Lihat ke Halaman Asli

Harmen Batubara

Penulis Buku

Laut Natuna Utara, Diplomasi Peta Deklarasi Sepihak

Diperbarui: 26 Juli 2017   20:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Dokumentasi pribadi

Kalau kita mendengar kata Diplomasi Peta, maka pikiran kita akan merujuk pada suatu kegiatan melakukan penerbitan Peta Wilayah NKRI secara periodik yang diikuti oleh berbagai kegiatan yang memungkinkan pemunculan Peta NKRI baru tersebut akan memberikan lebih terjalinnya suasana persahabatan dengan negara tetangga. Hal itu bisa terkait dengan kegiatan perpetaan dengan negara tetangga; baik dengan negara tetangga dekat ataupun tetangga jauh. Tetapi kalau kegiatan tersebut justeru menuai "kritik" maka tentu saja akan berlawanan dengan istilah diplomasi itu sendiri.

Dengan kacamata seperti itu. Indonesia, entah terinspirasi oleh Filipina atau tidak, tetapi faktanya Indonesia juga ikut mengubah nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara. Sebagaimana kita ketahui Filipina pada tahun 2011 mengubah nama Laut China Selatan menjadi Laut Filipina Barat. Tiongkok waktu itu  tidak terima dan protes ke  Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda. Pada tahun 2016 Badan itu ternyata menolak keberatan pemerintah Tiongkok, dan mengatakan bahwa Filipina punya hak untuk menamai wilayah lautnya sesuai dengan keinginan mereka.

Pada tahun 2017, tepatnya 14 Juli 2017 Indonesia resmi mempublikasikan Peta NKRI baru dengan mengganti Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara. Tiongkok jelas tidak bisa terima. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Geng Shuang, menekankan bahwa diperlukan waktu lama, serta sesuai dengan penamaan standar internasional, istilah Nanhai atau Laut China Selatan telah diterima komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa. "Perubahan nama sebagaimana Anda sebutkan itu tidak masuk akal dan tidak kondusif bagi upaya standardisasi internasional penamaan sejumlah tempat," kata Shuang sembari berharap negara-negara yang berada di wilayah Laut China Selatan untuk bekerja sama dengan Beijing.

Terkait protes ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan menegaskan penggunaan nama Laut Natuna Utara bukan untuk menggantikan nama Laut China Selatan. "Perubahan peta itu sebenarnya masih di daerah kita saja. Tidak mengganti South China Sea (Laut China Selatan)," ujar Luhut di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta.

Bagi Indonesia sendiri, peluncuran peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada (14/7/2017) di Jakarta oleh Kemenko Kemaritiman sejatinya adalah hasil dari kegiatan pemetaan batas bersama antara Indonesia dengan negara tetangganya, seperti Malaysia, Singapura dan Filipina. Pembaharuan itu jelas merupakan bagian ajang persahabatan Komunitas penegasan batas antara Indonesia dengan negara tetangganya. Kegiatan itu sangat konstruktif dan dalam suasana bersahabat yang telah terjalin lama dalam hal kegiatan penegasan batas  laut dengan negara tetangga.

Kita mengatakannya demikian karena yang dilakukan "Panitia Pembaruan Peta NKRI 2017" itu memang masih merupakan kelanjutan berbagai kegiatan penegasan batas yang telah dilakukan oleh Indonesia dengan negara tetangganya. Konkritnya ada beberapa hal dan data perbatasan baru yang melatarbelakangi perlunya pembaruan NKRI tersebut, beberapa diantaranya :

Pertama, Pemetaan Batas Laut antara Indonesia-Singapura-Filipina; yakni adanya perjanjian perbatasan laut teritorial yang sudah berlaku, yakni antara Indonesia dan Singapura di sisi barat dan sisi timur. Demikian juga dengan perjanjian batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan Filipina yang sudah disepakati bersama dan diratifikasi. Maka, dalam waktu yang tak lama lagi, dua perjanjian itu akan berlaku.

Kedua, hal itu juga masih berkaitan keputusan arbitrase antara Filipina dan China. Keputusan ini memberikan yurisprudensi hukum internasional bahwa pulau kecil atau karang kecil di tengah laut yang tak bisa menyokong kehidupan manusia tidak memiliki hak ZEE 200 mil laut serta landas kontinen. Karena itu, pulau-pulau kecil milik negara tetangga hanya diperhitungkan dan diberikan batas 12 mil laut.

Ketiga, merujuk pada pembaruan kolom laut di utara Natuna. Hal ini mengacu pada Landas kontinen di kawasan itu sejak 1970-an menggunakan nama blok sesuai dengan referensi arah mata angina seperti Blok Natuna Utara, Blok Natuna Selatan, Blok Natuna Timur, dan Blok Natuna Tenggara.

Karena itu, supaya ada satu kejelasan, kesamaan antara kolom laut di atasnya dengan landas kontinennya dibawahnya, kolom laut  itu disepakati oleh tim nasional diberi nama Laut Natuna Utara. Nama ini disebutnya jelas menyesuaikan dengan nama blok-blok migas yang sudah ada di landas kontinen di bawahnya.

Keempat, pemerintah ingin mempertegas klaim di Selat Malaka dengan melakukan simplifikasi klaim garis batas guna mempermudah penegakan hukum. Selain itu, di kawasan dekat perbatasan Singapura, sudah ada garis batas yang jelas. Dengan posisi itu, peta perlu diperbarui sehingga petugas TNI AL, Bea dan Cukai, serta kesatuan penjagaan laut dan pantai akan mudah berpatroli.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline