Kemarin, aku bertemu dengan seorang lilin tua bijak. Umurnya kira-kira kurang 2 tahun dari usia ayah. Dia senang berbagi cahaya di tempat yang dinilai tak layak. Sementara setengah tubuhnya telah habis meleleh.
Rasa sedikit iri muncul padanya karena akupun ingin jadi lilin yang hebat. Tapi melihat warna api saja tubuh ini sudah gemetar. Terkadang aku juga takut jika iklhasku akan datang terlambat. Sepertinya aku telah lama memilih jadi redup dibandingkan sinar.
"Panaskah?" kutanyai si lilin tua begitu. Anggukan kecil ia berikan lalu ditambah senyuman besar. Katanya ia sangat menikmati panas itu. Tak ada yang perlu ditakutkan dari lelehan.
Toh hanya dua kemungkinan jalan hidup seorang lilin. Habis terbakar dengan kebanggaan atau habis dibuang karena tak terbakar.
Kupang, 12 Januari 2019
HAD
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H