Pada Juni 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) dengan putusan perkara No. 114/PUU-XX/2022 telah memutuskan untuk tetap menggelar sistem pemilihan proposional terbuka pada pemilihan legislatif (Pileg). Awal mula putusan ini setelah 6 orang pada 14 November 2022 mengajukan uji materi terhadap pasal 168 ayat 2 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. para pemohon ini mengajukan perubahan sistem pemilihan Indonesia yang sekarang menganut Sistem Proposional Terbuka kembali menganut sistem proposional tertutup seperti yang terjadi pada sebelum reformasi.
Pengajuan uji materi itu sebenarnya mendapat respon penolakan dari delapan partai parlemen (kecuali PDIP) karena merasa itu merupakan kemunduruan dari demokrasi Indonesia. Sedangkan PDIP mendukung sistem proporsional tertutup dengan alasan bisa mengurangi biaya pemilu dan bisa mengurangi money politic (politik uang) di masyarakat.
Kemudian survei yang digelar oleh Indikator Politik Indonesia pada 26-31 Mei 2023, dengan responden sebanyak 1.230 responden yang dilakukan melalui panggilan telepon. Adapun margin of error sebesar +/- 2,9% dengan tingkat kepercayaan 95%. Pada survei ini menunjukkan mayoritas orang Indonesia lebih memilih sistem proposional terbuka pada Pileg 2024 nanti dengan ada 80,6 responden yang setuju, sedangkan responden yang memilih proporsional tertutup sebanyak 11,7%.
Pengamat Politik sekaligus pendiri Cyrus Network, Hasan Nasbi dalam akun Twitter pribadinya turut berkomentar mengenai uji materi ke MK ini. Ia berpendapat jika ingin mengubah sistem pemilihan Indonesai sekarang bukan dengan kembali dengan sistem tertutup melainkan menjadi sistem distrik yang banyak dianut di negara maju. Masyarakat awam melihat argumen tersebut mungkin kebingungan dengan sistem pemilihan distrik, karena memang Indonesia tidak pernah menganut pemilihan distrik.
Pengertian Sistem Distrik
Dilansir dari KPU.go.id., Sistem Distrik atau disebut sistem pluralitas merupakan sistem pemilihan yang dimana wilayah suatu negara dibagi-bagi menjadi distrik yang disesuaikan dengan jumlah penduduk.
Berdasarkan Jurnal karya Didik Sukriono, dengan judul "Menggagas Sistem Pemilihan Umum di Indonesia". Terdapat dua hal mencolok yang membedakan sistem distrik dengan sistem pemilihan lain. Pertama, daerah-daerah pemilihan pada sistem ini tidak sesuai dengan wilayah administrasi. Penetuan distrik pada sistem ini didasarkan atas syarat-syarat pemilihan umum. Syarat paling utamanya ialah jumlah pemilih yang mendiami suatu distrik harus sebanding dengan jumlah pemilih distrik-distrik lainnya. Jadi tak jarang dalam distrik pemilihan bisa mencakup dua atau lebih daerah administratif, atau satu wilayah administratif dibagi menjadi beberapa distrik.
Kemudian perbedaan kedua, fokus utama pemilihan pada sistem ini terdapat pada sosok individu calon (caleg) bukan partai politik yang mencalonkannya. Pada sistem ini partai-partai politik hanya boleh mencalonkan politisi/kader mereka yang berdomisili pada distrik tersebut. Hal ini menuntut para calon yang ada harus dikenal oleh masyarakat sekitar untuk menghindari praktek "membeli kucing dalam karung".
Praktik Gerrymandering
Meski terlihat sebagai sistem pemilihan yang adil, bukan berarti sistem ini tidak memiliki kelemahan. Di negara sistem ini berlaku seperti Amerika Serikat dan Australia, muncul kecurangan yang dinamakan Gerrymandering. Gerrymandering adalah sebuah manipulasi politik untuk menguntungkan sebuah kelompok atau calon tertentu dengan mengubah batas-batas distrik yang menguntungkan bagi mereka seperti daerah-daerah tempat dia unggul dijadikan satu distrik sedangkan daerah lawan dipecah-pecah ke beberapa distrik yang berbeda. Dengan begitu sang calon bisa menang mudah dengan lawannya karena daerah yang diunggulkan oleh lawan terpecah-pecah sedangkan ia terkumpul pada satu distrik pemilihan.
Praktik ini pertama kali terjadi pada abad ke-19. Pertama kali dilakukan di Massachusetts oleh Elbridge Gerry (Gubernur negara bagian Massachusetts) pada tahun 1812. Pada saat itu Gerry membuat undang-undang distrik partisan di wilayah Boston dengan bentuk mirip salamander. Ini merupakan langkah dia untuk memuluskan jalannya pada pemilihan berikutnya. Perbuatannya itu menimbulkan perdebatan di surat-surat kabar saat itu, yang kemudian perbuatannya itu dinamakan gerrymandering berasal dari namanya Gerry dan bentuk daerah pemilihan yang ia buat yang mirip salamander.