Kondisi Ekonomi dan Politik di Pesisir Pantai Sumatera Pada Abad ke 16
Kondisi mengenai masyarakat urban di Pesisir pantai Sumatera pada abad ke 16 tentu sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan ekonomi kerajaan-kerajaan di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Lokasi Sumatera yang strategis membuat daerah-daerah dipesisirnya singgahi oleh banyak pelayar dan pedagang dari penjuru dunia.
Daerah-daerah pesisir pantai ini lambat laun berkembang menjadi Pelabuhan-pelabuhan sebagai sarana para pelayar singgah dipesisir pantai Sumatera. Di Sumatera, selusin pelabuhan yang merdeka berkembang menjadi negara yang efektif, dan hanya yang terletak di sebelah Tenggara mengirim upeti ke Melaka atau ke Jawa.
Menurut catatan Tome Pires dalam bukunya yang berjudul "Suma Oriental" dipulau Sumatera terdapat 19 reino (Kerajaan) dan 11 terra (negeri atau negara). Dimana 20 diantaranya berada di kawasan timur. Alasan Kawasan timur memiliki Kerajaan atau negara yang lebih banyak dibandingkan tempat lain di Sumatera karena lokasinya yang berdekatan dengan Selat Malaka, jalur laut tersibuk sejak awal millennium pertama, dan juga terletak pada perairan Selat Bangka dan Selat Karimata yang menjadi jalur pelayaran menuju ke dari dari Indonesia bagian tengah serta timur. Di samping itu, dilihat dari peta siklus angin monsoon dan arus laut, kawasan timur Sumatera merupakan tempat yang paling yang tepat untuk menunggu perubahan arah angin.
Pada awal abad ke 16 kondisi kerajaan-kerajaan Islam yang berada di Sumatera dan Semenanjung Malaya saling bersaing di Pelabuhan-pelabuhan dagang mereka dengan menerapkan peraturan yang nyaris sama. Misalnya Melaka-Melayu yang mengenakan pajak 6 persen atas barang-barang impor yang berasal dari kapal-kapal yang datang dari negeri-negeri di atas angin, tetapi hanya 1 hingga 2 persen upah timbang atas barang-barang yang diekspor. Kapal-kapal Asia Tenggara dan Asia Timur dibebaskan dari pajak impor dan ekspor tetapi diharuskan menjual 25 persen dari barang-barang impor yang mereka bawa kepada raja seharga 20 persen di bawah harga pasar, sedangkan raja mengeluarkan barang*barang yang diekspor dengan harga 20 persen di atas harga pasar. Dengan demikian sistem ini, yang dikenal dengan nama beli-belian (saling membeli), sama dengan pajak 5 persen atas barang-barang yang diimpor dan diekspor.
Dan abad ini juga terjadi lonjakan permintaan akan lada di dunia, hal ini membuat daerah-daerah di India maupun di Indonesia (khusunya di Sumatera) berusaha memenuhi permintaan itu lada pun meluas dari Sumatera Utara menyebar ke pantai barat pulau itu, masuk ke pedalaman Minangkabau, dan menyeberang ke Semenanjung Malaya.
Sedangkan dalam bidang politk daerah-daerah disekitar Selat Malaka (maupun itu di Sumatera atau di Semenanjung Malaya), sempat mangalami ketegangan dengan armada laut bangsa Portugis yang ingin menguasai kota Malaka. Alasan bangsa Portugis ingin menguasai Malaka dikarenakan Malaka merupakan pelabuhan besar untuk perdagangan komoditas berharga di dunia. Jung-jung dari cina yang datang membawa barang dari asalnya seperti emas, berlian, dan kain sutra. Maupun kapal-kapal yang berasal dari Kepulauan Nusantara yang lain (Jawa, Kalimantan, Maluku, Sumatera) yang banyak membawa rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh. Dan alasan lainnya ialah karena Malaka merupakan kota yang banyak ditempati oleh para pedagang muslim yang merupakan musuh utama dari bangsa Portugis.
Dengan jatuhnya Malaka ke tangan bangsa Portugis pada tahun 1511, Aceh memiliki peranan penting dalam di bagian utara Pulau Sumatera. Pengaruh Aceh meluas dari Barus disebelah utara hingga ke selatan di dearah Indrapura. Dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis dan banyaknya daerah-daerah kekuasaan Malaka yang mulai memisahkan diri dari Kerajaan Malaka, dimanfaatkan oleh Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Muqhayat Syah untuk memperluas kekuasaannya ke daerah-daerah disekitarnya.
Sedangkan itu bangsa Portugis tidak terlalu mendapatkan keuntungan dari menguasai kota Malaka. Dengan dikuasainya Malaka justru membuat munculnya keadaan di mana perdagangan menjadi tersebar di beberapa pusat lainnya. Patani, Johor, Pahang, Aceh, Banten, merupakan pelabuhan-pelabuhan yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari jatuhnya Malaka.
Kondisi Masyarakat di Pesisir Pantai Sumatera pada abad ke-16