Lihat ke Halaman Asli

Harmen Batubara

Penulis Buku

Alam Memperlihatkan Keprihatinannya

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia tengah di beri pelajaran bermakna oleh sang pencipta, sang pemilik alam. Indonesia sebulan terakhir yang karut-marut didera krisis akal sehat, adab dan keadilan. Di tengah ujian bencana yang silih berganti, kita justeru melihat dengan mata kepala kita sendiri, bagaimana para pemimpin bangsa melakukan tugasnya; mulai dari mereka yang asal komentar, sudah tidak tahu permasalahan, malah memberikan statemen yang menyakitkan, justeru di tengah orang berduka;

sebagian pemimpin kita itu malah melakukan studi banding dengan pola yang sangat “canggih”, dengan ide yang cemerlang yakni bagaimana mereka memanfaatkan uang rakyat itu dengan sangat efektif bagi kesenangan mereka sendiri. Studi banding ke Italia, mampir ke grand canyon Amerika dan pulangnya malah masih sempat melakukan ibadah Umroh, sementara warga yang dipimpin mereka sekarat tidak dapat air bersih oleh sapuan Tsunami dan dorongan wedhus gembel.

Bagaimana mungkin Indonesia bisa menjadi surga bagi koruptor, makelar kasus, dan mafia hukum? Sementara penyimpangan  pemakaian uang Negara berjalan dengan sangat rapi, sehingga para auditor, petugas wasrik, sama sekali tidak tahu atau tidak pernah ingin tahu, betapa uang Negara ini sebenarnya dikelola secara sistematis dalam wujud yang paling kasar dan rakus. Boleh dikatakan dana yang dipakai untuk pembangunan itu hanya sampai 30 % ke sasaran; 30 persen dibagi habis untuk komisi; 20 persen di tilap oleh meraka para pelaksana yang tidak melakukan kerja sebagaimana mestinya; dan 20 persen habis untuk biaya koordinasi, ya untuk petugas audit, wasrik dan studi banding?

Ulah mereka melumpuhkan penegakan hukum, mengaburkan hakikat keadilan, menjatuhkan martabat bangsa, bahkan mengancam keselamatan negara. Tetapi semua itu bisa berjalan secara “damai”, masyarakat ya biasa-biasa saja, para pejabatnya juga saling rukun dan malah sering mereka bertemu di saat mereka selagi melakukan studi banding di manca Negara; ya jajaran eksekutif, ya legislative dan yudikatif. Semua mereka melakukan tugasnya secara multi fungsi dan canggih tetapi tidak untuk membangun negeri secara yang sesungguhnya. Tetapi anehnya, Indonesia tetap ada, tetap eksis.

Memberantas sambil korupsi

Pertama, semua kita tahu bahwa bangsa kita telah dicerahkan dan diyakinkan, persoalan terbesar bangsa ini adalah korupsi. Empat puluhan tahun lalu, Bung Hatta berkata, korupsi telah menjadi bagian ”budaya” kita. Bayangka 40 tahun yang lalu. Padahal, kata Raymond William (1958), culture is ordinary. Korupsi memang sudah mendarah daging sehingga batas antara korupsi dan bukan korupsi menjadi kabur. Kita kehilangan kepekaan dan mati rasa. Jadi waktu zaman pak Harto dahulu, begawan ekonomi  Sumitro Joyohadi Kusumo pernah mengatakan bahwa dana pembangunan dikorupsi 30 persen;  waktu itu pak Harto marahnya bukan main; tetapi kini persentasenya sudah terbalik, korupsinya sudah jadi 70 persen; tetapi anehnya tidak ada yang merasa tersinggung. Mahasiwa juga, sepertinya sudah menerima, bahwa Indonesia memang harus hidup damai bersama korupsi.

Kedua, kita sebenarnya sering mendapatkan momentum emas untuk memerangi korupsi. Selama ini korupsi memang telah dihinakan sebagai kejahatan luar biasa. Namun, pemberantasan korupsi masih biasa-biasa saja karena semua  momentum seolah hanya terlewatkan. Selain tersedia momentum, masyarakat umum— yang selama ini tanpa sadar turut menyuburkan korupsi—sedang dalam soliditas dan komitmen bersama membasmi korupsi. Masyarakat makin sadar, korupsi menjadi musuh kesejahteraan, biang kemelaratan. Momentum dan dukungan masyarakat seyogianya segera dikelola untuk memberantas korupsi, bahkan mereformasi hukum. Tetapi semua itu, berjalan biasa-biasa saja.

Ketiga, kita sungguh sudah menikmati kemerdekaan pers. Masa-masa ini, media massa cetak, elektronik, dan maya secara kolektif-massif berhasil mengerucutkan isu korupsi dan bencana alam. Perhatian masyarakat tergiring dan kesadaran kritis terbangun. Meminjam istilah Edwin Emery (The Press and America: An Interpretative History of Journalism, 1962), pers Indonesia berhasil mengobarkan kecerdasan. Pers Indonesia juga sukses menjalankan fungsi kendali sosial serta menjadi pilar keempat demokrasi yang berdiri tegak sejajar dengan kekuasaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Kemerdekaan pers itu, hasilnya hanya membuat warga pembacanya kian bingung; sebab semua fakta di buka tetapi di pengadilan semuanya berjalan “biasa-biasa” saja, malah hakimnya tetap saja bisa di sogok, mesti dengan cara yang paling vulgar sama sekali. Aneh bin ajaib, di tengah pemberitaan anti korupsi yang menggelora, malah para hakim itu tetap saja melakukan praktik korupsi dengan damainya.

Keempat, kita menyaksikan hadirnya era keterbukaan. Beberapa lembaga negara telah (berani) membuka diri. Langkah Mahkamah Konstitusi dan Komisi III DPR yang mengizinkan media publik menyiarkan langsung sidang/rapat mereka, misalnya, layak diapresiasi. Lembaga-lembaga itu tidak sekadar memenuhi akuntabilitas publik, tetapi juga menjalankan pendidikan politik kepada masyarakat dan mewujudkan alasan meng-ada (raison d’etre) mereka sebagai lembaga peradaban. Tetapi itu juga ga punya efek, sebab sang koruptor malah dapat grasi dari Negara. Aneh memang pejabat, dan masyarakat Indonesia itu; di saat Negara sedang memerangi korupsi dengan segencar-gencarnya, tetapi Negara malah memberikan keringanan, memberikan amnesty, grasi bagi para pelaku koruptor kakapnya.

Wajar Kalau Alam Marah

Alam jadi sendirian, alam melihat Indonesia, sudah di huni oleh para warga, para pemimpin yang tidak bertanggung jawab; sudah mereka hidupnya penuh korupsi, penuh terorisme, penuh narkoba, dan malah membabat hutan dan alam secara semena-mena. Sampai di sini, kelihatannya Alam tidak mau lagi berpangku tangan. Bagaimana bangsa seperti ini akan bisa membangun pertahanannya, membangun wilayah perbatasannya, dan bagaimana oarng=orang di kawasan tidak mencibirkan. Dia mengirimkan pesannya secara jelas, lewat bahasa tsunami, dan wedhus gembel; tetepi ya namanya warga Indonesia, ya biasa-biasa saja. Begitu juga dengan persoalan warga sehari-hari seperti kemiskinan, pengangguran, penggusuran, putus sekolah, mahalnya biaya berobat, gizi buruk, krisis listrik dan energi sudah menjadi rutinitas warga di negeri yang indah permai ini. Tapi ya semua berjalan normal-normal saja.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline