Hampir setiap bulan kita menyaksikan kerumunan para pewarta berita di gedung yang beralamat di Jalan Rasuna Said Jakarta. Mereka berasal dari media cetak, TV, Radio, Media Online mengabarkan bahwa telah terjadi tangkap tangan terhadap seseorang melakukan korupsi. Berkat kerja-kerja ini, berita mengenai korupsi menyebar bersambut saling sahut-sahutan di media sosial dan media gadget.
Beberapa hari lalu, di minggu ini (31/3/2016) KPK melakukan tangkap tangan terhadap anggota DPRD DKI Jakarta, M Sanusi di gedung DPRD DKI Jakarta karena di duga menerima suap dari proyek reklamasi Teluk Jakarta. Ia ditetapkan tersangka karena menerima suap sebesar 2 Milyar rupiah dalam 2 termin. Selain, M Sanusi, KPK juga menetapkan 2 orang tersangka Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (PT APL) Ariesman Widjaja serta Trinanda Prihantoro selaku Personal Assistant di PT APL. Selain itu, sudah ada 1 saksi yang dicekal terkait kasus ini yaitu Sugiyanto Kusuma alias Aguan. Bos Agung Sedayu Group itu diketahui
masih berada di Indonesia.
Pertanyaannya, kenapa korupsi masih terus terjadi meski kita sudah memiliki UU Anti Korupsi Nomor 31 tahun 1999 tentang korupsi
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tetang perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Korupsi dan beberapa pasal pidana di dalam KUHPidana Korupsi., Kemudian ditambah lagi dengan pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai konsekuensi UU anti korupsi.
Pertanyaan selanjutnya kenapa korupsi masih terjadi bahkan keberadaan hukum korupsi di atas bertujuan untuk memberantas korupsi, paling tidak mengurangi jumlah frekuensi korupsi? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita periksa beberapa hal berkaitan dengan penggunaan dan atau penyalahgunaan kekuasaan untuk korupsi.
###
Korupsi Dalam Padangan Para Ahli
Dalam theory sociology pada abad ke-19, pemikiran Karl Marx mengenai korupsi menganggap bahwa budaya masyarakat sangat penting bahwa kekuasan dan uang membentuk struktur sosial yang berkompetisi diantara klas sosial untuk mencari yang terbaik. Namun demikian, Marx percaya untuk memperoleh kekayaan dan kekuasaan tidak saja menghasilkan dampak negatif di dalam masyarakat, tetapi juga dampak positif jika hanya perbedaan klas bahwa atas pada satu tujuan dimana ada kesetaraan dan masyarakat inklusif, tanpa klas.
Dia mengatakan bahwa materialisme dan kekuasaan membuat orang menjadi berbeda didalam masyarakat, bentuk kebutuhan yang berbeda, memperlihatkan keunggulan dalam memperoleh kesempatan yang berbeda. Dalam pendekatan materlisme, Marx memperlihatkan bagaimana orang memperoleh makanan shelter, rumah dan pakaian.
Sedangkan perjuangan majikan dan buruh dibentuk oleh struktur sosial dengan membangun buruh dan kepemilikan. Kedua kutub dikotomi itu, menghasilkan perbedaan dalam memperoleh keuntungan, dimana pemilik memperoleh keuntungan lebih banyak dan membayar buruh kecil yang dinilai dalam jam kerja, yang menjadi penyebab exploitasi. Explotasi macam ini memberikan efek dominasi dan menciptakan kelas kekuasaan. Siapa yang memiliki ekonomi kuat, merekalah yang mengontrol kekuasaan. [1]
Menurut Marx, kekuasaan yang berkonsentrasi di sedikit orang, elite, ciri ini dapat mewarisi watak korupsi dan mengabaikan norma sosial dan hukum karena type kelompok orang macam ini dengan kekuasaan mereka secara normal tidak terhubung dengan publik secara luas dan organisasi
sosial. Dia dapat menggunakan kekuasaan berlebihan. Bahkan penyalahgunaan kekuasaan ini cenderung untuk di sengaja. [2]
Selain itu,kata Marx, Orang menyalahgunakan kekuasaan jika mereka mengabaikan dampak negatif dari keputusan mereka. Dengan kata lain, mereka tidak menganggap hukum negara dan sosial sebagai sesuatu yang berbahaya bagi mereka. [3] Korupsi macam ini sangat berbahaya, jika pemimpin dikelilingi orang-orang dekat kekuasaan dan organisasi hanya
tahunnya setuju segalanya.