Lihat ke Halaman Asli

Harmen Batubara

Penulis Buku

Pertamina, Maafkan  Terlanjur Sudah Membencimu

Diperbarui: 10 Februari 2016   11:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

oleh harmen batubara

Sebenarnya saya awam tentang Pertamina yang sebenarnya.Yang saya tahu banyak adalah pemberitaan minor tentang perusahaan BUMN ini. Saya selalu mbandingkannya dengan Petronas. Perusahaan sejenis negara tetangga dengan gedungnya yang megah. Sementara Pertamina, saya tahunya adalah detail-detail kecil yang sungguh “memalukan”. Misalnya dalam hal perhitungan biaya eskplorasi, biayanya sangat besar dan ketika nantinya dikonversi, jatuhnya pemerintah harus bayar amat mahal. Saya tahu isu-isu seperti itu karena saya dahulu di bidang perizinan survey. Jadi pikiran saya kalau hal-hal seperti ini (detail) tidak bisa ditangani oleh sebuah perusahaan. Hemat saya semua tidak akan jauh dari hal-hal seperti itu, muspro.Begitu juga takkala sahabat saya menceritakan banyaknya kebocoran “minyak” saat perpindahan dari kapal ke Tangki penimbun dan sebaliknya. Bayangkan pa katanya. Diujung sini krannya sudah di tutup-kemudian di ujung sana krannya juga langsung di tutup, padahal pajangnya pipa itu bisa Km an. Coba hitung berapa drum yang di tilep oleh pelaksananya. Ratusan drum per sekali drop. Lha kalau sehari bisa puluhan Tangker? Berapa juta drum yang hilang? Hal-hal seperti itulah yang membuat saya sangat tidak enak dengan nama pertamina.

Padahal Pertaminan itu berada pada jajaran BUMN kita. Kita tahu persis bahwa sejak dahulu Kementerian BUMN sudah dipimpin CEO dan wirausahawan terbaik Indonesia. Track record mereka itu sungguh tergolong luar biasa. Minimal kita pernah melihat nama-nama seperti Tanri Abeng, Laksamana Sukardi, Sofyan Djalil, Dahlan Iskan, dan Rini Soemarno. Apakah para pemimpin yang demikian cemerlang itu lalu menemukan “surganya” di sana? Saya tidak ingin mengatakan bahwa kehebatan mereka itu justeru menjadikan Pertamina jadi perusahaan sapi perahan sepanjang masa. Karena logika saya juga tergolong “sangat sederhana”, kalau sebuah perusahaan jadi sapi perahan para pemilik kekuasan yang memilikinya, bagaimana mungkin para CEO yang hebat itu tidak memanfaatkan situasi? Pendeka sekali nalarnya kan?

Pertamina Setelah Jokowi-JK

Setelah Jokowi jadi presiden, perubahan itu mulai terjadi. Setidaknya  ada dua hal yang dilakukan Pertamina. Pertama, setelah pemerintah membubarkan Petral, Pertamina mempeknalkan system dengan Integrated Supply Chain (ISC) dalam urusan impor minyak mentah dan produk kilang. Hal ini diikuti  semua proses pengadaan dipindahkan dari Singapura ke Jakarta. ISC menerapkan lelang terbuka yang membuat para peserta tender melakukan penawaran yang lebih riel. Harga pun bisa ditekan lagi. ISC memungkinkan mereka bisa mengubah skema impor dari cost and freight (CFR) menjadi free on board (FOB). Semua perubahan ini menjadikan biaya pengadaan lebih murah. Itulah serangkaian perubahan yang dilakukan Pertamina setelah likuidasi Petral. Hasilnya? Sejak Januari sampai November 2015, nilainya mencapai USD 174 juta atau lebih dari Rp 2,26 triliun.

Dalam pikiran saya lalu timbul pertanyaan sederhana. Apakah dahulu para CEO Pertamina itu tidak punya ide atau hanya menuruti keinginannya pemegang mayoritas saham? Bayangkan juga yang ini. Setelah pemerintahan Jokowi –JK pegang kendali . Lalu muncul fakta ini. Seperti tulis Rhenald Kasali (JawaPos, 19 jan 2016).  Mungkin Anda perlu tahu bahwa urusan serah terima minyak di Pertamina melibatkan empat pihak, yakni sender (produsen dan kilang), penerima (kilang-kilang atau tangki timbun), transporter atau para pengangkut minyak, dan surveyor. Pada setiap tahap serah terima minyak, seperti saat loading, selama perjalanan, atau ketika pembongkaran, menurut temuan Pertamina, selalu ada losses, selalu ada kebocoran. Bentuknya macam-macam. Ada minyak yang menguap, bocor, tumpah, atau aksi kriminal.

Ada juga losses yang disebabkan peralatan. Misalnya, alatnya tidak dikalibrasi dulu, temperatur kurang akurat, ataupun ada material lain seperti lumpur. Jadi betul-betul teknis. Masalah-masalah itulah yang ditelusuri tim PTKAM dan dibenahi. Hasilnya? Berbagai kebocoran tadi bisa ditekan. Pada Desember 2015 Pertamina berhasil menghemat hingga USD 215,4 juta USD atau setara dengan Rp 3 triliun.

Kenapa Harga BBM Masih Tinggi?

Kita memang hanya tahu harga minyak dunia turun dan tergolong paling murah dari harga yang pernah ada. Sayangnya harga minyak Pertamina tetap saja tinggi. Minimal masih lebih tinggi dari negara tetangga Malaysia. Padahal pendapatan perkapita mereka juga jauh lebih tinggi dari kita. Lalu pikiran kita akan jadi curiga lagi. Apakah pemerintah tidak responsif terhadap keluhan warga atas tingginya harga bahan bakar minyak (BBM) di tengah anjloknya harga minyak dunia. Pertamina bisa apa sih?

"Apa sih yang sesungguhnya sedang terjadi? Kok negara lain BBM-nya bisa murah tapi kita masih terus mahal," ujar anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PAN Nasril Bahar saat dihubungi (Senin, ½) Kata Nasril, dalam setiap rapat, Pertamina dan pemerintah selalu beralasan harga yang ditetapkan sudah sesuai dengan nilai keekonomian. Tapi, saat diminta membuka data biaya produksi BBM, Pertamina dan pemerintah bungkam. "Sampai sekarang Pertamina tidak mau buka data biaya produksi itu. Jangankan masyarakat umum, DPR saja tidak diberi. Jadi, kita tidak tahu masalahnya kenapa BBM di kita masih lebih mahal," tandasnya.  Dalam kesempatan lain-menurut Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Ibrahim Hasyim, tingginya harga BBM di Indonesia karena kilang minyak yang sudah tidak efisien.

Kita jadi berpikir lebih konyol lagi. Kalau kilangnya memang sudah tidak efisien, kenapa Pertamina mempertahankannya? Ganti saja. Selesai persoalan. Atau apakah karena biaya distribusinya yang terlalu mahal? Sebab jangan lupa-negara tetangga itu tergolong kecil-buat dua lokasi tangki raksasa di masing-masing pulau saja persoalan mereka jadi selesai. Sementara wilayah Indonesia yang begitu luas-ditambah lagi kondisi infrastrukturnya masih buruk dan banyak yang belum terjangkau. Kalau Pertamina mengatakannya seperti itu. Saya percaya, kita juga bisa paham. Tapi itulah Pertamina-saat diminta membuka data biaya produksi BBM, Pertamina dan pemerintah bungkam. "Sampai sekarang Pertamina tidak mau buka data biaya produksi itu. Jangankan masyarakat umum, DPR saja tidak diberi. Ya begitulah. Kita jadi berpikiran jelek lagi terhadap Pertamina. Padahal orang-orang hebat Indonesia ada di sana. ( www.wilayahperbatasan.com).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline