Lihat ke Halaman Asli

Harmen Batubara

Penulis Buku

Agresivitas China, Perbatasan Natuna, dan Kedaulatan Bangsa

Diperbarui: 15 Januari 2020   15:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KRI Sutedi Senoputra-378 (kiri) dan KRI Teuku Umar-385 (kanan) berlayar meninggalkan Faslabuh Lanal Ranai, Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau, Kamis (9/1/2020). KRI Usman Harun-359 bersama KRI Sutedi Senoputra-378 dan KRI Teuku Umar-385 berlayar untuk mengikuti Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 sebagai pengendalian wilayah laut, khususnya di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) laut Natuna Utara. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/nz(ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT via KOMPAS.com))

Kemajuan ekonomi China telah membuat berbagai perubahan baru dalam kehidupan di kawasan ini. Berbagai eskalasi ketegangan di Laut China Selatan dan sekitarnya secara perlahan tapi terus meningkat.

Upaya penyelesaian sengketa wilayah secara damai di Laut China Selatan terus diupayakan. Termasuk menyusun kode etik berperilaku untuk negara-negara yang bersengketa di Laut China Selatan. Tetapi, kelihatannya, masih akan memerlukan waktu.

Sudah demikian, China terus melakukan berbagai tindakan yang dianggap "tidak biasa"--bahkan cenderung sebagai provokasi oleh negara-negara yang juga mengklaim wilayahnya di Laut China Selatan. 

Reklamasi besar-besaran dan pembangunan infrastruktur di gugusan karang dan kepulauan yang disengketakan terus dilakukan China.

China juga tidak mengakui putusan Mahkamah Internasional dan menolak seluruh klaim para pihak atas wilayah di Laut China Selatan. Putusan Mahkamah Internasional ini dikeluarkan berdasarkan gugatan yang diajukan oleh Filipina.

Indonesia, meski bukan negara yang ikut terlibat sengketa wilayah di Laut China Selatan, juga terkena imbas oleh agresivitas China yang cenderung ekspansif dalam mengklaim wilayah. 

Sembilan garis putus-putus yang dibuat China untuk menandai wilayah teritorial berdasarkan klaim sejarah mereka memasukkan Kepulauan Natuna. Meskipun sikap resmi China atas Kepulauan Natuna adalah mengakui wilayah tersebut sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia.

Namun, insiden antara kapal patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan kapal penjaga pantai China bulan Maret tahun 2016 seperti memastikan bahwa pengakuan China atas kedaulatan Indonesia di Natuna bisa berubah setiap saat.

Insiden yang semula berasal dari konflik perikanan kemudian mulai memanas setelah TNI Angkatan Laut mulai ikut terlibat dan bersikap tegas dengan pelanggaran yang dilakukan kapal nelayan China. 

Bulan Juni tahun 2016, KRI Imam Bonjol sempat memberikan tembakan peringatan terhadap kapal nelayan China yang mencuri ikan di perairan Natuna. Insiden ini sempat diprotes Kementerian Luar Negeri China. 

Sebaliknya, Kementerian Luar Negeri Indonesia tahun lalu juga sempat mengeluarkan nota protes karena kapal penjaga pantai China memasuki perairan Natuna. Seperti biasa, China kemudian membantahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline