit, Lewis ambil jalan pintas, bunuh diri, dalam karavannya. Industri media memang keras. Jurnalis dituntut banyak hal, tapi kadang kompensasi tidak sepadan. Tapi itulah pilihan hidup. Idealis dan realistis akan berdialektika. Jurnalisme terus berjalan. Pada akhirnya, hanya ada dua pilihan. Menjadi jurnalis berintegritas, atau jurnalis murahan. Selesai, catatan: Dalam penulisan ini, saya pakai tiga buku sebagai rujukan. Pertama adalah Catatan-catatan Dasar Jurnalisme dari Luwi Ishwara. Saya juga sangat berhutang pada buku Andreas Harsono, A9ama Saya adalah Jurnalisme, sebagai rujukan mengenai 9 Elemen Jurnalisme dari Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Terakhir, cerita Ian Hargreaves, saya dapatkan dari buku Journalism: A Very Short Introduction, oleh-oleh dari kakak saya. Jangan tertipu judul, walau dibilang a very short introduction, isinya cukup njelimet. Mungkin otak saya yang lamban, atau standar bukut itu yang terlalu tinggi. Tulisan ini pernah saya muat dalam blog saya sendiri, kalau berkenan silahkan berkunjung. Sudah lama saya resah dan jengkel dengan masalah hoax di internet. Kali ini otokritik sesama jurnalis. Saya harap kalau mungkin, saya tulis tentang media literacy, bagi pengguna media, agar kita tidak gampang termakan isu-isu tak jelas oleh media.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H