Benarkah Indonesia merupakan negara terkorup? Hasil survei bisnis yang dirilis Political & Economic Risk Consultancy atau PERC pada tanggal 8 Maret 2010, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 9,07 dari nilai 10. Pada tahun 2008, Indonesia menduduki posisi ke-3 dengan nilai tingkat korupsi 7.98 setelah Filipina (tingkat korupsi 9.0) dan Thailand (tingkat korupsi 8.0). Sedangkan pada tahun 2009, Indonesia juga dianggap sebagai negara terkorup dari 16 negara yang disurvei oleh PERC. Hasil survei PERC ini berbanding terbalik dengan survei Transfarency Internasional (TII) yang menunjukkan adanya peningkatan persepsi terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, dari 2.6 pada tahun 2008 menjadi 2.8 pada tahun 2009. Kedua survei di atas tampak berbeda 180 derajat. Namun PERC dalam laporannya sebenarnya memuji keberhasilan perang atas korupsi di Indonesia. Perang korupsi yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru terhambat politisasi isu yang dilakukan koruptor (corruptor fight back). "(Hasil) korupsi digunakan oleh para koruptor untuk melindungi mereka sendiri dan untuk melawan reformasi. Seluruh perang terhadap korupsi terancam bahaya," sebut laporan itu yang dikutip Kompas.com. Artinya survei PERC dan TII di atas sejalan dengan klaim pemerintahan SBY yang mampu memproses hukum lebih dari 500 pejabat publik (tertinggi sejak Indonesia merdeka). Publik juga bisa melihat sepak terjang KPK yang begitu ditakuti koruptor. Harus diakui bahwa perang terhadap korupsi di Indonesia belum sepenuhnya berhasil sesuai harapan. Namun perang terhadap korupsi itu sendiri menunjukkan tren yang positif. Sayang pemerintah seolah berjalan sendirian dalam perang tersebut. Masyarakat masih tampak “cuek”. Koruptor masih mendapat posisi yang terhormat meskipun telah nyata-nyata mendapat vonis bersalah. Lihat saja Nurdin Halid atau Bob Hasan masih dipercaya menjadi pemimpin. Atau eks Walikota Medan, eks Gubernur Aceh, atau eks Sekda Bintan yang tetap disambut bak pahlawan ketika bebas dari hukuman. Masyarakat masih memposisikan mereka sebagai pahlawan meskipun vonis pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Kembali pada pertanyaan, benarkah Indonesia merupakan negara terkorup? Berdasarkan uraian di atas, klaim tersebut tampak terlalu dibesar-besarkan. Korupsi di Indonesia memang terjadi hampir di semua sektor dan semua level pemerintahan. Namun seberapa parahkah korupsi itu terjadi? [caption id="" align="alignleft" width="448" caption="Pengadilan Tipikor menjadi harapan pemberantasan korupsi terhadap keadilan "][/caption] Korupsi terhadap kesejahteraan. Korupsi ala BLBI dan LC “Fiktif” BNI yang merugikan negara triliunan rupiah. Korupsi dana bencana alam yang terjadi dimana-mana. Korupsi di bidang kehutanan dan pertambangan atau korupsi di bidang migas telah merampas hak rakyat untuk bisa hidup sejahtera. Uang yang seharusnya dipergunakan untuk mensejahterakan masyarakat, diambil secara tidak sah oleh para koruptor. Pertanyaannya, berapa besar uang yang dikorupsi dari berbagai kasus di atas? Apakah program peningkatan kesejahteraan yang telah dan sedang berjalan terhapus begitu saja oleh hujan sehari yang bernama korupsi kesejahteraan di atas? Wahai bangsaku, marilah kita jujur pada diri sendiri. Coba kita lihat sisi positif (upaya peningkatan kesejahteraan) yang sudah dan sedang berjalan, seperti keberhasilan bangsa Indonesia dalam swasembada beras, pertumbuhan perekonomian di atas 6% per tahun, prosentase pengangguran dan kemiskinan yang terus menurun, dan berbagai program yang membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti program BLT, berbagai subsidi seperti subsidi benih, pupuk, BBM, dan seterusnya. Bangsa Indonesia akan semakin inferior, tidak percaya pada dirinya sendiri, jika terus menerus diguyur dengan informasi yang kurang proporsional. Berita tentang korupsi terhadap kesejahteraan begitu di-blow up, sebaliknya berita tentang program peningkatan kesejahteraan yang terus berjalan secara bertahap kurang mendapatkan porsi pemberitaan. Korupsi terhadap keadilan. Mafia hukum bergentayangan dimana-mana, mulai di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, ekskusi, sampai di penjara. Keadilan masih semu. Dengan mengatasnamakan undang-undang, aparat penegak hukum dengan gampang menghukum rakyat kecil yang tidak mempunyai kekuatan. Sebaliknya, atas nama undang-undang, aparat penegak hukum membebaskan penjahat dari tuduhan melakukan tindak pidana, meskipun secara kasat mata dan logika awam bisa dengan mudah dibuktikan kejahatan si orang besar tersebut. Marilah kita renungkan kembali apa yang sudah dilakukan bangsa ini. Benarkah sudah sedemikian parah terjadinya korupsi terhadap keadilan ini? Pengadilan Tipikor terbukti mampu menjadi harapan baru, yaitu tidak ada satu pun koruptor yang diadili terbebas dari hukuman. KPK dan Satgas Mafia Hukum mulai menunjukkan taji. Lebih dari 500 pejabat diadili. Begitu banyak pejabat yang selama ini tidak tersentuh hukum, mulai dari bupati, gubernur, menteri, bahkan anggota DPR, bergantian divonis bersalah oleh pengadilan. Perang terhadap korupsi keadilan baru saja dimulai. Wahai bangsaku, marilah kita coba lihat sudah begitu banyak usaha dalam memerangi korupsi keadilan. [caption id="" align="alignleft" width="368" caption="Pilkada di Jatim yang berlangsung sukses "] [/caption] Korupsi terhadap demokrasi. Kecurangan dalam pemilu dan pilkada di berbagai tempat sering kita temukan. Demokrasi telah dinodai dengan perilaku korupsi berupa politik uang. Para pemilih ditipu dengan iming-iming uang recehan plus janji-janji surga. Ketika pesta demokrasi selesai, janji-janji surga sedikit sekali yang dipenuhi. Rakyat terus-menerus menjadi obyek keserakahan segelintir orang yang bernafsu berkuasa. Betul korupsi terhadap demokrasi ini merupakan suatu kenyataan yang sulit dibantah (meskipun juga sulit dibuktikan secara yuridis). Namun demokrasi di Indonesia sejak era Presiden Habibie harus diakui sudah mengalami banyak kemajuan. Publik diberikan fasilitas berupa keterbukaan informasi, kebebasan mengemukakan pendapat, kemerdekaan memilih dan berdemokrasi. Keberhasilan pelaksanaan pemilu dan pilkada di berbagai daerah menunjukkan semakin dewasanya masyarakat dalam berdemokrasi. Rasanya jauh lebih banyak keberhasilan demokrasi di Indonesia dibandingkan terjadinya korupsi terhadap demokrasi. Masihkah kita menafikan kenikmatan tersebut dengan membandingkan dengan noda politik uang? Korupsi terhadap pembangunan. Konon anggaran belanja negara dikorupsi 30%. Konon banyak koruptor doyan makan aspal, besi, dan semen. Pengadaan barang dan jasa menjadi santapan empuk untuk dijarah. Media massa selalu menghakimi perilaku korup dengan mengekspos besar-besaran kasus tersebut. Kampanye perang terhadap korupsi membuat masyarakat seolah diberi gambaran betapa luar biasanya koruptor memakan "kue pembangunan". Sayang media massa kurang berimbang dalam memberi informasi keberhasilan pembangunan. Jembatan Suramadu tidak akan mungkin bisa berdiri jika terlalu banyak anggarannya dikorupsi, gedung-gedung pemerintahan tidak akan terwujud, jalan-jalan di kabupaten, provinsi, dan jalan nasional tidak akan mungkin ada jika korupsi terhadap pembangunan sudah begitu merajalela. Betul memang ada oknum pejabat yang memanfaatkan pembangunan untuk kepentingan pribadi atau golongan, namun apakah ulah segelintir oang tersebut membuat kita menutup mata keberhasilan pembangunan yang jauh lebih besar? [caption id="" align="alignright" width="240" caption="Rakyat di pelosok desa menikmati pendidikan"] [/caption] [caption id="" align="alignleft" width="192" caption="Tim Olimpiade Fisika yang mengharumkan bangsa"] [/caption] Korupsi terhadap pendidikan. Anggaran pendidikan mencapai 20% dari APBN. Pemerintah telah mampu menunaikan amanah UUD 1945 Pasal 31 Ayat (4) yang diperjelas melalui UU 20 tahun 2003. Kementrian Pendidikan Nasional banyak meluncurkan berbagai program yang mampu mensejahterakan guru, siswa, dan berbagai pihak yang terkait. Gelontoran dana melalui BOS (Bantuan Operasional Sekolah), DAK Bidang Pendidikan, dan alokasi dana lainnya telah mampu mengangkat tingkat pendidikan lebih baik. 90% masyarakat Indonesia telah mampu mengenyam pendidikan dasar. Keberhasilan putra-putri Indonesia dalam berbagai ajang internasional seperti olimpiade fisika, olimpidade matematika, dan berbagai ajang bergengsi lainnya dalam dunia pendidikan seharusnya bisa membuat kita bangga. Ada gula ada semut. Begitu pepatah yang relevan untuk menggambarkan adanya perilaku korup dalam pengelolaan dana pendidikan. Namun janganlah dibayangkan begitu banyak semut (koruptor) yang memakan dana pendidikan. Lihat saja Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan mampu merenovasi puluhan ribu bangunan sekolah di seluruh Indonesia, mampu menyediakan jutaan buku ajar dan buku pengayaan pengajaran, mampu menyediakan ruang-ruang perpustakaan untuk mencerdaskan bangsa, dan sebagainya. Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke sudah mulai bisa menikmati pendidikan, meskipun belum sesuai dengan harapan kita semua.Oleh karena itu, sudah saatnya bangsa Indonesia bangga dengan tren positif peningkatan pendidikan di Indonesia. [caption id="" align="aligncenter" width="614" caption="Pelayanan Posyandu yang banyak kita temui di berbagai pelosok desa "] [/caption] Korupsi terhadap kesehatan. Di era reformasi ini, sering kita lihat tayangan beberapa pasien yang terlantar di rumah sakit atau berbagai kesulitan pembiayaan kesehatan lainnya. Korupsi terhadap alat kesehatan (alkes) dan obat-obatan sering menjadi berita di media massa. Itulah realita yang memprihatinkan kita. Namun publik juga harus tahu atas prestasi pemerintah yang berhasil meningkatkan anggaran kesehatan hingga mencapai tiga kali lipat (tertinggi sejak orde baru) meskipun memang belum sampai 3% dari APBN, adanya pelayanan kesehatan gratis bagi rakyat miskin (melalui askekin/jamkesmas), sampai digalakkannya program posyandu di berbagai pelosok desa di Indonesia. Sekali lagi kita harus proporsional dalam memandang berbagai kemajuan dalam bidang kesehatan meskipun masih ada beberapa gelintir manusia yang melakukan korupsi terhadap kesehatan. [caption id="" align="alignleft" width="98" caption="Ayo buktikan cintamu kepada negeri ini dengan mendukung program pemberantasan korupsi"] [/caption] Korupsi memang telah menjadi penyakit kronis bangsa Indonesia. Namun masyarakat juga harus sadar bahwa merekalah yang memungkinkan tumbuh suburnya korupsi di Indonesia. Selama ini koruptor sering dipuja dan mendapat tempat terhormat di lingkungan masyarakat karena kekayaan dan kedermawanan mereka. Masyarakat seolah menutup mata dengan fakta bahwa penghasilan dibandingkan gaya hidup mereka sangat tidak sebanding. Gaya hidup koruptor jauh melebihi penghasilan mereka. Lihat saja kasus Gayus, seorang PNS golongan III-a yang mempunyai kekayaan milyaran rupiah. Namun masyarakat begitu menghormatinya karena kedermawanannya. Kondisi inilah yang menumbuhsuburkan korupsi di Indonesia. Idealnya media massa membantu pemerintah untuk melakukan kampanye positif dalam perang melawan korupsi. Masyarakat harus dididik dan diberi pemahaman tentang korupsi, sehingga mampu melawan koruptor secara maksimal. Koruptor tidak akan berani hidup di tengah-tengah masyarakat yang berani memperlakukan koruptor seperti “sampah” di lingkungannya. Oleh karena itu himbauan dari NU dan Muhamadiyah untuk tidak men-shalat-kan koruptor patut didukung. Masyarakat harus disadarkan bahwa korupsi begitu merugikan kita semua. Sungguh berbagai korupsi terhadap kesejahteraan, keadilan, pembangunan, pendidikan, dan kesehatan akan mudah dihilangkan dari bumi pertiwi jika pemerintah dengan dukungan penuh masyarakat bersungguh-sungguh dalam perang melawan korupsi. Momen Ulang Tahun Kemerdekaan ke-65 ini idealnya menjadi tonggak perang terhadap korupsi. Jika korupsi sebagai akar kejahatan dan akar berbagai masalah di Indonesia mampu dibasmi secara signifikan, maka Indonesia akan menjadi negara besar. Indonesia harus merdeka dari korupsi. Ayo kita perangi korupsi sesuai dengan kapasitas kita. Merdeka!! Nb. Gambar diambil dari googling.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H