Lihat ke Halaman Asli

Harmen Batubara

Penulis Buku

Pembangunan Papua, Pemberdayaan Masyarakat Papua

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kompas (27/4/); menuliskan penolakan Dewan Adat Papua terhadap transmigrai. Menurutnya, pembukaan lahan dan pengiriman transmigran ke Papua dinilai sebagai bentuk marjinalisasi orang asli Papua. Karena itu, masyarakat dan Dewan Adat Papua menolak program tersebut. ”Kami secara resmi dan tegas tidak setuju serta menolak transmigrasi ke Papua. Kami orang asli Papua tidak mau jadi minoritas di tanah air sendiri,” kata Forkorus Yoboisembut, Ketua Dewan Adat Papua, Senin (26/4) di Jayapura, Papua.

Dalam kaitan itu, Forkorus meminta pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota secara tegas menolak rencana pengiriman transmigran ke tanah Papua. ”Pemerintah sebaiknya mengurus masalah warga di tanah Papua yang sudah ada. Jangan sampai nanti banyak-banyak orang pendatang ke Papua, lalu tidak dapat kerja, jadi bikin kriminal,” ujarnya. Sehari sebelumnya, sekitar 200 mahasiswa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Peduli Masyarakat Pegunungan Tengah (FMPMPT) Papua pun menyatakan hal serupa saat berunjuk rasa di Kantor Gubernur Papua.

Realistis

Kalau melihat Australia dalam mengembangkan suku Aborigin, salah satu yang menonjol dari sana adalah memposisikan warga aborigin sebagai tuan di wilayahnya sendiri. Mereka melokalisir suku asli ini di tengah-tengah benua. Berbagai perangkat, kemudahan diberikan, tetapi satu hal tatanan adatnya tetap diberdayakan. Yang mau maju dan ikut arus perubahan; silahkan gabung, tetapi bagi mereka yang lebih memilih ikut kultur dan budaya aslinya, silahkan. Pilihan ada pada diri mereka sendiri. Tetapi di luar sana, pembangunan negeri tetap berjalan, sesuai irama zaman, irama perubahan itu sendiri.

Bagaimana Mahathir Mohammad membangun suku Melayu di Malaysia, juga adalah suatu contoh yang menarik dan berhasil. Memang sampai sekarang masih saja ada sentiment etnis lain, khususnya kalau melihat begitu banyaknya keistimewaan yang diberikan kepada suku Melayu. Padahal dari sekian banyaknya keistimewaan itu, sesunggguhnya banyak juga yang di selewengkan oleh suku Melayu itu sendiri. Artinya meski mereka diberi kail, tetapi banyak juga yang menjual kembali kailnya, dan lebih menerima uang kash, meski sedikit daripada bersusah-susah mencari uang dengan jerih payah sendiri.

Yang sering membuat pemerintah kita terjebak, adalah melaksanakan pembangunan di Indonesia dengan pola yang sama. Belakangan di desain adanya Otonomi Daerah, tetapi tetap saja dengan pola yang sama. Padahal sudah jelas-jelas, deri segi geografi, suku, adat istiadat, budaya sungguh jauh berbeda. Salah satunya adalah yang terkait dengan model pemberdayaan wilayah Papua.

Yang terlihat dari Jakarta, hampir tidak ada bedanya dan memang tidak dibedakan antara, nias, Kalimantan, Sulawesi, Timor dan Papua. Salah satunya dalam hal pengembangan transmigrasi, dan kini dengan pola transmigrasi Kota Mandiri Terpadu. Padahal dengan pengalaman melaksanakan program transmigrasi selama 30 tahun. Yang berkembang dan beruntung itu, ya hanya mereka para pengelolanya. Yang melaksanakan transmigrasi itu sendiri, ya sengsara dengan segala macam wujudnya.

Ada baiknya, model pembangunan memanfaatkan pengalaman Asutralia dan Malaysia dalam mengembangkan potensi warganya, bisa di desainkan atau diubahsuaikan dengan pola yang tepat untuk pembangunan Papua. Polanya harus ada wilayah adat papua, wilayah dimana semua aturan adat dapat hidup berdampingan dengan tatanan hukum nasional. Jadi seperti konsep pak Mahatir, harus ada warga pribumi dengan adat istiadat serta wilayahnya secara khusus. Kemudian ada pula wilayah bauran dengan rasio tertentu(mix) dimana antara pribumi dan pendatang bisa bertetangga tapi dengan jumlah perimbangan yang ditentukan, dan kemudian adapula wilayah bebas dimana para penghuninya bebas dari etinis mana saja, sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Dengan demikian kalau warga Papua menolak program transmigrasi, haruslah di lihat sebagai sesuatu yang wajar, dan itu ada dimana-mana. Hanya saja persoalannya, di Negara lain hal-hal seperti itu dapat dibaca oleh pimpinan Negara, dan langsung di poles atau dibungkus dalam pola yang bisa diterima para pihak. Sementara kita di Indonesia, yang ada adalah konsep yang sama rasa-sama rata untuk para warganya yang nyata-nyata memang sangat berbeda-beda. Pendekatan semacam itu disamping tidak memahami cara-cara alam, juga sangat tidak sesuai dengan pengembangan yang berkesinambungan. Pembangunan yang mampu meng “orang” kan orang-orang nya dengan wilayahnya sendiri. Penolakan seperti itu, adalah sesuatu yang wajar dan sangat manusiawi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline