Gambar: Pikaia gracilens (Sumber: Wikipedia)
Perdebatan teori evolusi sampai saat ini masih menjadi topik yang menarik diperbincangkan. Media perdebatan pun semakin luas, paling tidak fakta itu yang saya amati di sebuah page jejaring sosial facebook, Biologipedia, yang saya ikuti, di mana anggotanya sebagian besar terdiri dari mahasiswa Biologi, lulusan Biologi dan orang-orang yang tertarik dengan Biologi.
Salah satu topik hangat, yang saat ini dibahas adalah sebuah pertanyaan, “apakah manusia keturunan kera?” Banyak yang menolak, dan tidak sedikit yang mendukung, bahkan diskusi pun meningkat menjadi perdebatan sengit. Pendukung evolusi ngotot, menurutnya bahwa, manusia bukan keturunan kera, Darwin tidak pernah mengatakan seperti itu. Padahal yang bukan penganut evolusi pun sama ngototnya, bahwa manusia memang bukan keturunan kera. Artinya, kedua kelompok tersebut sama-sama ngotot bahwa, manusia bukan keturunan kera. Bedanya, kelompok pertama percaya, bahwa evolusi itu terjadi tetapi bukan berarti kalau manusia adalah keturunan kera. Kelompok kedua sama sekali tidak menerima teori evolusi. Diskusi tersebut akhirnya hanya menjadi ajang debat kusir.
Kelompok pertama, tidak mengerti secara utuh mengenai konsep teori evolusi. Darwin memang tidak secara eksplisit mengatakan seperti itu, tetapi pendukung Darwin, seperti Ernest Haeckel melalui teori rekapitulasinya menyatakan ada tahapan di mana sejarah manusia pernah melalui bentuk-bentuk seperti kera tersebut.
Hal yang sering dilupakan oleh kelompok pertama adalah, kalau tidak mau disebut kera, lalu akan disebut apakah mahluk yang berjalan menjuntai dengan ukuran lengan lebih panjang dari pada kaki, dengan dagu agak menonjol yang biasanya menjadi ciri mahluk yang berdiri di urutan paling belakang. Berbaris berturut-turut dari kiri ke kanan hingga yang paling depan, yang mirip manusia? Sebuah ilustrasi yang sering digambarkan oleh para evolusionis untuk meyakinkan kebenaran teori evolusi, khususnya evolusi manusia.
Pengelabuan ini memang sengaja diciptakan agar tidak terjadi kegaduhan di dalam kelas biologi atau mata kuliah evolusi. Sehingga sang dosen pun bisa memulai pelajaran ini, mampu melewati resistensi dari mahasiswa yang biasanya terjadi diawal perkuliahan. Tulisan ini tidak bermaksud mendeskreditkan para dosen, karena manipulasi ini memang sudah didisain para petinggi evolusionis (para pakar yang kebanyakan bergelar profesor yang gigih memperjuangkan teori evolusi). Sehingga serangan yang dialamatkan kepada evolusionis pun menjadi terpecah. Yang penting, teori evolusi bisa diterima dulu, dengan mengatakan bahwa manusia bukan keturunan dari kera.
Padahal ketika didalami lebih lanjut dari teori tersebut, kera hanyalah separuh sejarah perjalanan panjang evolusi manusia. Jika baru sebatas kera saja sudah menimbulkan resistensi, perdebatan tak berkeputusan. Tentu akan menjadi lebih heboh lagi, karena sejarah evolusi manusia ternyata tidak dimulai dari sana. Baru-baru ini seorang ilmuwan dari Cambridge University, Inggris, Prof. Simon Conway Morris, berhasil menemukan jejak evolusi manusia yaitu pada mahluk bernama Pikaia gracilens. Penemuan yang dipublikasikan di Jurnal Biology Letters yang terbit pada Senin (5/3/2012).
Hewan ini memiliki tubuh dengan ukuran panjang 5 cm, bentuknya seperti belut tetapi pipih, hidup di sepanjang dasar laut dan bergerak dengan cara menggeliatkan tubuhnya. Fosil hewan ini ditemukan pertama kali sejak 100 tahun yang lalu oleh ahli Paleontologi Amerika Serikat, Charles Doolittle Walcott.
Dasar ilmuwan tersebut menempatkan Pikaia gracilens sebagai nenek moyang manusia adalah karena adanya jaringan saraf yang disebut myomere, notochord dan sistem sirkulasi yang merupakan ciri dari kelompok chordata meskipun masih primitif.
Jadi, hanya dengan keberhasilan mengidentifikasi jaringan saraf dan sistem sirkulasi ini mereka berani mengklaim bahwa Pikaia gracilens adalah nenek moyang manusia. Betapa luar biasa anehnya jalan pikiran tersebut.
Kekeliruan Klasifikasi dan Pohon Kehidupan
Mengapa para ilmuwan yang notabene punya reputasi ilmiah internasional berani mengambil kesimpulan bahwa mahluk-mahluk itu sebagai leluhur manusia?
Menurut saya ini adalah “kutukan” teori evolusi, sebuah kesalahan yang dimulai dari spekulasi tetapi dibiarkan terus menerus dari generasi ke generasi. Produk dari teori yang salah, tentu akan melahirkan karya ilmiah yang juga salah. Tentu kita masih ingat, dengan kasus fosil palsu manusia Piltdown? Berapa tesis yang dihasilkan dari fosil palsu tersebut? Lima ratusan! Hasil penelitian yang tidak punya kontribusi buat ilmu pengetahuan, selain warisan cara berpikir yang spekulatif.
Kekeliruan ini dimulai sejak awal munculnya klasifikasi yang mencoba dikaitkan dengan kekerabatan. Klasifikasi modern pertama kali dikembangkan oleh Carolus Linnaeus, seorang naturalis Swedia, ilmuwan yang tidak mempercayai evolusi. Pengklasifikasian ini didasarkan atas tingkat kemiripan yang ditemui di lapangan, antara hewan yang satu dengan hewan lainnya.
Linnaeus mengelompokan hewan yang memilki ciri kemiripan terbesar dikelompokan bersama yang dimulai dari satuan terkecil yang disebut species. Kumpulan dari species membentuk genus. Kumpulan dari genus membentuk famili. Kumpulan famili membentuk ordo, dan ordo di kelompokan dalam kelas. Dan kelas-kelas yang sama dikelompokan dalam filum, dan seterusnya. Susunan klasifikasi organisasi berdasarkan kemiripan inilah yang kemudian dikenal sebagai Hierarki Linnaean. Apa yang dilakukan Linnaeus ibaratnya seperti mengelompokan buku di lemari. Buku disusun dari urutan terkecil, sedang hingga ukuran paling besar. Tetapi pendukung teori evolusi menginterpretasikan bahwa buku besar berevolusi dari buku sedang, dan buku sedang berevolusi dari buku kecil.
Tentu saja pola pikir evolusi tersebut adalah pikiran yang tidak masuk akal. Dan orang yang tidak mempelajari evolusi tentu akan terperangah jika mengetahui hal ini. Tetapi faktanya dengan cara seperti itulah yang dilakukan para pendukung teori evolusi. Tidak percaya? Silahkan simak uraian berikut ini.
Awal Kesalahan
Menurut Mayr (2010) dalam bukunya Evolusi dari Teori ke Fakta bahwa, hakikat dan penyebab pengelompokan organisme yang dilakukan oleh Linnaeus dianggap tidak punya nilai apa-apa, selain menunjukkan adanya penciptaan. Sehingga lebih lanjut Mayr menyebutkan bahwa, Darwin mengaitkan pengelompokan tersebut dengan apa yang disebut sebagai leluhur bersama (Common descent by modification). Sehingga sejak tahun 1859 inilah, persoalan klasifikasi yang dilakukan Linnaeus menjadi pintu gerbang diterimanya teori evolusi secara luas.
Kisahnya mirip seperti Alfred Russel Wallace dengan Charles Darwin yang diistilahkan oleh seorang teman di Kompasiana, sebagai telur mata sapi. Ayam yang punya telur, tetapi sapi yang punya nama. Artinya Walace yang melakukan riset berdasarkan fakta-fakta ilmiah di lapangan, tetapi Darwin yang membuatkan versi fiksi ilmiahnya. Darwinlah yang akhirnya lebih dikenal ketimbang Wallace. Berbeda dengan Linnaeus, Linnaeus tetap masih punya nama karena sistem penamaan binomial yang dia ciptakan dan masih digunakan hingga sekarang, bahkan Linnaeus pun dikenal sebagai Bapak Taksonomi.
Jika Wallace dimanfaatkan oleh Darwin untuk buku yang akan diterbitkannya, sedangkan Linnaeus dimanfaatkan untuk meyakinkan para pendukukungnya terhadap apa yang dia tulis.
Di tangan para evolusionis, perkembangan klasifikasi tidak lagi mencerminkan kemiripan melainkan derajat kekerabatan (Kimball, Biologi, jilid 3, 1983, hlm 826). Klasifikasi adalah kerangka dasar para evolusionis dalam berimajinasi tentang evolusi dari berbagai kelompok mahluk hidup. Sebab dari tiang penyangga inilah para evolusionis melakukan penyusunan pohon silsilah untuk mempertahankan sejarah evolusi kelompok. Mulai dari organisasi tingkat protoplasma, Protozoa; tingkat selular, Porifiera; tingkat jaringan, Coelenterata; tingkat alat dan system alat dan seterusnya yang berujung pada manusia.
Hasil pengklasifikasian ini dijadikan sebagai bukti evolusi. Padahal dasar klasifikasi itu sendiri adalah evolusi, kekerabatan. Bukankah ini hal yang tidak masuk akal (lagi)? Dasar yang keliru, menghasilkan sesuatu yang keliru juga. Ini sama dengan pertanyaan, “mana yang lebih dulu, RNA atau DNA; atau mana yang lebih dulu ayam atau telur; atau mana yang lebih dulu, klasifikasi atau evolusi”.
Bagi orang awam, yang tidak pernah belajar tentang evolusi secara khusus, tentu akan terkejut jika saja mengetahui fakta ini. Anehnya, kekeliruan ini tetap dibiarkan dan tetap diajarkan dari generasi ke generasi. Topik ini masih tercantum di dalam buku-buku pelajaran Biologi di perguruan tinggi dan sekolah menengah atas.
Klasifikasi memang tidak pernah diajarkan sebagai bukti evolusi. Tetapi sudah diintegrasikan ke dalam ilustrasi pohon-pohon silsilah, seolah-olah evolusi itu benar terjadi, tanpa ada penjelasan dasar ilmiah dari penyusunan tersebut, selain penjelasan penyusunan mirip buku di atas.
Karena skema klasifikasi inilah sehingga penelitian terbarupun masuk dalam perangkap paradigma evolusi juga. Mereka beranggapan bahwa evolusi itu terjadi, mahluk yang kompleks berasal dari mahluk yang sederhana, sehingga mereka mengkhayal kalau Pikaia gracilens pun dianggap sebagai bagian sejarah nenek moyang manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H