Lihat ke Halaman Asli

Harmen Batubara

Penulis Buku

Bangsa yang Baru Melek Jamban, dan Investasi di PPKT

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MenteriKelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad yang mantan Gubernur Gorontalo, kita sudah mengenal sedikit banyak sentuhan manajemen dan kipranya, harapan kita juga sangat besar padanya, agar masalah kelautan dan perikanan bisa mendapat sentuhan dari katakanlahmanajer pengelolaan wilayah yang telah teruji. Sumber daya perikanan kita melimpah. Begitu banyak jenis ikan yang tersedia di laut, kita bisa langsung ”memanen” tanpa terlebih dahulu harus ”menanam” benihnya. Hanya perlu modal serta teknologi penangkapan dan pengelolaannya. Selebihnya tinggal memasarkan, dan melihat pertumbuhan yang menjanjikan.

Peran seperti itu bahkan sudah diakui kebenarannya dalam sejarah peradaban bangsa, hal ini telah berjalan dengan baik sejak tahun-tahun awal abad pertama Masehi. Wilayah Indonesia di masa lalu, justeru memandang ke laut, selat, dan teluk yang menaunginya, dan sekaligus menjadikannya jalur utama perniagaan yang menghubungkan kawasan timur (daratan Tiongkok), timur tengah, dan barat (India, Persia, Eropa). Peran seperti ini berlangsung selama berabad-abad. Beberapa Negara pernah ikut meramaikan dan menikmatinya. Sekali masa Portugis mengendalikan perdagangan di kawasan ini. Kali yang lain lain Inggris. Mereka menikmati atas penguasaan Selat Melaka dan jalur pelayaran di pantai barat Sumatera, sebelumsemuanya diambil alih sepenuhnya oleh pedagang-pedagang VOC Belanda.

Itulah yang pernah terjadi, dan seperti itulah adanya bila perspektif sejarah digunakan untuk melihat peran sentral laut Nusantara. Kita dapat melihat dengan jelas dan sekaligus dapat menengok jalinan interaksi sosial-kultural - ekonomi-politik dari berbagai bangsa yang pernah berintegrasi di kawasan ini. Ironisnya, ketika laut jadi incaran banyak orang, ketika dunia makin percaya bahwa masa depan umat manusia berada di laut, kita sebagai bangsa yang lebih dari dua pertiga wilayahnya berupa laut justru secara sadar malah berpaling ke darat. Laut dan sungai diposisikan sebagai halaman belakang, sekadar tempat leyeh-leyeh, sembari memanfaatkannya sebagai sarana “jamban”, pembuangan segala yang berkonotasi kotoran, kita malah hanya mampu memanfaatkannya sebagai jamban.Tidak lebih.

Investasi diPulau-pulau Kecil Terluar (PPKT)

Guna meningkatkan nilai ekonomi kawasan, pemerintah membuka peluang investasi di 12 pulau kecil dan terluar di Indonesia. Adapun kriteria pulau yang potensial untuk investasi antara lain aksesibilitas dan nilai eksotis pulau tersebut. Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad di Jakarta, Kompas, Rabu (24/3), seusai penandatanganan piagam kesepakatan bersama dengan TNI AL. Lebih lanjut menteri menjelaskan, Pulau Nipah, misalnya, akan dijadikan proyek percontohan investasi di pulau-pulau kecil dan terluar. Investasi di pulau-pulau itu, kata Fadel, tetap memerhatikan aspek kedaulatan negara.

Pelaksana Teknis (Plt) Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Sudirman Saad menjelaskan, sejumlah investor asing telah menyatakan minatnya. Investor dari Australia, misalnya, berminat investasi di Pulau Banda Naira, Singapura di Pulau Nipah dan Kepulauan Anambas, serta Maladewa di Banyuwangi. Kepulauan Anambas sedang dikaji untuk tahun ini dimasukkan menjadi kawasan konservasi taman nasional. Namun, menurut Fadel, wisata bahari cocok dikelola bersamaan dengan kawasan konservasi. ”Tanpa konservasi, lingkungan perairan bisa rusak,” ujar dia. (Kompas,25/3/LKT).

Selama ini yang jadi ganjalan bagi pengembangan kesejahteraan di PPKT adalah minimnya perhatian yang diberikan kepada wilayah tersebut dan kalaupun ada sangat sektoral dan belum terintegrasi. Karena itu kita sangat senang, dengan kedatangan menteri baru seorang Fadel Muhammad, untuk bisa membawa kesejahteraan di wilayah tersebut,diappresiasi; tentu saja tanpa melupakan peran strategis PPKT, bila dilihat dari sisi pertahanan dan kedaulatan. Salah satu sisinya adalah karena wilayah PPKT sebagai suatu kawasan starategis, yang perlu dikembangkan secara terintegrasi. Percontohan itu perlu, dan itu dapat dilakukan secara terintegrasi. Kalau contohnya berhasil, maka dipercaya yang lainnya tinggal memperbanyaknya saja.

Tetapi yang membuat wilayah di PPKT kian terpuruk, juga disebabkan kita tidak bisa meningkatkan kualitas sdm kita disana. Kondisi mereka sama dengan saudara kita yang ada di wilayah perbatasan darat baik di batas antara RI-Mal di Kalimanta, antara RI-PNG di Papua atau RI-RDTL di Timor. Boro-boro memikirkan pendidikan mereka, untuk sekedar bisa bertahan hidup saja sudah sangat untung. Sayangnya system pembinaan sdm kita tidak bisa menyentuh mereka, padahal untuk bisa meningkatkan kualitasnya, tidak ada pilihan lain kecuali sekolah.

Mereka butuh sekolah, sehingga perlu program yang bisa memberikan kesempatan pada mereka hidup, dan bersekolah, caranya dengan membiayai mereka bisa bersekolah tanpa harus membayar, kalau perlu malah semua keperluan mereka selama sekolah di biayai Negara, dan itu ada di ibu kota kecamatan, kabupaten atau kota. Kemudian diberi ketrampilan, sesuai lingkungannya, sebagai nelayan. Sebagai petugas perbatasan, baik di bidang kepolisian, militer, guru dll. Tidak seperti yang kita miliki sekarang, sama sekali tidak ada upaya mengangkat mereka. Yang kita harapkan, sentuhan pembangunan itu jangan hanya pada fisiknya saja, tetapi lupa pada kualitas sdmnya.

Yang juga ingin kita sampaikan adalah, pengelolaan negeri kita yang tidak punya model, yang ada semua sisi ingin jadi yang utama. Kalau di pertahanan kita MEF ( minimum essensial force), intinya suatu strategi dan perangkat pertahanan yang paling mendasar, yang minimal yang harus kita miliki. Maka seyogyanya, dalam pengembangan PPKT juga perlu diperhatikan adanya infrastruktur, sarana dan prasarana yang mesti harus di dukung, agar pola perekonomian yang kita kembangkan dan bisa tumbuh. Kerangka yang seperti itu yang kita tidak punya.

Sebagai Negara kepulauan, tetapi sarana pelabuhan kita tidak memadai. Adanya baru sekelas Tanjung Periok dan Surabaya. Padahal kualitasnya juga, ya setaralah dengan bandara sukarno hatta untuk di lapangan udara, atau terminal Pulogadung utk terminal dan stasiun gambir untuk KA., dan trans Jakarta untuk jaringan metronya. Kalau anda sudah pernah ke Negara tetangga, maka infrastruktur yang kita punya itu, sungguh memperihatinkan, kita ketinggalan 20 tahun di belakang; tidak sepantasnya kita, hanya bisa berkarya dengan sekelas itu. Memang sangat aneh, setelah kita berjuang 60 tahun lebih setelah merdeka, ternyata kita belum bisa membuat masarakat kita melek”jamban”, di kampung atau perkampungan kita, buang hajat ya baru sekedar di tanam saja, kalau tidak ya, bisa di parit, di sungai atau di pantai. Rumah-rumah warga kita itu, ternyata belum mengenal “jamban”. Apa yang bisa kita lakukan dengan bangsa yang budaya masyarakatnya, baru sekelas masyarakat yang belum mengenal jamban. Sebagai bangsa, kita memang benar-benar keterlaluan. Ya semoga pak Fadel bisa membawa PPKT kita menjadi lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline