[caption id="" align="alignleft" width="368" caption="Jusuf Kalla ketika menjenguk Syaukani pada Januari 2009 (Sumber: jawapos.co.id)"][/caption] Berdasarkan Grasi No. 7/G Tahun 2010 tertanggal 15 Agustus 2010 yang ditandatangani Presiden SBY, Syaukani Hassan Rais, yang telah menjalani hukuman selama sekitar tiga tahun penjara, akhirnya dapat langsung bebas. Berbagai pro dan kontra terus mencuat sampai saat ini. Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Syafii Ma'arif, Amin Rais, Adnan Buyung Nasution, Yusril Ihza Mahendra, dan banyak tokoh lainnya mendukung keputusan pemerintah untuk memberikan grasi kepada Syaukani dengan alasan kemanusiaan. Di sisi lain, KPK dan aktivis anti korupsi lainnya menentang pemberian grasi atau remisi kepada para koruptor. Pendapat masyarakat pun juga terbelah menjadi dua. Namun sangat menarik untuk mendengar pendapat beberapa tokoh masyarakat Kutai Kertanegara sendiri yang secara tidak sengaja bertemu dengan penulis di Balikpapan beberapa hari yang lalu. Untuk melindungi kerahasiaan tokoh masyarakat tersebut, penulis sengaja tidak menyebutkan nama dan lokasi tempat kami ngobrol tentang heboh pemberian grasi kepada Syaukani. Tokoh masyarakat tersebut begitu kecewa dengan sikap pemerintahan SBY yang memberikan grasi kepada Syaukani. Dimana letak keadilan bagi masyarakat Kutai Kartanegara yang bertahun-tahun selama pemerintahan Syaukani dijadikan obyek Syaukani untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya? Beliau mengakui bahwa Syaukani berhasil membuat proyek-proyek mercusuar di Kutai Kartanegara, seperti Pembangunan Pulau Kumala yang menelan biaya hingga ratusan milyar rupiah namun tidak bernilai ekonomis bagi rakyat Kutai Kertanegara selain kebanggaan semu, , Pembangunan sarana perkeretaapian, Pembangunan lapangan terbang Loa Kulu, Pembangunan candi di tengah Pulau Kumala, Pembangunan pelabuhan di Pendingin, Pembangunan lapangan golf di sebelah Hotel Singgasana, dan lain-lain. Namun demikian rakyat Kutai Kartenagara masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan proyek-proyek mercusuar tersebut banyak menguntungkan Syaukani secara pribadi dan kroni-kroninya akibat dugaan mark up yang berhembus kencang di Kutai Kartanegara. Tabel berikut menggambar beberapa indikasi korupsi yang belum disentuh oleh KPK: [caption id="" align="aligncenter" width="678" caption="Sumber: berbagai kliping koran yang dikumpulkan seorang kawan"] [/caption] Sebagai catatan Syaukani ditahan sejak 16 Maret 2007 atas tuduhan telah melakukan empat tindak pidana korupsi yang merugikan negara Rp120 miliar saat menjabat sebagai bupati Kutai Kartanegara pada tahun 2001-2006. Perbuatan korupsi dimaksud adalah mengeluarkan SK Bupati untuk membagikan dana bagi hasil migas bagi Muspida, penggunaan APBD untuk pembangunan Bandara Loa Kulu di Tenggarong, penggunaan dana bantuan sosial, dan penunjukan langsung proyek studi kelayakan Bandara Loa Kulu. Sebelum bebas, Syaukani mengganti kerugian negara serta membayar denda total senilai Rp49,6 miliar melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan cicilan terkahir bulan Juli 2010. (sumber: www.vivanews.com). Jika melihat data-data di atas, Syaukani merupakan salah seorang koruptor besar. Bahkan menurut tokoh masyarakat Kutai Kartanegara yang bertemu dengan penulis di Balikpapan tersebut, banyak pebisnis yang "dikibuli" Syaukani. Penulis juga sempat berkomunikasi dengan 2 orang pengusaha yang merasa ditipu ketika menjalankan bisnisnya di Kutai Kertanegara. Mereka begitu kecewa dengan pengampunan presiden kepada Syaukani. Menurut mereka, banyak sekali proyek-proyek lain di Kutai Kertanegara yang amburadul. Proyek pengecatan Masjid Hasanudin senilai Rp 6 milyar, pemasangan pipa PDAM senilai Rp 52 milyar, penurapan sheet pile beton sepanjang 4 km di Tenggarong senilai Rp 122, 5 milyar, dan masih banyak proyek lain yang juga diduga bermasalah. Sayang KPK hanya membidik 4 kasus di atas. Sebagai seorang pegawai negeri yang kemudian menjadi Bupati, Syaukani dikenal sangat kaya raya. Kekayaannya tersebar dimana-mana, mulai dari Bandung, Malaysia, dan konon sampai di Swiss. Sebagai gambaran untuk di Kutai Kartanegara saja, Syaukani berhasil membangun villa di Desa Meluhu seluas 14 ha dengan fasilitas lapangan parkir helicopter dan mobil golf, sarana jalan menuju villa sepanjang 3 km, semen cor plus lampu merkuri, dan mampu membangun pacuan kuda di Desa Meluhu. Wajar jika kemudian Syaukani diangkat menjadi bendahara Golkar pada masanya dan mampu membayar puluhan pengacara dan paranormal ketika terjerat kasus di KPK. Tidak heran jika banyak pejabat negara seperti Jusuf Kalla dan Hamid Awaluddin (mantan Menkumham) menjenguk Syaukani di rumah sakit ketika berstatus tersangka. Juga wajar jika banyak pejabat negara mendukung pengampunan Syaukani atas nama kemanusiaan. Hari-hari ini Syaukani dan keluarganya merupakan pihak yang sangat berbahagia mendapat pengampunan dari Presiden SBY. Sebentar lagi, yang bersangkutan akan pulang kampung, disambut seluruh pendukungnya, termasuk Rita Widyasari Syaukani (Bupati Kutai Kartangera periode 2010-2015) yang merupakan anak kandungnya. Sedangkan kawan saya yang pada masanya banyak berseberangan dengan Syaukani sudah bersiap-siap pindah dari Kalimantan Timur karena memang dipindahtugaskan oleh kantornya … bukan karena takut Syaukani kembali sebagaimana olok-olok penulis kepadanya. Pertanyaan terakhir yang harus kita jawab bersama-sama adalah pantaskah Syaukani mendapatkan pengampunan (grasi) dari Presiden SBY yang berjanji akan menjadi panglima dalam pemberantasan korupsi? Jika tinjauannya adalah kemanusiaan atau alasan yuridis, jawabannya adalah layak dan rasional. Namun jika pertanyaannya adalah pada rasa keadilan, terutama rasa keadilan rakyat yang pernah menjadi korbannya baik langsung maupun tidak langsung, apakah pantas seorang koruptor yang merugikan negara dan hak rakyat Kutai Kartanegara puluhan milyar (yang sudah terbukti) atau bahkan ratusan milyar (lihat tabel di atas) yang tidak dapat dijangkau aparat penegak hukum diberi pengampunan di saat korupsi sudah menjadi kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime)? Pantaskah seorang koruptor besar seperti Syaukani mendapatkan pengampunan di saat pemerintah sedang berkampanye memberantas korupsi? Jawabannya hanya pada nurani masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H