Perkembangan terahir terkait kadafy adalah sejalan dengan perkembangan kepentingan semua pihak. Fakta terahir dari rezim khadafi adalah apa yang terjadi Misrata, Selasa(29/3). Militer dan milisi loyalis Moammar Khadafy tanpa pandang bulu menyapu semua kekuatan oposisi Libya, Kota dipenuhi tank, kendaraan lapis baja, dan ratusan loyalis berpatroli keliling kota. Sempat terjadi pertempuran sengit. Suara ledakan dan tembakan terdengar di beberapa sudut kota. Tentara dan milisi loyalis Khadafy memanfaatkan peluang saat aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) memutuskan untuk menunda aksi militer selama 24 jam hingga Kamis(31/3) pukul 07.00. NATO menunggu hasil pertemuan pemimpin dunia di London, Selasa (29/3).
Keinginan koalisi terlihat dari apa yang mereka rencanakan di London. Para pemimpin negara Barat dan Arab mulai membahas penyelesaian krisis Libya, Selasa (29/3) di London. Sebelum pertemuan itu, muncul pendapat di kalangan pejabat Barat dan oposisi Libya yang menginginkan Moammar Khadafy diasingkan atau diadili sebagai penjahat. Lihat juga www.wilayahperbatasan.com.
Harian The Guardian melaporkan, rencana menawarkan rute pengasingan bagi Khadafy akan menjadi pertimbangan utama dalam pertemuan tingkat tinggi yang diikuti menteri luar negeri dari 35 negara, Liga Arab, dan Uni Afrika sehingga total sekitar 40 negara. Selain itu, juga hadir Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dan Menlu AS Hillary Clinton.
Pertemuan juga dihadiri Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Anders Fogh Rasmussen. Tujuan pertemuan London adalah mengakhiri krisis Libya dengan gencatan senjata segera. Pertemuan London diharapkan membantu transisi politik Libya. Entah apakah Khadafy akan diasingkan atau diadili juga akan diputuskan dalam pertemuan tersebut.
Dua opsi itu muncul dari para pejabat Barat dan oposisi Libya di Benghazi, Libya timur. Menteri Luar Negeri (Menlu) Inggris William Haque selaku tuan rumah pertemuan, dan menyerukan agar Khadafy diseret ke Pengadilan Kriminal Internasional. Ia tidak setuju jika tiran dari Libya itu diasingkan.
Para pimpinan Koalisi berembuk untuk memetakan masa depan Libya. Pertemuan juga akan membahas tawaran jalan keluar yang aman bagi Khadafy meninggalkan negerinya.
Ketua Dewan Nasional Transisi Sementara (PTNC) Libya Mustafa Abdel Jalil menginginkan Khadafy diadili sebagai penjahat. Kepada stasiun televisi France 2 di Benghazi, ia mengatakan, Khadafy harus diadili setelah oposisi menang. ”Setelah menang, kami akan mengadili Khadafy di Libya atas kejahatan yang dia lakukan,” ujar Mustafa.”Dia (Khadafy) harus diadili karena kejahatannya terhadap rakyat Libya,” kata juru bicara oposisi, Shamsiddin Abdulmolah. ”Ini harga mati,” ucapnya.
Italia dan Jerman, yang menolak intervensi militer asing ke Libya, ingin Khadafy diasingkan, bukan diadili. Menlu Italia Franco Frattini menyatakan, Roma telah mendiskusikan usul itu dengan Jerman, Perancis, Swedia, dan Turki. Negara Afrika dapat memberikan suaka kepada Khadafy dan tak perlu mencemaskan pemimpin Libya itu akan kembali berkuasa dari pengasingan. Menlu Spanyol Trinidad Jimenez juga sependapat bahwa pengasingan bagi Khadafy lebih tepat. Khadafy belum didakwa melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Menghitung Hari
”Satu hal yang cukup jelas dan harus dibuat sangat jelas bagi Khadafy: waktunya sudah berakhir. Dia harus turun,” begitu secara umum pendapat para Menlu Koalisi. Seperti Menlu Jerman Guido Westerwelle seusai konferensi. Demikian juga dengan Menlu Italia Franco Frattini, Khadafy harus pergi tetapi disisi lain,Italia masih menginginkan agar diberikan suaka. Demikian pula Menlu AS, Hillary mengungkapkan beberapa opsi yang tengah dipelajari, antara lain meminta Khadafy keluar dari Libya. Sebagai imbalannya, Khadafy tak dikenai tuntutan hukum.
