Dari Sejarah yang telah terekam dalam Bangsa ini,Para Bapak Bangsa sepakat mendirikan sebuah negara yang demokratis dimana kedaulatan berada ditangan rakyat.Rakyat dipersilakan merebut kekuasaan secara sah dengan jalan pemilihan umum atau pemilu.Dalam catatan sejarah,Pemilu pertama di Indonesia dilangsungkan pada tahun 1955 untuk memilih anggota legislatif dan dewan Konstituante yang diikuti oleh ratusan partai politik dan dianggap pemilu paling demokratis.
Tapi bagi Presiden pertama RI Ir.Soekarno, Terlalu banyak partai telah menimbulkan masalah lain seperti Kegaduhan politik dan ancaman disintegrasi bangsa selain konflik SARA.Untuk itu Presiden Soekarno mempunyai gagasan untuk mengubur partai-partai,Ia kenalkan konsep Demokrasi Terpimpin dengan Presiden sebagai pusat kekuasaan.Keputusan dilakukan melalui musyawarah bukan berdasar suara terbanyak.Orde Baru sebagai penerus rezim Soekarno yang kolaps ditahun 1966 itu lebih "keras" lagi dengan membonsai partai-partai hingga hanya tersisa 2 partai PPP hasil fusi partai-partai Islam dan sisanya dilebur jadi PDI. Serta Satu Golongan Karya(Golkar).
Berpuluh tahun demokrasi dibungkam, Era Reformasi kembali memperluas proses demokratisasi di Indonesia dengan pemilu yang diikuti oleh puluhan partai.Tidak hanya itu,sejak tahun 2004 Presiden RI sudah dapat dipilih langsung oleh rakyat, Bahkan Rakyat dapat memilih langsung kepala Daerah mereka. Tapi sebenarnya apakah rakyat Indonesia itu sudah dewasa dalam berdemokrasi? Kenyataannya rakyat masih mudah terbakar dengan isu sensitif seperti Suku dan agama,Tidak dipungkiri bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk terdiri dari berbagai suku,agama,golongan.Terkadang calon kepala Daerah yang berasal dari kalangan minoritas kerap mendapat serangan SARA dan Pemilu Kepala Daerah telah menciptakan gesekan-gesekan baru di masyarakat.
Ambil contoh,Pernyataan calon Gubernur petahana DKI Jakarta,Basuki Tjahaja Poernama di Kep.Seribu yang dianggap menyudutkan Ayat kitab suci umat Muslim, Qur'an .Itu langsung mendapat reaksi keras dari kelompok Islam sampai menimbulkan gerakan massa yang sangat masif. Akibat masalah ini tensi politik meningkat dan hampir membahayakan persatuan kebhinnekaan bangsa.Alasannya sederhana saja, Bangsa Indonesia masih belum matang berdemokrasi ,Karena mudah dihasut dengan sektarianisme dan primordialisme agama.
Belum lama ini muncul wacana untuk mengembalikan kembali pemilihan Kepala Daerah kepada DPR alias menjadi tidak langsung, Ini tentu dapat menekan anggaran serta mencegah ketegangan konflik sosial seperti yang terjadi saat ini.Tapi pemilihan pemimpin tak langsung masih kental aroma nepotisme serta politik transaksional yang hanya akan melahirkan pemimpin yang kurang berkualitas dan koruptif.Dari pilkada lah ajang menyeleksi calon Presiden dimasa mendatang pilihan rakyat,Dari pilkada lahir pemimpin-pemimpin potensial seperti Ridwan Kamil atau Ibu Risma, bahkan Presiden Jokowi pun dulu muncul dari pemilihan kepala daerah.
Tapi Terbatasnya kekuasaan Kepala Daerah pernah dikeluhkan oleh Gubernur Jawa Tengah,Ganjar Pranowo.Sebagai Gubernur Ia tidak bisa mengeksekusi pejabat sampai tingkat bawah karena Ia harus menghormati Bupati/Walikota dibawahnya yang juga sama-sama dipilih oleh rakyat. Artinya Kepala Daerah sebagai kepanjangan tangan dari Presiden masih belum terkoordinasi dengan maksimal.Sehingga malah memunculkan "Raja-Raja Daerah" dan dinasti politik.
Memang masing-masing sistem punya kelebihan dan kekurangan. Memilih pemimpin adalah hak konstitusi yang paling mendasar bagi rakyat guna kebaikan bangsa atau daerahnya.Hanya saja perlu diimbangi dengan sikap demokrasi yang baik, Kita masih perlu belajar demokrasi dari yang paling mendasar yaitu belajar menghargai perbedaan, belajar menerima pendapat,mengesampingkan ego agama atau kesukuan, Karena dengan alasan itulah bangsa ini akan tetap berdiri sampai seribu tahun lagi. Salam Damai NKRI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H