Lihat ke Halaman Asli

Rintihan Fiksi

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

seperempat cangkir kopi masih tersisa, menemani obrolan tanpa subjek. Keluar tanpa kontrol, tercipta tanpa usaha. Udara bergelayut lembut berpelukan erat dengan asap rokok. Membuat iri sang hidung tetangga, yang langsung dihisap habis dalam satu kali tarikan nafas. Sang tangan kanan sudah berusaha mencegahnya tapi percuma, hisapanya terlalu kuat. Sementara segerombolan gula hanya menatap kosong, tak berdaya. Meratapi takdir yang pahit. Hanyut musnah dalam larutan air. Meninggalkan kenangan manis dalam pengorbananya. Lampu cafe menjadi saksi kejadian malam ini, terlihat kejam meski selalu terulang pada malam berikutnya. Selalu luput dalam penglihatan kita, sebuah kejadian yang sangat sepele. Namun akan sangat menarik bila bercampur fiksi. Mata melihat namun tak berdaya, telinga mendengar namun tak berusaha, mulut mengucap namun tak berguna. Hujan menjadi lagu alam yang menambah ramainya fiksi malam ini, datang tanpa ajakan. Jatuh di setiap sudut bumi, pecah tak berbentuk. Mati dengan tragis, namun berevolusi lagi, bersatu didalam kubangan raksasa. Hingga waktunya matahari untuk becerita, membakar kegelapan menghadirkan cahaya. Cahaya yang selalu sama dengan hari sebelumnya dan yang akan datang, sampai saatnya berubah sesuai skenariao yang telah diatur. Dan angin tak ingin ketinggalan, dia datang meniup lembut sebuah pohon raksasa. Cukup lembut untuk membawa beberapa daun terbang, dan menari dalam irama angin. Sampai disebuah hamparan rumput yang bergoyang, oleh irama angin yang sama. Dan terjatuh ketika irama itu hilang, datang tak pasti kapan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline