Namaku Amirah, saat itu aku adalah siswa baru di SMA Tunas Muda Nusantara. Saat itu aku kelas X SMA di semester 2. Selama satu semester sebelumnya aku bersekolah di Surabaya. Aku berpindah ke Jakarta bersama ayahku, sementara ibuku telah meninggal saat aku SD. Tak mudah bagiku untuk mengenal orang baru dalam lingkungan yang juga baru. Apalagi ketika aku pindah ke sekolah baru itu, prasangka akan tidak diterima oleh teman-teman baru menghampiri diriku. Namun berbeda dengan seorang temanku yang bernama Argo. Aku akan bercerita tentang dirinya. Tentang kebaikannya dan tentang sisi lain dirinya yang sebelumnya tak terduga olehku.
Kamu Beda
Hari itu adalah hari pertama masuk sekolah, dan aku ditempatkan di kelas X-8. Karena hari pertama masuk sekolah adalah hari Senin, maka aku harus mengikuti upacara bendera sama seperti siswa-siswi lainnya. Namun karena aku belum memiliki teman, aku berbaris di barisan paling belakang. Di dekat barisan teman-teman cowok. Aku tak banyak berbicara dan hanya tersenyum simpul saat orang lain menatapku. Beberapa teman cowok pun ada yang mengomentari bahwa aku jutek dan sebagian lainnya ada yang menggodaku. Sebenarnya itu sangat menggangguku, namun aku diam saja. Ditengah teriknya sinar matahari dan suasana yang tidak nyaman itu aku tetap berdiri untuk mengikuti jalannya upacara bendera. Kemudian seorang dari teman-teman cowok yang berbaris di dekatku menghampiriku dan pindah barisan tepat di belakangku.
Cowok itu sepertinya salah satu teman sekelasku. Dia terlihat sangat berbeda, entahlah. Sebelumnya aku tak melihatnya menjadi salah satu cowok yang menggodaku atau mengomentari sikapku yang terlihat jutek. Dengan sikap yang terlihat biasa saja dia berkata padaku.
“Hai, gue baris disini boleh?”, tanyanya sambil membetulkan letak topi yang dipakainya.
“Hm, boleh.”, jawabku.
“Hm, lo anak baru ya?”, tanyanya lagi.
“Iya.”, jawabku dengan anggukan pelan satu kali.
“Gue Argo.”, katanya sambil menjulurkan tangan kanannya untuk bersalaman. Dia memperkenalkan dirinya padaku.
“Amirah.”, kataku.
Lalu dia tersenyum padaku.
Saat dia berada di belakangku aku merasa sedikit lebih sejuk, karena Argo memiliki tubuh tinggi dan badannya lebar. Sehingga tubuh besarnya itu bisa menutupiku dari sinar matahari pagi yang semakin terik. Selain memiliki tubuh yang tinggi dan berbadan lebar, Argo memiliki wajah yang bulat, mata yang hitam membulat, hidung yang tidak terlalu mancung dan bibir yang agak lebar dan tebal. Dia mengingatkanku pada penyanyi Rn’B Neyo. Secara fisik dia memang sangat jauh berbeda seperti tokoh cowok yang digambarkan dalam kebanyakan novel-novel remaja, yang biasanya berwajah Indo, ketua OSIS sekaligus ketua ekskul basket. Tetapi, dari sikapnya yang ramah kepadaku saat itu, membuatku berkesimpulan bahwa cowok itu adalah seorang yang menyenangkan.
***
Upacara pun selesai dan seluruh siswa-siswi kembali ke kelas masing-masing. Aku menuju kelasku. Saat aku masuk ke dalam kelas teman-teman baruku memperhatikanku dan aku pun menatap mereka dengan wajah yang kupaksakan ramah, padahal aku takut dan tidak suka dengan suasana yang asing bagiku. Aku selalu takut saat ada di lingkungan baru. Apalagi kulihat di kelasku itu teman-teman perempuan yang ada terlihat tidak ramah kepadaku. Entah mungkin karena jaket denim yang kupakai terlihat berlebihan atau parfum jasmine lime-ku yang tercium menyengat. Aku tak tau. Yang aku tau aku khawatir tak dapat diterima oleh teman-teman baruku, sekaligus aku tak tau akan duduk dimana. Kemudian seorang teman perempuan menghampiriku.
“Hai, kamu anak baru ya?”, tanyanya kepadaku sambil tersenyum.
Aku memperhatikannya, sepertinya dia akan jadi teman perempuan pertamaku di sekolah ini. Teman perempuanku itu memiliki rambut coklat sebahu, matanya besar, hidungnya kecil dan agak mancung, kulitnya sawo matang serta berbibir tipis. Dia pun memiliki lesung pipi yang terlihat saat dia tersenyum. Saat itu dia memakai bando berwarna merah berbahan bludru yang membuatnya terlihat manis.
“Iya.”, jawabku sambil tersenyum balik.
“Aku Gisela.”, katanya sambil menjulurkan tangan kanannya kepadaku.
“Aku Amirah.”, kataku memperkenalkan diri sambil tersenyum.
“Kamu sudah dapat tempat duduk?”, tanya Gisela padaku. Dan aku menjawab dengan menggelengkan kepalaku pelan.
“Kamu duduk di belakangku aja, disini kosong kok.”, katanya lagi sambil menunjukkan meja kosong yang ada di pojok barisan belakang kelas.
Aku terkejut melihat letak meja yang akan menjadi tempatku, aku tak pernah duduk di pojok apalagi di barisan paling belakang sebelumnya. Tapi karena hanya ada meja itu yang kosong, akhirnya aku pun menerima meja itu sebagai tempatku.
“Gimana?”, tanya Gisela.
“Lumayan.”, kataku sambil mengangguk ketika aku duduk di kursi belakang meja itu.
“Disini duduknya boleh pindah-pindah kok. Kalau kamu gak kelihatan sama tulisan di papan tulis kamu bisa tukeran sama siapa gitu yang duduk di depan.”, katanya menjelaskan.
“Hm, iya.”, kataku. Padahal aku berpikir dengan siapa aku bisa bertukar tempat, aku belum mengenal teman-teman lainnya.
“Oh, iya. Disini nama ketua kelasnya Banyu. Dia yang duduk di depan meja guru itu.”, kata Gisela sambil menunjuk orang yang dimaksud. Aku pun mengangguk.
“Kalo wakil ketua kelasnya namanya Argo, dia duduknya...hm, gak tau dia pindah-pindah kalo duduk sih.”, kata Gisela lagi sambil matanya melihat-lihat dimana Argo berada saat itu.
“Aku udah tau yang namanya Argo.”, kataku.
“Oya?”
“Iya, tadi waktu upacara.”
“Wah, bagus dong. Kamu sudah makin banyak kenal teman-teman disini.”, komentar Gisela.
“Ya, semoga. Hm, sebelumnya aku gak bisa menghafal nama dan wajah teman-temanku. Aku gak punya banyak teman sebelumnya.”
“Hm, gitu. Jangan khawatir. Kamu bisa temenan sama siapa aja kok disini.”
“Hm,iya.”, kataku singkat.
***
Suatu hari saat pelajaran olahraga setelah mengambil nilai berlari,aku duduk di pinggir lapangan karena kelelahan. Aku pun meneguk air mineral botolan yang baru saja aku beli. Saat itu aku sudah dua minggu bersekolah, namun aku belum memiliki teman selain Gisela. Dan hari itu Gisela tidak masuk karena sakit, jadi aku benar-benar seorang diri saat itu.
“Hai, Amirah.”, terdengar suara sapaan dari belakangku. Aku pun menoleh ke belakang dan ternyata suara itu adalah suara Argo.
“Hai.”, sapaku kembali sambil menyunggingkan senyum.
“Udah ambil nilai lari kan?”, tanyanya kepadaku.
Aku menjawab dengan anggukan cepat. Dia terlihat sangat berkeringat dan napasnya tersengal-sengal. Sepertinya dia baru saja selesai mengambil nilai lari.
“Mau minum?”, tanyaku menawarkan air minumku kepadanya. Kemudian aku memberinya air mineral botolan itu.
“Eh, boleh-boleh.”, katanya. Kemudian Argo meneguk air yang kuberikan, setiap tegukannya sampai terdengar olehku. Glek...glek...glek...
“Habisin aja.”, kataku.
Lalu dia menghentikan minumnya.
“Hah, ini kan minum lo.”, katanya sambil menoleh ke arahku.
“Aku bisa beli lagi kok.”, kataku santai.
Lalu Argo kembali meneguk air minum itu dan menyudahinya saat air itu tersisa sedikit.
“Hm, thanks banget ya Amirah.”, katanya kemudian tersenyum yang memperlihatkan barisan gigi putihnya.
“Iya, sama-sama.”, kataku sambil tersenyum padanya.
“Seriusan, tadi gue kesini bukan mau minta minum lho.”, katanya.
“Terus mau apa?”, tanyaku.
“Mau ngobrol aja. Lo sendirian terus daritadi. Gisela kemana?”, tanyanya.
“Gisela sakit, dia gak masuk.”, jawabku.
“Oh,pantes. Oya, by the way lo punya nama panggilan kan? Kayaknya kalo gue panggil lo ‘Amirah’ kepanjangan deh. Hehehehe.”
“Oh, hehe, panggil aja Mira.”
“Oke deh Mira, akhirnya gue bisa panggil dengan nama panggilan lo. Hehehehe.”, katanya diakhiri tertawa kecil. Aku pun jadi ingin ikut tertawa karena melihat ekspresi tawanya yang menurutku lucu. Karena mata bulatnya “hilang”, dia tertawa dengan mata yang tertutup.
Kami terus mengobrol. Dia menceritakan kalau di semester satu dulu dia menjadi ketua kelas dan Banyu adalah wakilnya. Saat aku tanya kenapa dia bertukar jabatan dengan Banyu, dia menjawab dengan canda kalau jabatan ketua kelas itu diberikan kepada Banyu supaya guru-guru mudah memberinya tugas karena Banyu duduk paling depan, tepatnya di depan meja guru. Jadi untuk urusan kelas akan mudah kalau guru meminta tolong kepada Banyu yang duduk persis di depan meja guru. Sementara Argo menambahkan kalau dia sering berpindah-pindah tempat duduk sehingga membuat guru-guru sulit untuk mencari dan meminta tolong padanya. Mendengar ceritanya itu, aku pun tertawa. Selain karena ceritanya yang menurutku lucu, Argo pun bercerita diselingi tawa dan wajahnya menciptakan ekspresi-ekspresi lucu.
Dia juga bercerita kalau dia memiliki hobi fotografi dan dia bertanya balik menanyakan hobiku. Aku bingung menjawabnya karena aku merasa tak memiliki kegiatan yang aku suka. Satu-satunya kegiatan yang menyenangkan bagiku saat itu adalah bermain dengan Casey, anjingku di rumah. Aku bercerita padanya kalau aku memiliki seekor anjing golden retriver yang baru sebulan kuadopsi. Saat aku bercerita tentang Casey, ternyata Argo takut pada anjing. Aku kembali tertawa karena sebagai cowok berbadan besar dia takut dengan anjing. Terpikir olehku untuk kapan-kapan mengajaknya bertemu dengan Casey supaya dia tidak takut lagi. Lalu aku mengatakannya. Mendengar itu, dia ragu tapi dia berkata kalau dia mau.
Argo dan aku menjadi akrab. Kami mengobrol juga saat jam pelajaran Sosiologi di kelas. Sistem duduk di kelas adalah duduk berdua, setiap siswa perempuan duduk bersama siswa laki-laki karena siswa laki-laki dan perempuan di kelas jumlahnya masing-masing 20 orang. Sebelumnya aku duduk dengan Bono, teman sebangkuku yang malasnya minta ampun, walaupun begitu Bono tidak pernah menggangguku atau menggodaku. Hampir setiap hari Bono menawarkan permen karet mint kepadaku, karena dia suka mengunyah permen karet sepanjang waktu, kecuali saat tertidur di kelas. Walaupun begitu aku tak begitu akrab pada Bono.
***
Saat pelajaran Sosiologi, Argo berpindah tempat duduk dengan Bono, Argo duduk bersamaku dan sepanjang pelajaran kami tak memperhatikan pelajaran sama sekali. Kami malah mengobrol tentang banyak hal. Salah satunya adalah kesukaan Argo membaca buku psikologi.
Argo bercerita tentang psikologi karena dia suka memperhatikan dan melihat orang lain. Dia berkata kalau ayah dan ibunya telah lama berpisah dan kini dia tinggal bersama ibunya. Ketika dia sedang seorang diri dan merasa bosan dia selalu pergi keluar rumah dengan berjalan kaki. Saat itulah dia memperhatikan orang-orang dan melihat orang lain yang berlalu-lalang. Tak jarang dia pun mengajak beberapa orang yang ditemuinya untuk mengobrol, dari situlah dia mengenal orang lain.
Dia pun bercerita kalau dia sering tidak pulang ke rumah karena merasa bosan. Ketika tidak pulang dia biasa menginap di rumah teman-temannya atau di rumah sepupunya. Dan ketika pulang ke rumah, mamanya sudah menunggu dengan amarah bercampur rasa khawatir. Aku sebenarnya kebingungan mendengarkan ceritanya saat itu, dia bercerita banyak tentang dirinya yang menurutku berantakan, namun dia suka memperhatikan sikap-sikap orang lain. Dan aku pun bertanya.
“Kalau kamu suka psikologi, terus buat apa? Karena aku rasa kamu gak mungkin suka itu karena untuk melihat orang lain aja.”
“Hm, gue mau lihat diri gue sendiri, Mir. Bokap pisah sama Nyokap, rasanya hampa aja gitu hidup gue. Gue gak punya adik atau kakak, gue sendirian. Nyokap kerjaannya juga gak tentu waktu pulangnya. Saat gue sendirian, gue bosen. Bisa aja sih gue cari-cari pelarian, hm macem drugs gitu, tapi gue gak mau. Makanya kalo bete gue sering pergi dari rumah, cuma buat lihat orang-orang terus gue ajak ngobrol deh. Hehe. Ternyata orang itu beda-beda yah, masing-masing punya masalah, kalo nyerah ya sama aja payah. Saat gue bisa lihat orang lain, gue ngerasa gak sendiri. Dan plus-nya lagi gue jadi tau karakter orang.”, kata Argo menjelaskan dengan santai dan tanpa beban. Seolah-olah dia percaya padaku, orang yang yang baru dikenalnya untuk diceritakan tentang kehidupan pribadinya.
Mendengar penjelasan Argo, aku pun berpikir akan sesuatu. Aku pun sering mengalami kejenuhan di rumah, tak memiliki teman dan selalu takut untuk mencoba sesuatu yang baru. Jika aku seperti Argo, aku tentu tak berani keluar rumah dan mengobrol dengan orang asing. Tapi dia sering melakukannya untuk membuat dirinya merasa lebih baik, setidaknya agar dia tidak merasa kesepian.
“Mir, lo pernah baca bukunya Malcolm Gladwell yang judulnya “What a Dog Saw?”, tanya Argo sesaat ketika dia bercerita.
“Nggak.”, jawabku sambil menggeleng.
“Lo harus baca deh. Itu buku bagus banget buat pengembangan diri.”, katanya menerangkan.
“Kenapa aku harus baca?”, tanyaku.
“Karena gue lihat lo beda.”, jawabnya singkat.
Aku mengernyitkan dahi mendengarnya. “Beda?”, tanyaku lagi penasaran.
“Iya, lo beda. Lo terlihat kayak mikirin sesuatu, gue gak tau apa karena lo emang lagi mikirin sesuatu apa memang lo tipe orang yang kebanyakan mikir. Lo itu teman yang menarik, Mir. Tapi kenapa sudah dua minggu di sekolah lo gak punya teman. Teman lo paling cuma Gisela, itu yang gue lihat. Dan kenapa lo harus baca bukunya Malcolm Gladwell itu, karena kayaknya lo butuh di “touch” untuk bisa melihat orang lain. Termasuk melihat diri lo sendiri.”, kata Argo panjang lebar. Dia berkata sambil sesekali menggerak-gerakkan kedua tangannya dan bicaranya terdengar santai, tapi buatku terlalu apa adanya. Seperti tidak bisa dia berkata dengan kata-kata yang sedikit diperhalus.
Mendengar itu membuatku tersinggung. Raut wajahku tiba-tiba berubah menjadi menahan amarah. Argo berkata tentang diriku, sementara kami hanya baru sekali dua kali berbicara. Apalagi dia berbicara layaknya menggurui diriku, aku merasa seperti orang yang tidak tau apa-apa dan aku merasa dipermalukan kepada diriku sendiri. Kemudian aku terdiam dan membuang muka ke arah papan tulis di depan. Sementara Argo masih menatapku.
“Gimana? Gimana?”, tanyanya tanpa berprasangka bahwa aku mulai tidak suka dengan sikapnya tadi.
Aku diam sesaat kemudian aku bicara. “Maaf, aku harus ngomong sesuatu sama kamu.”, kataku berbicara dengan nada serius ketika menoleh ke arahnya lagi.
“Apa?”, tanyanya yang sepertinya melihat perubahan raut wajahku.
“Kita belum saling kenal tapi kamu udah menggurui aku tentang karakterku sendiri. Dan gaya bicaramu yang “lo-gue” itu sebenarnya annoying buatku.”, kataku pelan tapi ketus.
“Wohoo. Santai-santai. Gue gak maksud kok. Eh, maksudnya aku gak maksud. Maaf ya. Sorry kalo kamu tersinggung. Kalo kamu mau tau, kekurangan kamu lagi kamu perlihatkan. Kayak gini nih yang tadi aku maksud kalo Amirah itu beda.”, katanya kemudian beranjak dari tempat duduk dan pindah kursi lainnya.
***
Sejak pelajaran Sosiologi itu aku dan Argo tidak pernah berbicara lagi. Aku masih merasa tersinggung dengan kata-katanya sekaligus mempertanyakan maksudnya yang “aku beda” itu. Selama beberapa hari memang kami tak saling berbicara. Namun, saat hari Senin setelah upacara dia menghampiriku.
“Ini, Mir.”, kata Argo sambil memberikanku sebotol air mineral.
“Buat apa?”, tanyaku tanpa melihat ke arahnya.
“Buat minum.”, katanya singkat. Namun aku masih diam walaupun hatiku berkata kalau dia bersikap manis saat itu.
“Aku gak suka air yang dingin.”, jawabku ketus. Bukan maksud apa-apa tapi aku tak tau harus berkata apa lagi padanya, aku hanya ingin dia pergi saja. Keberadaannya saat itu membuatku gugup.
“Hm, yaudah aku ganti deh sama yang gak dingin. Waktu itu kan aku udah ngabisin air minum kamu, jadi aku mau ganti.”, katanya menjelaskan.
“Ya, terserah aja.”, kataku sambil merapikan buku-buku di mejaku. Sebenarnya hanya agar diriku terlihat tak acuh, walaupun aku peduli padanya.
“Sorry ya yang kemarin kalo aku sok tau.”, katanya menyatakan permintaan maaf.
Aku berhenti merapikan buku-buku di mejaku, terdiam sedetik dan, “Ya, udah dimaafin.”, kataku singkat dengan ekspresi wajah yang masih menyimpan ke-jaim-an tapi sebenarnya aku tersanjung juga dia meminta maaf padaku.
Dia terlihat masih menatapku, walaupun aku sudah membuang pandangan ke mejaku. Dia terlihat masih ingin berbicara padaku. “Hmm, Mir, pulang sekolah nanti mau bareng gak? Kayaknya kamu harus coba sesuatu yang baru deh.”, katanya kemudian.
“Apa?”, tanyaku penasaran. Kali itu aku menatapnya antusias.
“Ada deh. Kamu harus ikut. Ya?”, pintanya sambil tersenyum dan menaikkan kedua alis matanya. Ekspresinya membuatku ingin tertawa, namun aku hanya bisa tersenyum. Akhirnya aku tersenyum padanya.
“Yaudah, iya.”, kataku sambil mengangguk satu kali.
***
Sepulang sekolah Argo dan aku pulang bersama. Rumahku lebih jauh daripada rumahnya dan sebenarnya aku harus menaiki dua bus untuk pulang ke rumah bus yang pertama dari sekolah sampai terminal, bus yang kedua dari terminal dan kemudian turun di depan kompleks rumahku. Aku bertanya padanya mau kemana kami, dan Argo menjawab kalau mau mengantarku pulang.
“Kamu mau anter aku pulang?”, tanyaku sekali lagi. Karena aku gak pernah pulang bersama siapapun termasuk teman cowok sebelumnya. Apalagi Argo juga tak tau rumahku. Dan agak merepotkan juga karena rumahku lebih jauh jaraknya.
“Iya. Boleh?”, tanyanya meyakinkan.
“Boleh kok.”, jawabku pelan dengan intonasi yang agak ragu.
“Kita jalan kaki ya?”, pintanya.
“Hah, jalan kaki? Rumahku kan jauh.”, kataku yang terkaget-kaget mendengar ajakannya untuk berjalan kaki.
“Dicoba dulu aja gimana? Kalo nanti kamu capek di tengah jalan aku gendong deh. Hehehehe.”, katanya. Kemudian dia tertawa kecil yang memperlihatkan barisan gigi putihnya. Sejujurnya tertawanya itu tak lucu buatku. Karena aku malah bingung kalau seandainya memang benar aku akan kelelahan, apa dia benar-benar mau menggendongku.
“Hm, oke. Aku coba deh.”, kataku menerima saja.
Saat itu kami pulang berjalan kaki dan melewati beberapa gang kecil untuk memotong jalan. Kami pun mengobrol tentang banyak hal.
“Mir, maaf banget nih ya. Sebenernya aku gak kebiasa ngobrol pake bahasa “aku-kamu” kalo sama cewek. Hm, kecuali sama cewek aku dulu.”, katanya mengawali pembicaraan.
“Iya. Terus?”
“Hm, gak tau kenapa kalo ngobrol sama kamu pake bahasa kayak gitu, “aku-kamu” itu kok asik-asik aja ya. Gak canggung. Padahal sebelumnya, yang abis kamu ngomong ketus itu aku males banget sama kamu apalagi ngebahasain omongan yang aku gak biasa, “aku-kamu” itu.”
Aku terdiam. Dia merasa malas padaku atas sikapku waktu itu. Oh, aku sudah membuatnya bad mood sepertinya saat itu. “Oya?”, kataku kemudian.
“Iya, aku jarang banget ngerasa males sama cewek. Sama temen-temen cewek gak pernah. Waktu pacaran jaman SMP dulu juga nggak, pacaran cuma tiga bulan dan belom ada rasanya aja gitu. Gak pernah marahan, gak pernah males-malesan sama pacar.”, katanya menjelaskan kemudian tertawa kecil.
Aku mulai berprasangka kalau dia sedang melakukan modus terhadapku. Kalau itu benar aku hanya bisa melakukan dua hal. Pertama aku akan ge er luar biasa dankedua aku berlagak sok jual mahal. Kedua hal itu sepertinya wajar terjadi padaku yang sama sekali belum pernah berpacaran dan didekati teman cowok. Teringat pada umumnya kalau cewek yang sedang didekati cowok, akan bersikap dua hal. Di satu sisi mereka suka dengan sikap si cowok yang selalu berdekatan dengannya, namun disisi lain akan seperti memperhatikan atau menarik perhatian si cowok saat mereka tak berdekatan. Hm, sepertinya saat itu aku mulai ge er dan aku harus mengendalikan diri. Kemudian untuk menghilangkan prasangka itu aku bertanya pada Argo.
“Aku mau tanya.”, kataku.
“Apa, Mir?.”
“Waktu itu kamu bilang aku orangnya beda. Apa karena beda itu kamu jadi asik-asik aja ngobrol dengan bahasa “aku-kamu” sama aku?”, tanyaku.
“Hm, mungkin. Tapi sebenernya itu yang mau aku obrolin sama kamu, Mir.”, katanya kemudian menghela napas dan kemudian berbicara lagi. “Kamu terlihat gak suka berteman ya?”, tanyanya.
“Hm, nggak juga. Aku cuma takut untuk kenal orang baru. Dan kayaknya aku gak disukain deh sama anak-anak perempuan di kelas.”, kataku.
“Berarti kalo nggak juga, iya juga dong? Kamu gak suka berteman. Dan takut itu bukan masalah utama kamu, karena buktinya kita bisa temenan nih sekarang. Aku bisa ngajak ngobrol kamu dan kamu pun pernah marahan sama aku kemarin. Heheheh.”, katanya menjelaskan.
“Maksud kamu?”
“Kamu inget waktu hari pertama masuk sekolah, saat upacara?”, tanyanya. Aku mengangguk. “Waktu itu aku lihat kamu, kamu kelihatan gak nyaman dan gak suka pindah ke sekolah baru. Kamu cantik, tapi kamu tampangnya jutek waktu itu. Aku penasaran yang kamu gak suka itu apa? Teman-teman atau kepindahan kamu ke sekolah?”
Aku tersentak. Yang dikatakannya sepertinye benar, namun aku tak menyadarinya. Aku terdiam dan berpikir, “Hm, dua duanya.” Kataku sesaat kemudian.
“Kenapa?”
“Aku gak terlalu suka ada di lingkungan baru. Dan aku pindah dari Surabaya karena ayahku dipindah kerja ke sini, padahal di sekolah lama aku baru mulai berteman dengan beberapa teman cewek yang kayaknya kalo aku masih stay disana kami bisa berteman akrab.”, jawabku menjelaskan.
“Itu dia, Mir. Masalahmu adalah kamu terlalu banyak mikir. Kamu mikirin kalau lingkungan baru yang asing buatmu akan gak menerima kamu. Padahal kamu punya banget lho skill untuk jadi teman yang bisa ditemani. Kamu asik diajak bicara. Dan buatku kamu beda, Mir.”
Lagi-lagi dia berkata bahwa aku beda.
“Beda?”, tanyaku.
Kemudian Argo menundukkan kepalanya. “Kamu menarik, tapi kamu gak sadar.”, jawabnya sambil menoleh ke arahku.
“Maksudmu?”, tanyaku tak mengerti.
“Temen-temen cewek seumuran kita ini biasanya berusaha untuk jadi menarik, bahkan mereka rela kok ninggalin jati diri mereka sendiri, mereka ikut-ikutan teman atau trend. Itu malah yang membuat mereka terlihat gak menarik. Karena cewek yang menarik itu adalah cewek yang jadi dirinya sendiri. Ya kayak kamu. Kalo kamu gak suka, kamu akan bilang. Kalo kamu suka, kamu juga akan bilang. Kamu gak terlihat ikut-ikutan orang lain atau ikut-ikutan trend.Tapi kamu gak sadar kalo kamu menarik. Kamu justru takut dan kebanyakan mikir.”, kata Argo menjelaskan yang membuatku tersadar akan sesuatu.
Sepertinya aku tak hanya menjadi berpikir bahwa yang dibicarakannya itu benar. Tapi lebih dari itu, bahwa Argo melihatku sebenar-benarnya melihat orang lain. Prasangka tentangnya yang bersikap seperti me-modus-kan aku sepertinya harus kubuang jauh-jauh. Sepertinya dia sedang memperlihatkan dirinya peduli pada seorang gadis rumahan yang tak pandai bergaul, aku.
Argo masih berbicara tentang diriku dan aku masih memperhatikannya. Cara bicaranya selalu apa adanya tapi bernada santai. Memang untuk orang yang baru pertama kali berbicara padanya akan menganggap bahwa Argo adalah orang yang sok asik dan sok tau. Namun sebenarnya dia seasik-asiknya lawan bicaramu yang tak hanya mau didengarkan tapi juga mau mendengarkan. Yang unik, dia adalah cowok yang baru ku kenal belum genap satu bulan.
“Mir, aku boleh tanya?”, kata Argo setelah selama beberapa detik sebelumnya kami terdiam.
“Silahkan.”, kataku.
“Hahaha, sebenernya ini konyol sih.”, katanya sambil menggaruk belakang kepalanya.
“Hm, apa?”, kataku penasaran.
“Hm, kamu gak pernah pacaran kah?”, dan pertanyaan yang dimaksud pun terucap. Pertanyaan itu membuat wajahku memerah karena malu. Entah malu karena memang kenyataannya aku belum pernah berpacaran, atau malu karena kali itu aku benar-benar merasa prasangkaku tentang modusnya itu ternyata malah benar.
“Hmm, gak pernah.”, jawabku malu sambil menunduk.
“Hahahaha, sorry ya, Mir. Bukannya kepo, cuma mau tanya aja.”, katanya sambil senyum-senyum.
“That’s ok.”, kataku sambil tersenyum menahan tawa.
***
Tak terasa kami sudah berjalan kaki selama 30 menit, dan aku tak merasa kelelahan sedikit pun. Mungkin karena kami sambil mengobrol. Argo bertanya apa aku kelelahan, aku menggeleng. Kemudian dia bertanya kalau ke rumahku berapa kali naik bus, aku jawab dua kali. Dan saat itu sebenarnya kami telah melewati setengah perjalanan, karena Argo bilang kami akan segera sampai terminal bus, dan di terminal itu biasanya menjadi tempat berhenti-keluar bus yang melewati rumahku. Aku baru mengetahuinya karena sebenarnya aku belum tau banyak jalan-jalan di Jakarta selain jalan raya dari rumah menuju sekolah.
Argo lalu mengajakku berjalan melewati sebuah gang kecil untuk memotong jalan. Gang kecil itu berada di pinggir jalan raya dan di depannya ada gapura kecil yang menjadi mulut gang. Sebelumnya aku merasa tidak apa-apa saat melewati beberapa gang, tapi kali itu aku merasa gangnya sempit sekali dan aku agak fobia dengan jalan yang sempit. Karena gang yang dimaksud hanya selebar badan sebuah sepeda motor ditambah jarak sedikit untuk seorang dewasa berjalan. Gangnya terhimpit diantara beton-beton rumah yang berwarna abu-abu, sehingga gang sempit itu semakin dilewati semakin tak terkena sinar matahari, gelap dan sepi. Aku menghentikan langkahku dan mulai berkeringat setelah beberapa langkah melewati gang sempit itu. Kemudian Argo yang semula berjalan di depanku pun berhenti.
“Kamu kenapa, Mir?”, tanyanya sambil berjalan ke arahku yang ada di belakangnya.
“Hm, aku fobia jalan sempit.”, kataku sambil mengelap keringat namun berusaha tersenyum padanya.
“Hahaha, kenapa gak bilang daritadi?”, dia malah menertawaiku. Aku menggeleng. “Yaudah, istirahat dulu deh.”, katanya memintaku untuk berdiam dulu di tengah gang yang sempit itu. Aku menggeleng lagi dengan cepat. “Terus?”, katanya penasaran.
“Jalan terus aja ya, supaya cepet sampai.”, kataku meminta. Karena kalau aku berdiam untuk beristirahat aku semakin merasa tak nyaman “dihimpit” gang kecil itu.
“Yakin?”, tanyanya. Aku mengangguk cepat. “Yaudah. Ayo.”, katanya sambil menjulurkan tangan kanannya.
Dan aku pun meraihnya. Kami berpegangan tangan kemudian kami berjalan. Entah kenapa aku merasa percaya saja padanya untuk meraih tangannya dan saat dia menggenggam tanganku. Tak sadar aku semakin berkeringat, berkeringat karena fobiaku ditambah dengan rasa deg-degan, aku baru pertama kali berjalan dengan cowok sambil berpegangan tangan.Tangannya yang besar seperti terasa menggenggam tanganku yang kecil. Kemudian Argo berkata kalau tanganku berkeringat dingin. Dan aku mengatakan kalau itu karena aku fobia, padahal tidak juga. Jantungku berdegup tak seperti biasanya. Genggaman erat tangannya seperti mengantarkan impuls rasa aman dan tenang ke otakku. Aku rasa aku menyukainya saat itu.
Lalu tibalah kami di ujung jalan gang sempit itu dan ternyata menuju langsung kedalam terminal bus yang akan kami tuju. Kemudian kami naik bus menuju rumahku, karena aku sudah tidak kuat berjalan dan bicaranya Argo yang ingin menggendongku memang hanya lelucon saja. Di perjalanan menaiki bus, Argo dan aku kembali berbincang. Aku bercerita kalau ibuku sudah meninggal karena sakit saat aku SD dan Argo pun bercerita tentang ayahnya yang pergi meninggalkannya dan ibunya. Saat kudengar ceritanya, aku kira kisah itu hanya ada di film-film saja, tapi ternyata di dunia nyata kisah seperti itu pun terjadi. Dan kami memiliki kesamaan yaitu hanya memiliki satu orangtua. Aku menjadi bersimpati saat dia menceritakan tentang keluarganya, walaupun dia menceritakannya dengan nada bicara yang santai dan tidak terlihat sedih sama sekali.
Setelah itu kami membicarakan anjingku, Casey. Aku mengingatkannya untuk bertemu Casey agar dia tidak takut dengan anjing. Saat itulah wajahnya berubah jadi serius dan agak takut. Aku pun tertawa melihatnya.
***
Setiba di rumah, seperti biasa tidak ada orang sama sekali karena ayahku belum pulang dan di rumah tidak ada pembantu. Saat aku membuka pintu rumah, Casey yang umurnya baru dua bulan berlari ke arahku dan Argo. Saat aku memanggil Casey, anjingku itu malah menghampiri Argo dan melompat ke arah Argo. Argo kaget dan berlari ke luar rumah karena takut dikejar anjing. Padahal saat itu Casey hanya ingin menghampiri Argo dan mengajak bermain. Bukan karena Casey galak. Kemudian aku menangkap Casey di depan pintu pagar dan menggendongnya. Kulihat Argo sedang berdiri sambil bernapas tersengal-sengal di ujung jalan. Lalu aku menghampirinya dan tertawa. Kemudian aku mengajaknya kembali ke rumahku sambil aku menggendong Casey.
Di teras rumah aku meminta Argo untuk duduk dan menyentuh Casey. Aku menuntun tangannya untuk menyentuh bulu Casey yang berwarna keemasan itu. Dia tertawa dan katanya dia merinding menyentuh bulu anjing. Aku berkata padanya kalau anjing adalah hewan yang lucu, jadi gak ada yang perlu ditakutkan. Kemudian dia berkata sesuatu padaku.
“Kalau kamu berani sama anjing, harusnya sama orang-orang baru juga dong?”, katanya sambil tersenyum. Aku tau sepertinya itu sindiran yang menggoda. Tapi aku lebih tau lagi kalau dia ingin aku bisa membentuk pertemanan. Kemudian aku tersenyum dan mengangguk padanya.
Sejak saat itu Argo dan aku jadi dekat. Aku pun “mendengarkan” apa yang dikatakannya agar aku tak lagi bersikap tertutup terhadap orang lain. Diam-diam aku mencari buku yang pernah diceritakannya, yaitu “What a Dog Saw?” yang ditulis Malcolm Gladwell. Buku itu secara umum memberikan penjelasan tentang cara bagaimana memahami orang lain dan membentuk hubungan interpersonal dengan orang lain. Bagiku, judul buku itu unik, karena saat aku mencari tau kenapa judul buku itu berkaitan dengan anjing, ternyata anjing mampu melihat setiap orang yang ada di dekatnya dengan berbeda. Tidak semua manusia disukai anjing karena anjing pun punya karakter yang berbeda-beda. Mungkin itu kenapa Argo memintaku untuk membacanya dan kenapa Argo pernah mengatakan kalau aku “beda”, karena dia melihatku dengan cara yang berbeda. Yang bahkan aku sendiri tak menyadarinya.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H