Ketua Dewan Nasional Transisi Sementara (PTNC) Libya Mustafa Abdel Jalil menginginkan Khadafy diadili sebagai penjahat setelah kubu oposisi menang. ”Setelah menang, kami akan mengadili Khadafy di Libya atas kejahatan-kejahatan yang dilakukannya,” demikian Mustafa.
Isu lain yang tak kalah penting dari konferensi London adalah gambaran Libya pasca-Khadafy. PTNC pada forum itu menyebarkan siaran pers tentang masa depan Libya. Oposisi yang diwakili PTNC akan menggelar pemilu presiden dan parlemen yang menjamin semua warga Libya tanpa terkecuali memilih secara bebas dan transparan.
PTNC juga akan menyusun konstitusi yang menjamin hak membentuk partai politik dan kebebasan berpendapat lewat media massa dan unjuk rasa. Mereka juga akan membangun negara sipil konstitusional yang menjamin kebebasan beragama serta menolak sikap intoleransi, sikap radikal, dan kekerasan.
Jika Khadafy bersedia menerima rekomendasi itu, gencatan senjata di Libya segera terwujud dan proses politik di Libya pasca-Khadafy segera dimulai. Tetapi sebaliknya apabila Khadafy menolak, hampir pasti solusi militer akan ditempuh untuk menaklukkan kota Tripoli dan rezim Khadafy.
Bagaimanapun, Khadafy akan sulit bertahan dari tekanan militer, ekonomi, dan diplomasi masyarakat internasional. Tidak tertutup kemungkinan pula negara Barat mempersenjatai kaum revolusioner untuk bisa lebih cepat mencapai kota Tripoli.
Menaklukkan kota Tripoli bisa jadi butuh waktu, tetapi bagi Khadafy hanya ada dua pilihan. Pertama, melakukan harakiri seperti dilakukan Adolf Hitler pada Perang Dunia II. Kedua, melarikan diri dengan bersembunyi seperti Saddam Hussein setelah pasukan AS memasuki Baghdad tahun 2003. Hanya waktulah yang akan menentukan.
Himbauan Dari Indonesia
Indonesia melihatnya dari Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa No 1973/2011 yang mengamanatkan gencatan senjata dan upaya pencarian solusi damai atas konflik di Libya. Mengacu kepada resolusi itu, Pemerintah RI menyerukan diberlakukan gencatan senjata di Libya dan mengajak masyarakat internasional untuk mengupayakan solusi damai. Pemerintah juga menawarkan pasukan penjaga perdamaian jika gencatan senjata diberlakukan.”Indonesia menyerukan kepada PBB dan masyarakat dunia agar kedua elemen penting itu dapat bersama-sama diwujudkan, yakni gencatan senjata dan pencarian solusi damai,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam konferensi pers di Istana Negara, Selasa (29/3).
Presiden menyatakan, perkembangan situasi di Libya sangat memprihatinkan karena aksi kekerasan terus terjadi dan korban terus berjatuhan, terlebih dari penduduk sipil.Pemerintah RI berpendapat, keadaan seperti ini tidak bisa dibiarkan. Harus ada langkah baru yang secara nyata dilakukan masyarakat dunia, termasuk bangsa-bangsa yang di dalam negerinya terjadi konflik.
”Indonesia berharap PBB terus mengambil peran dan inisiatif, melibatkan organisasi kawasan Uni Afrika dan Liga Arab, serta negara-negara tempat konflik itu terjadi. Semua harus diajak dalam mencaripolitical settlement untuk mengakhiri kekerasan itu,” kata Presiden.Presiden juga melihat Resolusi 1973 belum mengatur secara eksplisit perlunya misi penjaga perdamaian di bawah PBB jika nanti gencatan senjata diberlakukan. Misi penjaga perdamaian dibutuhkan untuk memantau dan melakukan supervisi atas proses gencatan senjata tersebut.
Dalam konteks ini, Indonesia menawarkan keterlibatannya dalam pengiriman penjaga perdamaian. ”Indonesia berinisiatif menawarkan diri menjadi bagian dari pasukan pemelihara perdamaian,”.Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menyatakan, Indonesia siap mengirimkan pasukan penjaga perdamaian kapan pun diminta. Pengiriman pasukan penjaga perdamaian merupakan salah satu implementasi amanat UUD 1945 tentang keikutsertaan Indonesia dalam menciptakan perdamaian dunia.
Pelajar Yang Bisa Diambil
Dalam pandangan Kiki Syahnakri Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD)(Kompas 30/3), bagaimanapun hebatnya kekuatan udara koalisi akan tetapi apabila aksi militer ini tidak diikuti dengan pengerahan kekuatan darat dan setelah beberapa hari atau minggu koalisi mundur begitu saja dari Libya tanpa berhasil menewaskan atau menjatuhkan Khadafy, hal ini akan menyulut terjadinya perang saudara yang lebih dahsyat lagi kendati Khadafy sudah kehilangan kekuatan udaranya.
Bisa diduga, kemarahan akibat serangan koalisi pasti akan ditumpahkan secara membabi-buta terhadap kelompok oposisi. Dengan demikian, tampaknya koalisi akan terjebak dalam dilema yang amat menyulitkan. Pelajaran yang dapat dipetik dari kasus aktual di Timur Tengah adalah pertama, sangat jelas bahwa yang mendorong pelibatan koalisi adalah ”kepentingan”, bukan idealisme demokrasi ataupun HAM. Ini tampak dari dukungan koalisi, terutama AS, terhadap oposisi di Mesir dan Libya, tetapi di Bahrain—yang notabene monarkis—koalisi berpihak kepada penguasa yang merupakan sekutunya.
Kedua, betapa rentan dan longgarnya persahabatan AS dengan sekutu-sekutu Arab-nya. Negeri adidaya itu dengan mudah meninggalkan bahkan mendorong jatuh pemimpin negara yang sudah goyah atau ”tidak laku” lagi seperti Hosni Mubarak yang sebenarnya segaris dengan Barat. Benar adagium kuno, ”Dalam politik tak ada lawan atau sahabat yang abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan.”
Sang Kolonel
Dalam menggambarkan karakter sang Kolonel saya suka tulisan Trias Kuncahyono (Kompas,30/3), menurutnya Moammar Khadafy bukanlah Hosni Mubarak yang memilih meletakkan jabatan setelah menghadapi desakan rakyatnya agar mengundurkan diri. Mubarak memilih menyingkir ke kota tempat peristirahatan di Sharm el Sheikh dan bahkan kini dikenai larangan bepergian. Ia tidak boleh meninggalkan Mesir, untuk berobat sekalipun.
Khadafy kiranya juga tidak akan seperti Saddam Hussein, mantan pemimpin Irak. Saddam, yang setelah dijatuhkan pasukan koalisi pimpinan AS, melarikan diri, sembunyi di bungker, ditangkap, dipenjara, diadili, dan akhirnya dihukum gantung. Sungguh tragis nasib mantan orang kuat Irak itu. Anak-anaknya, terutama yang laki-laki, juga dihabisi.
Pada masanya, Saddam Hussein, Moammar Khadafy, dan Hafez al-Assad adalah singa-singa Timur Tengah yang aumannya menggetarkan dunia Barat. Tiga pemimpin ini sebenarnya juga berebut pengaruh di Timur Tengah. Itu cerita masa lalu.
Hingga saat ini Khadafy masih berkuasa atas Libya. Dia masih tetap penguasa tertinggi negeri di Afrika Utara itu. Usaha kekuatan oposisi yang mendapat dukungan kekuatan militer Barat, ditambah dua negara Timur Tengah dan kini di bawah komando NATO, belum sepenuhnya berhasil. Apakah hasil akhir dari perlawanan oposisi yang dibantu NATO? Jatuhnya rezim Khadafy, gencatan senjata, atau terpecahnya Libya menjadi dua: Libya timur dan Libya barat, atau apa?
Yang jelas, Tripoli masih di tangan Khadafy. Ia akan berjuang sekuat tenaga sampai titik darah penghabisan. Paling tidak itu yang pernah ia ucapkan. Membaca sejarah hidupnya, ia bukan orang yang mudah menyerah kalah. Jadi, cerita belum berakhir sampai di sini. Khadafy, sekali lagi, bukan Ben Ali, bukan Mubarak, dan bukan juga Saddam Hussein yang tragis akhir hidupnya. Tetapi nasibnya kini, benar-benar ada dan ditentukan oleh Koalisi dan tentu saja di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki, apapun bisa saja terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H