Lihat ke Halaman Asli

Listening, Neglected but Important Skill

Diperbarui: 3 Desember 2015   10:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Michael P Nichols, 2009

Banyak orang beranggapan, listening tidak penting, padahal hanya 25% orang yang efektif sebagai listener (Madelyn Barley Allen, Listening: the forgotten skill, 1995)

Kebanyakan dari kita beranggapan bahwa kita bisa mendengarkan dengan sangat baik, padahal tidak, kita sering gagal membangun relasi dengan keluarga sendiri, pasangan, rekan kerja dan teman  (Michael P Nichols, The lost art of listening, 2009)

“The art of conversation lies in listening” (Malcom Forbes, pemilik majalah Forbes, NYC).

Setiap komunikasi yang berhasil selalu ditandai oleh 3 hal, listening yang mendalam,  kematangan emosi dan open-mindedness.

Satu-satunya cara memperbaiki komunikasi kita adalah dengan lebih banyak mendengarkan, segera tutup mulut dan buat pembicara merasa dimengerti.

“Most people do not listen with the intent to understand, they listen with the intent to reply” (Stephen R. Covey)

Michael P Nichols, 2009

Listening atau mendengarkan, adalah jenis skill praktis sehari-hari (self-help) yang memang terabaikan (neglected, less important).  Kepentingannya tergeser oleh speaking skill (ilmu berbicara). Manusia lebih banyak ingin bicara dari pada mendengarkan.  Padahal listening adalah skill yang paling banyak digunakan untuk belajar.  Benar kata Lao Tzu, “silence is a source of great strength.”  Tapi ia satu-satunya nafas/ roh komunikasi yang dilupakan untuk dipelajari terlebih dahulu. 

Listening adalah sebuah kebutuhan untuk hidup dan “struggle to be human.”   Ralph G. Nichols, tokoh listening sejak tahun 1960-an, the father of the field of listening versi International Listening Association (ILA) mempelajari listening secara intensif dan menyimpulkan, “the most basic of all human needs is the need to understand and be understood. The best way to understand people is to listen to them.”  Stephen R. Covey penulis  “7 Habits of Highly Effective People,” era tahun 1990-an menyederhanakan cara mendengar terbaik adalah  “Seek first to understand, then to be understood.”

Faktanya, kita lebih suka bicara. Kita kurang mendengarkan.  Faktor penghambat pertama kita tidak mendengarkan adalah terlalu banyak bicara. Di zaman ini, diperburuk lagi oleh gangguan-gangguan internal & lingkungan (kebisingan, serbuan gadget, pressure, dreams, kejenuhan dan ego). Benar seperti yang dikatakan M. Scott Peck,  psikiater Amerika abad ini, penulis buku terkenal “the road less traveled,” dengan “you cannot truly listen to anyone and do anything else at the same time.” Diperkuat lagi oleh  Ernest Hemingway, novelis Amerika awal 1900-an, telah mencium fakta bahwa orang sulit mau mendengarkan orang lain.  Banyak orang tak bahagia.  Ia menyimpulkan, “When people talk, listen completely. Most people never listen.”  Stephen R Covey, sudah lama memperkenalkan empathy communication, untuk menjawab kebutuhan dunia yang tidak mau mendengar, tapi terangsang untuk segera menjawab (jump to solution).   Terbukti hingga hari ini, kebanyakan sekolah dan guru tidak mengajarkan “seni” mendengar yang mendasar sebagai pembelajar (listening skill & art).  Jadi orang harus kreatif belajar listening sendiri-sendiri (menjadi self-help praktis).  Karena listening adalah sebuah kebutuhan psikologis, listening bisa dipelajari oleh siapa saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline