Lihat ke Halaman Asli

Sengketa Hasil Pemilihan Presiden 2024 dan Dalil-dalil Etis Pemohon

Diperbarui: 8 April 2024   21:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Fokus hukum dan politik akhir-akhir ini terarah pada kasus sengketa hasil pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi. Hal ini terus menjadi trending di berbagai media arus utama dan media sosial di dunia maya.

Ada delapan poin penting permohonan gugatan yang dilayangkan oleh pasangan Anies Baswedan -- Muhaimin Iskandar (AMIN)[1] dan tiga poin penting dari pasangan Ganjar -- Mahfud.[2]  Berbagai saksi telah dan akan terus dihadirkan, baik saksi fakta maupun saksi ahli. 

Dalam salah satu agenda persidangan, pemohon pasangan Ganjar -- Mahfud menghadirkan saksi ahli bidang filsafat yaitu Franz Magnis Suseno, atau yang biasa dikenal dengan nama Romo Magnis. Romo berdarah Polandia itu mengatakan bahwa seorang presiden "harus menunjukkan kesadaran bahwa yang menjadi tanggung jawabnya adalah keselamatan seluruh bangsa ... begitu dia menjadi presiden, segenap tindakannya harus demi keselamatan semua". Secara khusus, terkait penggunaan kekuasaan, Romo Magnis memberi sebuah perumpamaan yang keras, "Memakai kekuasaan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu membuat presiden menjadi mirip dengan pimpinan organisasi mafia."[3]

Mengutip pandangan Immanuel Kant, sang romo memperingatkan bahwa jika pemerintah bertindak di luar hukum, masyarakat akan menjadi enggan untuk menaati hukum.[4] Selain itu, romo dari Serikat Yesuit itu menyoroti lima pelanggaran etika dalam pemilihan presiden tahun 2024, antara lain tentang pendaftaran Gibran menjadi calon wakil presiden dan keberpihakan Presiden Jokowi, pembagian bantuan sosial (bansos), dan berbagai kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu terakhir.[5]

Pandangan etis Romo Magnis secara tepat merupakan landasan kerangka berpikir demokratis. Memang sejatinya segala tindak-tanduk keputusan politik presiden harus didasarkan pada pemikiran etis. Jika tidak, secara otomatis, dia telah melakukan pelanggaran hukum sebab norma hukum berangkat dari pola pikir etis. Tidak ada norma hukum yang dibentuk tanpa adanya norma etis.

Bertolak belakang dengan pandangan tersebut, Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra, berpendapat bahwa etika lebih tinggi dari hukum. Menurutnya, etika filsafat yang disampaikan Immanuel Kant, tidaklah wajib. Ia khawatir Romo Magnis mencampuradukkan antara etika dalam filsafat dan etika dalam kode etik, yang merupakan kewenangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. 

Menurut Menteri Kehakiman dan HAM era Gus Dur itu, kode etik yang diputuskan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu merupakan kode etik yang diperintahkan oleh undang-undang. Dengan kata lain, ia menuduh Romo Magnis tidak bisa membedakan antara norma dalam filsafat dengan norma etik yang dibentuk atas suatu undang-undang, yang kedudukannya tidak lebih tinggi dari undang-undang itu sendiri.[6]

Pandangan Yusril ini cacat logika, ia gagal memahami bahwa norma hukum dibentuk dari prinsip-prinsip etis. Tidaklah mungkin terbentuk norma hukum jika tidak ada norma etis yang mendasarinya. Kode etik yang termaktub di dalam undang-undang tidak boleh dipandang kedudukannya berada dibawah undang-undang, karena kode etik dalam undang-undang merupakan petunjuk-petunjuk etis, tetapi nilai etisnya bukanlah sekedar kode etik, melainkan roh dari nilai etis itu sendiri.

Menanggapi pertanyaan Yusril, Romo Magnis menjawab bahwa etika dalam filsafat berkaitan dengan etika hukum. Dalam praktik hukum dan tata negara, tidak semua aturan itu tertulis, salah satunya etika, tetapi "tidak berarti ada susunan resmi tidak boleh dipakai."[7]

Saya yakin bahwa pandangan etis Romo Magnis dapat memengaruhi hakim yang memberikan kemenangan bagi salah satu permohonan gugatan para pemohon. Hakim Mahkamah Konstitusi dapat melihat bahwa kewenangannya dalam sengketa ini tidak boleh dipersempit hanya untuk memutus perkara dalam aspek teknis semata, tetapi harus melihat dalam aspek yang lebih luas. Pancasila adalah norma dasar kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pancasila adalah norma etis itu sendiri. Untuk itu, hakim konstitusi harus menjadikan kesaksian ahli Romo Magnis sebagai dasar pertimbangan hukum dalam memutus perkara tersebut.

Yudi Latif seorang cendekiawan dan negarawan[8] menyatakan bahwa Pancasila sebagai norma etis dalam aktualisasinya harus menjunjung kedaulatan rakyat dalam prinsip demokrasi. Demokrasi terbentuk melalui kedaulaan rakyat yaitu kebebasan politik yang menciptakan keputusan politk yang tidak didikte oleh golongan mayorokrasi (kekuatan golongan mayoritas) atau golongan minorokrasi (kekuatan golongan elit politik atau pengusaha) akan tetapi dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga tanpa pandang bulu.[9]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline