Lihat ke Halaman Asli

Layakkah Jimly Assiddiqie menjadi ketua KPK?

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photobucket

[caption id="" align="alignleft" width="192" caption="Jimly Assiddiqie dan SBY (sumber: googling)"][/caption] Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam jupa pers di Istana Cipanas, Jum’at (18/6) menyatakan,“Kalau Pak Jimly ingin maju sebagai calon ketua KPK, tentu dalam hal ini, di mata saya, memenuhi syarat dan saya kabulkan.” Pada kesempatan itu, SBY juga menyarakan agar Jimly mengundurkan diri sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden untuk menghindari dikait-kaitkannya Jimly, jika terpilih sebagai ketua KPK, dengan presiden yang dianggap menjadi sponsor. (Kompas, 19/6 hal. 2). Pernyataan SBY di atas bisa diartikan sebagai dukungan tidak langsung kepada Jimly Assidhiqie untuk menduduki jabatan ketua KPK. Pertanyaannya adalah layakkah Jimly Assiddiqie menjadi ketua KPK? Dalam tulisan saya sebelumnya yang mempertanyakan kelayakan OC Kaligis menduduki ketua KPK, setidaknya terdapat 2 persyaratan untuk menduduki jabatan sebagai ketua KPK. Pertama adalah persyaratan sebagaimana tertuang dalam Pasal 29 UU 30/2002 tentang KPK yang meliputi pembatasan umur, integritas, kapabilitas, dan seterusnya. Dalam konteks ini, Jimly tampaknya bisa lolos dengan mudah (beda dengan OC Kaligis yang terbentur masalah usia dan ”intergritas”). Namun demikian perlu dicatat bahwa nama (anak) Jimly sempat masuk dalam daftar penerima Dana Abadi Umat sebagaimana tertuang dalam dakwaan di sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili mantan menteri agama Said Agil Siraj. Begitu juga dengan kapabilitasnya sebagai dosen/pakar hukum tata negara dianggap kurang sesuai dengan KPK yang membutuhkan ”pakar” hukum pidana. Satu lagi catatan penting adalah ketidakkonsistenan Jimly terkait "desakan" masyarakat agar dirinya melamar menjadi ketua KPK. Jimly menyatakan,"Saya bersedia asal tidak ngelamar, karena tidak etis baru diangkat jadi wantimpres kok mau mencari pekerjaan di tempat lain." Sejarah mencatat bahwa pada akhirnya Jimly datang ke kantor Depkumham untuk melamar sebagai ketua KPK. Berikut pernyataannya ketika mendaftar,""Menurut saya tidak baik bagi saya kalau kurang bertanggung jawab. Begitu banyak harapan dari masyarakat lalu kenapa saya tidak mendaftarkan diri. Insya Allah saya dapat mengambil tanggung jawab itu." Pembahasan berikutnya terkait ”persyaratan” kedua, yaitu terkait filosofi atau latarbelakang terbentuknya KPK menjadi hal yang menarik untuk didiskusikan, apakah Jimly Assiddiqie layak untuk memimpin KPK. Sejarah berdirinya KPK adalah akibat semakin maraknya korupsi baik secara jumlah (kuantitas) maupun kecanggihan modus operandinya (kualitas) disertai rendahnya kepercayaan publik pada kinerja kejaksaan dan kepolisian dalam memberantas korupsi. Dalam penjelasan UU 30/2002 tentang KPK dijelaskan bahwa korupsi sudah merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), oleh karena itu diperlukan lembaga baru yang mampu memberantas korupsi dengan cara-cara luar biasa. Definisi korupsi sebagai kejahatan luar biasa tidak perlu diperdebatkan lagi. Oleh karena itu menjadi menarik untuk membahas apa yang dimaksud dengan memberantas korupsi dengan cara-cara luar biasa. Mendiang Prof. Satjipto Sahardjo, dekan fakultas hukum Universitas Diponegoro Semarang, melontarkan istilah hukum progresif untuk mengatasi kemandekan penegakan hukum di Indonesia. Pak Tjip, panggilan akrab Prof. Satjipto almarhum, menyatakan bahwa penegakan hukum harus progresif dalam arti pembebasan dari dominasi perundang-undangan (bukan berarti chaos/kekacauan) tetapi kepentingan manusia secara luas harus diutamakan. KPK masuk ke MA (penggeledahan) merupakan upaya pembebasan (progresif) tsb. Apa yang dilakukan KPK, sekalipun misalnya dengan menjebak, termasuk langkah penegakan hukum yang progresif. Inilah yang mungkin dimaksud dengan definisi pemberantasan korupsi dengan cara-cara luar biasa, yaitu Undang-Undang digunakan untuk kepentingan masyarakat luas, bukannya Undang-Undang yang menyandera masyarakat. ”Penjebakan” diharamkan dalam hukum acara pidana di Indonesia. Penyuap dan penerima suap sama-sama dipidana menurut UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun KPK berani mendobrak wilayah ”haram” tersebut dengan melindungi Khairiansyah Salman yang menerima suap dari Mulyana W. Kusumah atau Probosutedjo yang memberikan suap kepada oknum di Mahkamah Agung. Dari kacamata peraturan perundang-undangan, hanya Jaksa Agung yang mempunyai hak untuk mengabaikan pemidanaan seseorang demi kepentingan umum (deponering/seponering). Di saat Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pada tahun 2005 mewacanakan penggunaan kewenangan tersebut, KPK berani menggunakan kewenangan tersebut demi kepetingan masyarakat luas yang sudah muak dengan perilaku korup para pejabat negara. Sejarah juga mencatat betapa KPK berani mengadili anggota dewan yang selama ini dianggap kebal hukum, mengobrak-abrik Bank Indonesia yang selama ini dikenal tidak tersentuh hukum, bahkan berani menyentuh ”keluarga” istana. Sejauh ini KPK tidak pernah kalah di pengadilan tipikor. KPK menjadi lembaga yang ditakuti koruptor. Kunci itu semua adalah keberanian pimpinan KPK melakukan manuver dan keberanian menolak intervensi dari berbagai pihak. Berdasarkan uraian di atas, ”syarat” tambahan seorang ketua KPK adalah berani melakukan pemberantasan korupsi dengan cara-cara luar biasa, yaitu secara independen (bebas intervensi pihak lain) untuk menerapkan hukum progresif. Apakah Prof. Jimly memenuhi ”syarat” ini? Keberhasilan Jimly membangun Mahkamah Konstitusi menjadi pengadilan modern dan disegani merupakan nilai plus sendiri. Namun demikian Jimly tercatat pernah menolak ”wacana” Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim konstitusi. Bahkan pada akhirnya Mahkamah Konstitusi di bawah kepemimpinan Jimly memangkas kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim. Keputusan Mahkamah Konstitusi di bawah kepemimpinan Jimly lain yang sangat mengguncang adalah tentang pencabutan Pasal 53 UU KPK tentang keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor). Penghapusan pengadilan tipikor menjadi polemik berkepanjangan dan ada yang menganggap sebagai titik balik pemberantasan korupsi. Jadi berdasarkan kedua putusan di atas saja, terlihat Jimly bukanlah seorang yang setuju dengan penerapan hukum progresif. Baginya hukum adalah apa yang tertulis di Undang-Undang dan manusia harus mentaatinya, tidak perduli apa itu sesuai dengan rasa keadilan masyarakat yang merindukan hakim yang bersih dan kepercayaan kepada pengadilan tipikor yang tidak pernah memvonis bebas koruptor. Apalagi Jimly dalam pernyataannya tersirat keinginannya untuk membenahi sistem birokrasi (tugas pencegahan KPK). Dengan demikian di era Jimly, jika terpilih sebagai ketua KPK, tidak akan banyak gebrakan-gebrakan KPK (upaya penindakan dengan menangkap koruptor-koruptor besar) yang diharapkan masyarakat. Pembenahan sistem untuk mencegah terjadinya korupsi memang penting, namun hal tersebut harus diimbangi dengan upaya penindakan yang luar biasa. Tanpa upaya-upaya pemberantasan korupsi yang luar biasa (progresif), KPK tidak ada bedanya dengan Kejaksaan Agung dan kepolisian R.I. Wallahu'alam Bish-shawabi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline