Kita pernah belajar sejarah, setidaknya di SMP dan SMA dulu. Kita mencatat dan menghafal tahun tahun berdirinya Kerajaan, menghafal Gelar Raja, belajar tentang kepahlawanan, Pujangga dengan karya-karyanya. Mengetahui sistim mata pencaharian masyarakat. Mengenal bagaimana sebuah kerajaan berperang, mengalami masa kejayaan sampai dengan keruntuhannya. Situs situs yang ada menjadi rujukan kesahihan originitas pernik pernik kejadian dan tanda keberadaan Kerajaan masa silam.
Sebagian keturunan dari Kerajaan-kerajaan yang kita pelajari masih ada hingga sekarang.. Lihat saja Kerajaan Inggris dan beberapa negara di Eropa, semisal Belanda, Belgia, Spanyol Yunani, Itali dlsb. Kerajaan di wilayah belahan dunia Timur Tengah bahkan masih menandai eksistensi politik maupun budayanya, seperti Arab Saudi, Yordania maupun Uni Emirat Arab
Asia tak kalah tanda eksistensinya dengan negeri Sakura Jepang yang vital dengan Kekaisaran, Thailand yang monarki konstitusionalnya tetap dihormati kendati sistim pemerintahan parlementer sarat dengan kudeta.
Adapun Indonesia kita, berada dalam mosaik Kenusantaraan. Mulai dari Kerajaan Kutai, Mulawarman, Medang, Dinasti Wangsa Syailenda maupun Sanjaya dalam rentang Mataram Hindu, Sriwijaya, Pajajaran, Majapahit, Mataram, Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan. Surakarta, Kasultanan Cirebon, dan masih banyak lagi yang eksis sebagai bagian citra Nusantara.
Kerajaan terus menjadi daya hidup yang secara historis mengkontribusi bagi berdiri dan kokohnya keberlangsungan NKRI. Secara historis faktual berdirinya NKRI, dikontribusi baik langsung maupun tidak langsung oleh berbagai kerajaan di bumi Nusantara yang beraneka ragam etnik, Bahasa dan budayanya. Maka hal itu sekaligus menandai bahwa NKRI, sejak lahirnya memang dikodratkan sebagai negeri plural, beragam yang kemudian disatukan oleh tekad kehendak hidup bersama dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
KERAJAAN DI MASA KINI
Karena kesadaran dan kehendak bersama untuk melahirkan NKRI, pada masa kolonialisme, maka kerajaan-kerajaan lokal daerah bersatu mendukung NKRI. Dukungan mana bahkan tidak hanya secara politis, tapi juga secara finansial, sebut saja bagaimana Raja Kasultanan Yogyakarta, ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX, memberikan bantuan 6,5 juta gulden kepada Ir. Soekarno , beberapa waktu setelah memproklamirkan Kemerdekaan Republik Indonesia.
NKRI muda yang baru dilahirkan belum memiliki modal material (finansial) yang cukup untuk memberlangsungkan Pemerintahan. Kisah ini memberi kesadaran dan pembelajaran kita bahwa antara NKRI dan Kerajaan tidak untuk diperdebatkan dalam hal eksistensi politik kekuasaan.
NKRI dan kerajaan di bumi Nusantara adalah kemanunggalan, antara kepemimpinan konstitusional RI dengan kolektifitas kepemimpinan kawula dari berbagai Kerajaan Lokal yang masih ada. Para Raja tiada pernah menyatakan klaim atas kekuasaannya dan begitupun Kepemimpinan nasional NKRI, juga terus senantiasa menghormati eksistensi Kerajaan, utamanya dari sisi " Cultural Historical"
TRILOGI ESENSI KERAJAAN
Kita telah pernah mendengar kalimat mutiara "Tahta Untuk Rakyat", kalimat ini mengiringi kisah kebesaran Raja/Sultan Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tahta untuk Rakyat adalah Citra integritas Sri Sultan Hamengku Buwono IX, seorang tokoh besar yang pernah ada di negeri ini.