Lihat ke Halaman Asli

Harmen Batubara

Penulis Buku

Konflik Laut China Selatan dan Upaya Mencegah Dominasi Tertentu di Kawasan

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Oleh harmen batubara

Konflik laut china selatan, sekilas adalah benturan kepentingan nasional para pihak di kawasan. Hal ini sungguh menarik untuk dilihat dari berbagai sisi. Kalau kita lihat pada awal perang Asia Pasifik, penggerak utamanya adalah memperjuangkan kepentingan nasional para pihak dengan pola pemikiran Hobbesian-Machiavellian yangmengedepankan dominasi, supremasi, dan power untuk mencapai tujuannya.

Sebutlah misalnya Jepang pada tahun 1931 menginvasi seluruh bagian Manchuria yang masih dikuasai Cina. Jepang kemudian mendeklarasikan negara boneka Manchukuo, dan mendudukkan Pu Yi, turunan kaisar terakhir China yang tidak disukai Tiongkok. Seluruh bangsa besar mengecam kelakuan Jepang tersebut, tapi jepang tidak peduli dan bahkan negara itu keluar dari Liga Bangsa-bangsa pada tahun 1933.

Pada abad ke 19, awal kehancuran Dinasti Qing, yang ditandai dengan protocol Boxer. Tiongkok, merasakan benar betapa sakit dan tidak bermartabatnya suatu bangsa yang tertindas dan jadi bancaan bangsa-bangsa lain dari Eropa dan bahkan tetangganya sendiri Jepang. Sebutlah protocol Boxer, protokol yang ditetapkan selepas perang Boxer, Tiongkok terpaksa memberikan hak kepada delapan negara-negara eropa dan Jepanguntuk bebas menempatkan militernya di negeri itu. Jepang, yang sebenarnya tergolong tetangga, ternyata punya niat lain dan menempatkan hingga 15 ribu tentaranya di sepanjang rel antara Tianjing-Beijing.

Pada zaman itu bangsa yang kuat (Eropa, Rusia dan Jepang) selalu mencari wilayah-wilayah konsesi baru untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya. Mereka bisa melakukan pengaturan diantara sesama mereka. Misalnya Jepang-Rusia tahun 1938 setelah Pertempuran Danau Khasan, dan di tahun 1939 Pertempuran Khalkhin Gol. Di saat itu Jepang dikalahkan tentara Sovyet. Jepang-Rusia menandatangani pakta netralitas. Yaitu, Jepang akan bersikap netral bila Rusia perang dengan siapapun, dan demikian pula sebaliknya. Kemudian pada tahun 1936, Jepang telah bergabung dengan pakta ANTI-COMINTERN, yang pada bulan September 1940 menjelma menjadi Axis Pact yang menyatukan Jepang, Jerman dan Itali.

Mengedepankan Dominasi, Supremasi, Dan Power

Perang antara Tiongkok-Jepang pecah setelah insiden Jembatan Marcopolo[1]. Perang itu sesungguhnya,tidak lebih dari perebutan wilayah dan penindasan atas hak rakyat Tiongkok. Pecahnya perang Jepang-Tiongkok telah membuat aliansi baru. Di satu sisi pihak Sekutu (Tiongkok, Amerika Serikat, Britania Raya, Filipina, Australia, Belanda dan Selandia Baru berhadapan dengan Jepang di pihak lain.

Perang Eropa kemudian pecah pada tahun 1939. Perancis jatuh ke tangan Jerman (1940), jajahannya di Asia, yaitu Indocina, diinvasi oleh Jepang. Amerika marah. Juli 1941, Amerika mengembargo Jepang. Seluruh aset Jepang di Amerika dibekukan. Jepang terjepit dan mulai melemah. Konsekwensinya bisa jadi semua konsesi yang dia punya di mancanegara bisa terlepas satu demi satu. Jepang jadi serba salah. Tuntutan Amerika terlalu berat. Di pihak lain, perang dengan Amerika juga konyol. Para pemimpin sipil sebenarnya menginginkan kompromi yang elegan, tapi usulan seperti itu ditolak Amerika. Maka muncullah militer Jepang dan mau nekat serta berjibaku, maka pecahlah perang dunia II, dimulai dengan serangan yang legendariske Pearl Harbour itu.

Membentuk Harmoni, Stabilitas Dan Kesejahteraan.

70 tahun kemudian, di area yang sama muncullah sengketa kepemilikan pulau-pulau antara Tiongkok dengan negara tetangganya, baik dengan Jepang maupun dengan Korea. Kalau perselisihan itu terjadi dengan Jepang, kita bisa memahami. Tetapi kemudian Tiongkok mengklaim pulau-pulau di kepulauan Spratly di Laut China Selatan sebagai wilayah kedaulatannya. Maka pertanyaan sederhana muncul? Apakah negara Tiongkok yang dahulu jadi bancaan negara-negara Kuat pada masa itu, mau menjadikan negara-negara di Asia Tenggara jadi wilayah bancaannya juga?

Bagi negara-negara kecil yang tergabung dalam Asean, tentu ini adalah bagian dari mimpi buruk. Dalam perspektif Hubungan Internasional, Arsitektur Regional Asia Pasifik setidaknya menjadi ujian bagi persinggungan teori realisme, konstruktivisme, dan interdependensi kompleks. Realisme mengacu pada realita bahwa konflik sebagai norma yang terjadi antara variasi kepentingan di kawasan, antara lain terkait dengan faktor kepentingan nasional Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Korea Utara, Jepang, Amerika, dan Asean.

Sementara, Interdependensi Kompleks terkait dengan ketergantungan terhadap kerjasama kawasan dalam bidang ekonomi dan perdagangan serta keamanan yang terlihat begitu nyata. Saat yang bersamaan, ASEAN, utamanya Indonesia menjadi konduktor pemikiran Konstruktivisme dalam rangka mencegah dominasi kekuatan tertentu di kawasan, sekaligus mengupayakan terciptanya keseimbangan kekuatan.

Apakah mungkin dalam perspektif politik internasional, terdapat pandangan bahwa Arsitektur Regional di kawasan Asia Pasifik merupakan transformasi sekaligus pergeseran dari pemikiran Hobbesian-Machiavellian yang lebih terfokus pada dominasi, supremasi, dan power menuju pada pemikiran Lockian dan Kantian yang lebih menekankan pada adanya kesadaran untuk membentuk harmoni dan perdamaian dalam rangka mengoptimalkan stabilitas keamanan dengan implikasi kemajuan ekonomi dan kesejahteraan.

Menurut SBY[2],  kehadiran kekuatan-kekuatan besar di kawasan Asia Tenggara,  seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, Jepang, India, Korea, Australia dan ASEAN tidak perlu harus menciptakan ketegangan yang baru, manakala yang terbentuk adalah “dynamic equilibrium“, dan kemudian mereka bergabung dalam arsitektur kerjasama yang inklusif,  yang disertai instrumen yang disepakati dan dipatuhi secara bersama di dalamnya. Sama persis dengan pemikiran Lockian dan Kantian yang lebih menekankan pada adanya kesadaran untuk membentuk harmoni dan perdamaian dalam rangka mengoptimalkan stabilitas keamanan dengan implikasi kemajuan ekonomi dan kesejahteraan.

Konflik Laut China Selatan

Klaim kepemilikan atas kawasan Laut Cina Selatan yang dilakukan oleh Tiongkok sejak dekade 1970-an didasarkan pada kepentingan nasionalnya yang dalam hal ini ada pada tiga hal pokok yakni kemajuan ekonomi, politik dan kebutuhan akan pertahanan dan keamanan. Dari keenam negara pantai yang memperebutkan kawasan tersebut, Tiongkok sebenarnya adalah sebagai negara yang pertama kali mengajukan klaimnya. Adapun dasar dari klaim China adalah faktor sejarah dan pemanfaatan laut oleh para nelayan sebagai tempat mencari ikan dan jalur perdagangan. Harap diingat bahwa sesuai normanya, sejak dahulu klaim tanah konsesi itu memang dilakukan seperti itu. Klaim dahulu, dan kalau ada yang keberatan ya mereka harus berunding (bisa pakai hardpower bisa dengan softpower).

Kalau di zaman pra perang Asia-Pasifik kawasan ini di warnai aliansi Tiongkok, Amerika Serikat, Britania Raya, Filipina, Australia, Belanda dan Selandia Baru di satu pihak berhadapan dengan Jepang di pihak lain, sementara Rusia netral. Kini aliansinya beda yakni Amerika, Jepang, Korea Selatan, Asean di satu sisi berhadapan dengan RR Tiongkok bersama sekutunya.

Secara teori apa yang dikemukakan SBY dengan konsep pendekatan ”dynamic equilibrium” nya tentu sangat diharapkan bisa diaplikasikan, apalagi dengan negara-negara Asean yang tergolong kecil dan sebetulnya juga tidak solid. Tetapi apakah pola itu bisa diterima Tiongkok yang pada dasarnya memang membangun power untuk memperlihatkan supremasinya. Apakah Tiongkok juga akan mengambil cara Jepang yang terpaksa menyerang Amerika, ketika suatu saat Amerika juga membekukan semua asset Tiongkok di negara adi daya itu?

Sikap agresi Tiongkok sudah jelas. Pada waktu yang hampir sama terjadi bentrokan kapal Tiongkok dan Filipina di Laut China Selatan, dan kejadian ini telah mendorong unjuk rasa anti-Tiongkok di Manila. Begitu juga dengan kerja sama yang sudah dijalin sangat panjang antara Korea Selatan dan Jepang hancur lebur berantakan oleh kunjungan Presiden Korsel Lee Myung-Bak ke Pulau Dokdo (Jepang menyebutnya Takeshima) yang disengketakan.

Patut dicatatbahwa Tiongkok pernah menggunakan kekuatan militernya untuk mengusir warga Vietnam dari Kepulauan Paracel pada 1974 dan 1988. Saat itu, dunia hanya sekedar mengawasi dan melihat. Kita juga melihat bagaimanaTiongkok dapat “memblok sebuah komunike akhir pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Kamboja bulan Juli 2012”.Sungguh pantastis, untuk pertama kalinya dalam 44 tahun sejarah ASEAN, pertemuan berakhir tanpa komunike sama sekali karena adanya perbedaan pendapat atas isu Laut China Selatan.

Sejumlah analis militer Amerika Serikat menilai strategi maritim Tiongkok makin agresif.  Mereka merujuk pada meningkatnya belanja pertahanan dan pengembangan teknologi kapal selam, kekuatan yang didesain untuk mengusai laut dan lautan. Begitu juga dengan keyakinan para pejabat dan media Tiongkokyang sering mempersamakan kepulauan di Laut China Selatan sebagai "kepentingan utama" Tiongkok yang sederajat dengan isu Taiwan dan Tibet. Apakah Tiongkok masih berpadangan seperti pemikiran Hobbesian-Machiavellian yang mengedepankan Power untuk menyelesaikan kepentingan nasionalnya?

[1] Insiden ini dipicu oleh sikap licik dan arogansi Jepang yang hendak menguasai seluruh wilayah Tiongkok. Keinginan Jepang untuk menguasai akses terkait Jembatan itu tidak pernah berhasil, bahkan ketika Jepang mau membeli tanah di sekitarnya juga tidak berhasil, maka ahirnya pecahlah perang Jepang-Tiongkok.

[2] SBY pidato penerimaan Doktor Honoris Causa dari Universitas Utara Malaysia di Kuala Lumpur, (19/12/2012).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline