Kiko bersiap dengan gunting tanaman di tangannya. Dengan langkah yang tegak, ia berjalan menuju pohon anggur di halaman depan rumahnya. Pohon anggur yang sudah jarang ia urus karena kesibukannya dalam bekerja kantoran.
Tidak seperti biasanya. Keceriaan yang sering menghiasi wajahnya setiap kali ia menjalankan hobinya ini, tak tampak sama sekali. Ia masih menyimpan rasa kesal pada teguran dari sahabatnya di hari kemarin. Bukan tanpa alasan ia menerima teguran tersebut. Kiko merupakan tipe orang yang emosian. Jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendaknya, ia akan segera marah-marah dengan tidak terkontrol.
Dalam pekerjaan, banyak yang mengakui ketrampilan dan kerja kerasnya. Namun banyak juga yang tidak menyukai sifat pemarahnya. Kali ini, kemarahannya pada Ino, sang bawahan di kantor sudah terlampau di luar batas.
Kesalahan dari Ino bisa dibilang tidak terlalu fatal. Ia terlambat memasukan laporannya lima belas menit dari target waktu yang diberikan. Mungkin bagi orang lain, hal itu memang bisa ditolerir, tapi tidak untuk Kiko. Bahkan Ino dicerca dengan kalimat-kalimat yang mulai merendahkan. Sang bawahan yang masih cukup sabar dengan atasannya tersebutpun hanya bisa tertunduk.
Melihat kejadian tersebut, Peter, sang sahabat datang untuk menegurnya. Peter menganggap bahwa Kiko sudah terlalu berlebihan dalam memarahi sang bawahan. Namun, bukan kesadaran yang didapati, Kiko justru merasa tidak terima dengan teguran sahabatnya. Adu mulut lalu terjadi di antara mereka hingga mereka pulang kantor.
"Ah, dari pada mengingat hal yang tidak penting tersebut, lebih baik ku urusi pohon anggurku. Lebih berguna dari pada memikirkan mereka." Batin Kiko sambil memandangi beberapa bagian pohon anggur yang sudah mulai kering. Hal tersebut merupakan pertanda bahwa bagian tersebut harus segera di pangkas agar tidak menganggu pertumbuhannya.
Gunting yang sangat tajam di tangannya tersebut lalu diarahkan pada bagian pohon anggur yang hendak dipangkas. Dengan kekuatan penuh ia menggerakan gunting tersebut. Namun, betapa kagetnya Kiko ketika ia sangat kesusahan menggunting dahan pohon anggur di hadapannya itu. Dahan yang telah kering itu sangat keras bagaikan batu.
Ia lalu kembali mencoba beberapa kali untuk menggunting dahan tersebut dengan sekuat tenaga. Bukannya dahannya yang putus, malah nafasnya yang hampir putus karena rasa capek yang dirasakannya.
Ia lantas terheran-heran dengan pohon anggur kesayangannya ini. Apa yang menjadi penyebab kerasnya dahan yang sudah menjadi pengganggu tersebut? Rasa heran lalu berganti menjadi amarah. Ia lalu sekali lagi mengarahkan gunting tersebut pada dahan yang sedari tadi susah sekali digunting.
Sebelum menggunting, terlebih dahulu ia mengucapkan beberapa hal pada pohon di hadapannya ini. "Ayolah. Kalau dahanmu yang sudah kering ini tidak dipangkas, kamu tidak akan berbuah dengan baik, bodoh!" ucapnya dengan penuh emosi.
Dahan yang dengan sekuat tenaga digunting tersebut akhirnya terputus juga. Bagaikan mengerti apa yang dikatakan oleh tuannya, dahan dari pohon anggur tersebut menjadi terasa sangat enteng ketika digunting.