Oleh: Harli Muin
Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan bahwa proses perhitungan suara Pemilihan Umum (Pemilu ) 2014 dinyatakan selesai sampai dengan 6 Mei 2014, Meskipun banyak orang ragu kemampuan KPU melakukan perhitungan hasil pemilu selesai tepat waktu,akhirnya, hasil pemilu diumumkan pada 9 Mei 2014. Namun persoalan yang muncul kemudian adalah banyaknya protes yang berhubungan dengan pelaksanaan Pemilu mulai dari tahap kampanye, hingga pada hari pelaksanaan Pemilu, dan perhitungan suara menunjukkan rendah kualitas Pemilu.
Rendahnya akuntabilitas Pemilu legislatif 2014 juga dapat dipahami ke dalam rendahnya cakupan hak dan tanggung jawab yang berlangsung antara masyarakat—yang memiliki hak memilih dan memiliki dampak terhadap kehidupan para pemilih lima tahun mendatang. Banyak indikator yang digunakan untuk mengukur akuntablitas pesta Pemilu ini, namun secara garis besar, dalam tulisan ini akan melihatPemilu 2014 dalam tiga aspek: tangggung jawab melaksanakan Pemilu yang berkualitas, kemampuan institusi KPU dan Bawaslu menyediakan jawaban terhadap tuntutan peserta pemilu terhadap pelanggaran pemilu pemilu, kemampuan lembaga yang diberi wewenang menjalankan hukum Pemilu secara independen.
Tanggung jawab
Kendati sebagian besar partai politik 2014 menganggap Pemilu 2014 adalah yang terbaik, namun fakta-fakta lapangan Pemilu 2014 masih jauh dari kesempurnaan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi kewenangan melaksanakan Pemilu, menuai banyak kritik. Banyaknya protes yang bersumber dari partai politik peserta Pemilu, Calon Legislatif dan Calon DPD diabaikan KPU dan beberapa protes tidak diselesaikan dengan tuntas di daerah. Akibatnya, muncul berbagai protes terhadap KPU dan Bawaslu di Jakarta.
Di dalam UUD 1945 perubahan keempat dalam pasal 22E disebutkan Negara menjamin proses dan mekanisme serta kualitas penyelenggaraan pemilu: langsung, umum, bebas, rahasi,jujur,dan adil merupakan fondasi dasar bagi praktek berdemokrasi di tanah air.Untuk itu,UU Nomor 8/2014 Pemilu menyediakan kerangka menuju pemilu sebagaimana yang disebutkan dalam konstitusi tersebut. Akan tetapi kualitas Pemilu 2014 kemudian menurundisebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari mekanisme syarat formil dan materiil penyelesaian sengketa pemilu hingga pada penafsiran sengketa Pemilu.
KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diberi kewenangan melaksanakan Pemilu tahun 2014 dan tugas-tugas mereka untuk melaksana pemilu dibuat dalam UU Tentang Pemilihan Umum Legislatif dan DPD (Pemilu) Nomor 8, 2012. Didalam UU Pemilu memang sudah diatur mengenai penyelenggaraan Pileg dan DPD, hanya saja dalam penyelenggaraan di lapangan memiliki bayak kelemahan.
Dalam berbagai laporan media, ditemukan beberapa kelemahan dari sadar syarat formil dan materiil dalam UU Pemilu dalam mekanisme penanganan dalam penyelesaian pelanggaran Pemilu. Formil, misalnya, batas waktu 7 hari penyelesaian sengketa sejak dilaporkan kepada Bawaslu menyebabkan penyelesaian sengketa tak bisa dikerjakan. Karena dengan waktu singkat ini, bawasir harus membuktikan unsur-unsur pelanggaran dan harus memenuhi syarat formil tujuh hari sejak dilaporkan oleh pengadu. Untuk Bawaslu sendiri, mereka diberi waktu tiga hari menangani pelanggaran Pemilu ditambah dua hari, jadi total hanya lima hari. Apa lagi dibebani oleh doktrin bahwa Bawaslu bersifat pasif, yakni menunggu adanya aduan. Padahal mereka harus dapat membuktikan unsur pelanggaran di lapangan dan juga harus memenuhi unsur formil.
Celakanya lagi, kemampuan sumber daya manusia Bawaslu tidak merata, ada yang kurang ada yang pas-asan. Di luar itu, organisasi pengawas Pemilu sendiri di kecamatan dan kabupaten hanya bersifat adhoch. Faktor buruknya mekanisme dan lembaga yang tersedia inilah menyebabkan kualitas Pemilu 2014 dinilai banyak orang rendah dan tidak berfungsinya lembaga pengawas Pemilu secara maksimal.
Kewenangan Bawaslu sendiri terbatas dalam menyelesaikan sengketa ini, mereka tidak memiliki kewenangan menghadirkan saksi, dan meminta keterangan dari pihak-pihak yang dianggap melanggar, melainkan mereka hanya dapat mengundang saksi. Banyak pengalaman, saksi yang diundang enggan datang. Sebagai tambahan, lembaga seperti Bawaslu, hanya boleh memberikan rekomendasi terhadap pelanggaran pemilu untuk diselesaikan. Bila pelanggaran Pidana makan dilaporkan ke Polisi, bila pelanggaran Administrasi diserahkan ke KPU. Bila demikian, makan Bawaslu tidak memiliki kewenangan menyelesaikan.
Dapat menjawab
Pemilihan umum merupakan salah kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan dari tanggung jawab Negara terhadap pemenuhan terhadap hak-hak sipil politik warga negara sebagai disebutkan dalam konstitusi UUD 1945 perubahan keempat, yang disebutkan penyelenggaraan pemilu yaitu langsung, umum, bebas, rahasia serta jujur dan adil.
Kemampuan menjawab ini erat kaitannya dengan kemampuan lembaga Negara yang diberi kewenangan oleh UU sebagai penyelenggara Pemilu. Pejabat publik menjamin bahwa jawaban yang mereka berikan akan berdampak terhadap hak warga Negara yang cedera. Dengan demikian, kemampuan KPU untuk memonitor, mengumpulkan dan melakukan verifikasi informasi dan memberikan informasi penting mengenai mekanisme pengaduan-yang benar.
Banyaknya jumlah protes di Komisi Pemilihan Umum Nasional, suara hilang, surat suara yang dimanipulasi, dan money Politik atau politik uang. Pleno ulang masih terjadi di sejumlah daerah yang disertai dengan protes memperlihatkan kemampuan KPU memberikan. Di, Bandar Lampung, misalnya, pleno ulang dipenuhi banyak protes dari saksi Partai Politik (Parpol) karena hasil suara dari kecamatan berbeda dengan rekapitulasi suara di provinsi. Anehnya, permintaan sebagian besar saksi politik untuk hitung ulang berdasarkan C1 Plano tidak dikabulkan Ketua KPU (Media Indonesia 5 Mei 2014). KPU di Manado, misalnya, melakukan validasi ulang jumlah pemilih padahal pemilu sudah selesai.
Kejadian semacam itu, hanya merupakan potret kecil dari sekian banyak kecurangan yang terjadi dalam Pemilu legislatif 2014 b di erbagai daerah—yang pada gilirannya mengurangi tingkat akuntabilitas Pemilu. Partai Peserta Pemilu seperti PDIPI, menyatakan bahwa Pemilu kali adalah terburuk, karena meski mereka adalah pemenang dalam pemilu 2014, mereka kehilangan 6 kursi di DPRRI.
Kemampuan Institusi Menjalankan Aturan.
Banyaknya pelanggaran di berbagai daerah yang dilakukan oleh KPU, menunjukkan penyelenggara Pemiliu tidak terlihat independen. Oleh karena itu, sebagai lembaga pelaksana Pemilu mestinya KPU memilih cara dependen sebagai penyelenggaraan persta demokrasi ini, sehingga penyelesaian masalah dan sengketa pemilu dapat diselesaikan secara efektif. Lembaga penyelenggara Pemilu dependen menjalankan aturan berdasarkan prinsip akuntabilitas memutuskan dan menyediakan berbagai bentuk cara dan alternatif penyelesaian masalah. Akan tetapi, apa yang terjadi dalam Pemilu 2014, masih terlihat bahwa lembaga penyelenggara pemilu belum sepenuhnya independen masih terlibat dalam pelanggaran dan kecurangan. Termasuk juga, ltiap lembaga penyelesaian sengketa pemilu memiliki tafsir yang berbeda mengenai pelanggaran.
Tentu bila KPU dan Bawaslu menyelenggarakan pemilu dengan baik, tentu kasus-kasus di atas terlalu banyak terjadi dan terlalu banyak di protes oleh peserta pemilu. Willy Aditya, Partai Nasional Demokrat, beberapa kali menyatakan dalam media nasional bahwa pelanggaran Pemilu tidak bisa lagi disebut pelanggaran melainkan kejahatan pemilu, karena dilakukan secara sistematis. Ia menyaksikan bagaimana aparat pelaksana Pemilu melakukan pelanggaran terhadap Pemilu mulai dari panitia pelaksana di tingkat TPS, Desa hingga panitia Pemilu di Kecamatan. Merkea melakukan manipulasi terhadap suara. Modus pelanggaran Pemilu adalah mereka sebagian tidak membagikan formulir C1 kepada saksi partai, mengisi sendiri formulir C1, membuka kotak suara sendiri tanpa memperlihatkan saksi partai, hingga surat suara yang yang sudah di coblos hilang.
Akhirnya, akuntabilitas Pemilu yang jujur, bebas dan rahasia dan berkualitas berkurang nilainya karena kemampuan tanggung jawab (responsibility), dapat menjawab (answerability) kemampuan menegakkan hukum (enforceability). Oleh karena itu, tiga aspek yang disebutkan itu perlu menjadi perhatian penting bagi para pengambil keputusan mengenai Pemilu dan penyelenggara Pemilu demi kualitas pemilu dan demokrasi di tanah air. Sudah seharusnya, KPU memilih orang-orang yang memiliki sebagai pelaksana Pemilu.