Lihat ke Halaman Asli

Harry Wijaya

Asal Depok, Jawa Barat.

Cerpen | Sundel Bolong

Diperbarui: 3 Januari 2020   03:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Malam itu aku bernyanyi bersama rekan-rekanku seperti biasa. Meramaikan acara-acara dan memberikan hiburan kepada pengunjung. Ya, aku adalah penyanyi wanita yang biasa dipanggil untuk mengisi suatu acara dari kampung ke kampung. Bersama tim ku, aku bernyanyi dan rekan lainnya akan mengiringiku dengan musik yang mereka mainkan.

Malam ini terasa begitu ramai, kami tak henti-hentinya menerima request dari para penonton dan pengunjung acara hajatan ini. Akan tetapi inilah pekerjaan kami, passion kami. Antusias para pengunjung membuat kami semakin bersemangat. Semua keseruan itu kami rasakan sejak awal bernyanyi hingga tak terasa sudah waktunya acara selesi.

Para penonton sudah agak menjauh dari pangung. Aku turun ke ruang ganti untuk beristirahat. Para rekan-rekan memberikan ucapan terima kasih dan saling bersuka cita atas kelancaran acara malam ini. Salah satunya adalah manager kami, Iwan namanya. Ia adalah manager yang dewasa dan memiliki kepemimpinan yang baik. Terkadang ia membelikan kami minuman apabila acara berlangsung lancar, yang hebatnya lagi ia tak memakai uang kas. Melainkan uang pribadinya sendiri, karena manager kami ini sangat menghargai kekompakan tim ini.

"Isma, hari sudah larut. Mau langsung pulang?" Tanya Iwan yang datang kepada ku dari samping. Aku yang sedang melihat ke arah lain pun langsung menoleh ke arahnya.

"Iya mau langsung pulang.' Jawabku yang kemudian memakai tas.

"Menginaplah di rumahku. Rumahku dekat kok." Ujarnya sambil tersenyum.

"Lho? Jangan lah, gak enak."

"Gak apa-apa. Rumah mu itu jauh banget lho!"

Aku kemudian terpaksa menurut apa yang dikatakan Iwan, entah kenapa aku mudah saja menerima ajakan itu. Padahal aku tak pernah semudah ini saat ada laki-laki yang ingin menawarkanku seperti ini. Dalam kepalaku aku masih mencari-cari alasan yang tepat untuk menolak ajakan ini. Tapi tidak bisa, aku tak menemukan alasan itu.

Akhirnya, dengan menaiki motornya Iwan memboncengku menuju rumahnya. Dalam hati aku berfikir sedikit cemas. Bagaimana kalau dia berniat jahat? Seharusnya aku menolak, tapi tak bisa. Aku sudah berusaha tapi tetap tak bisa. Hingga sampai di rumahnya pun aku tak bisa menolak, seakan ada sesuatu yang memaksaku untuk menuruti perkataannya, secara tak langsung.

"Ayo Isma, duduk dulu." Kata Iwan sambil tersenyum saat kami berdua masuk ke dalam rumah. Aku pun duduk seperti yang ia bilang. "Aku mau simpan barang-barang ini dulu, habis itu bikin minum buat kamu. Tunggu ya." Kata Iwan yang kemudian berjalan ke belakang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline