Lihat ke Halaman Asli

Menyoal Jejak Evolusi Manusia pada "Pikaia gracilens"

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1340080245808220956

Gambar: Pikaia gracilens (Sumber: Wikipedia)

Perdebatan teori evolusi sampai saat ini masih menjadi topik  yang menarik  diperbincangkan. Media perdebatan pun semakin luas, paling tidak fakta itu yang saya amati di sebuah page jejaring sosial facebook, Biologipedia, yang saya ikuti, di mana anggotanya sebagian besar terdiri dari mahasiswa Biologi, lulusan Biologi dan orang-orang yang tertarik dengan Biologi.

Salah satu topik  hangat, yang saat ini dibahas adalah sebuah  pertanyaan, “apakah manusia keturunan kera?” Banyak yang menolak, dan  tidak sedikit yang mendukung,  bahkan diskusi pun meningkat menjadi perdebatan sengit. Pendukung evolusi ngotot, menurutnya bahwa,  manusia bukan keturunan kera, Darwin tidak pernah mengatakan seperti itu.  Padahal yang bukan penganut evolusi pun sama ngototnya, bahwa manusia memang bukan keturunan kera.  Artinya, kedua kelompok tersebut  sama-sama ngotot bahwa, manusia bukan keturunan kera. Bedanya, kelompok pertama percaya,  bahwa evolusi itu terjadi tetapi bukan berarti kalau manusia adalah keturunan kera. Kelompok kedua sama sekali tidak menerima teori evolusi.  Diskusi tersebut akhirnya hanya menjadi ajang debat kusir.

Kelompok pertama, tidak mengerti secara utuh mengenai konsep  teori evolusi.  Darwin memang tidak secara eksplisit mengatakan seperti itu, tetapi pendukung Darwin, seperti Ernest Haeckel melalui  teori rekapitulasinya menyatakan ada tahapan di mana sejarah manusia pernah melalui bentuk-bentuk seperti kera tersebut.

Hal yang sering dilupakan oleh kelompok pertama adalah, kalau tidak mau disebut kera, lalu akan disebut apakah mahluk yang berjalan menjuntai dengan ukuran lengan lebih panjang dari pada kaki, dengan dagu agak menonjol  yang  biasanya menjadi ciri mahluk yang  berdiri di urutan paling belakang.  Berbaris berturut-turut dari kiri ke kanan hingga yang paling depan, yang  mirip  manusia? Sebuah ilustrasi yang sering digambarkan oleh para evolusionis untuk meyakinkan kebenaran teori evolusi, khususnya evolusi manusia.

Pengelabuan  ini memang sengaja diciptakan agar tidak terjadi kegaduhan di dalam kelas biologi  atau mata kuliah evolusi. Sehingga sang dosen pun bisa memulai pelajaran ini, mampu melewati resistensi dari mahasiswa  yang biasanya terjadi diawal  perkuliahan. Tulisan ini tidak bermaksud mendeskreditkan para dosen, karena  manipulasi ini memang sudah didisain para petinggi evolusionis  (para pakar  yang kebanyakan bergelar profesor yang  gigih memperjuangkan teori evolusi). Sehingga serangan yang dialamatkan kepada evolusionis pun menjadi terpecah.  Yang penting, teori evolusi bisa diterima dulu, dengan mengatakan bahwa manusia bukan keturunan dari kera.

Padahal ketika didalami lebih lanjut dari teori tersebut, kera hanyalah separuh sejarah  perjalanan panjang evolusi manusia.  Jika baru sebatas kera saja sudah menimbulkan resistensi, perdebatan tak berkeputusan. Tentu akan menjadi lebih heboh lagi,  karena sejarah evolusi manusia ternyata  tidak dimulai dari sana.  Baru-baru ini seorang  ilmuwan  dari Cambridge University, Inggris, Prof. Simon Conway Morris, berhasil   menemukan jejak evolusi manusia  yaitu pada mahluk bernama  Pikaia gracilens. Penemuan yang dipublikasikan di Jurnal Biology Letters yang terbit pada Senin (5/3/2012).

Hewan ini memiliki tubuh  dengan ukuran panjang 5 cm, bentuknya seperti belut tetapi  pipih, hidup di sepanjang dasar laut  dan bergerak dengan cara menggeliatkan tubuhnya. Fosil hewan ini  ditemukan pertama kali  sejak 100 tahun yang lalu oleh ahli Paleontologi Amerika Serikat, Charles Doolittle Walcott.

Dasar ilmuwan tersebut menempatkan Pikaia  gracilens sebagai nenek moyang manusia adalah karena adanya jaringan saraf yang disebut myomere, notochord dan  sistem sirkulasi yang merupakan ciri dari kelompok chordata meskipun masih primitif.

Jadi, hanya dengan keberhasilan mengidentifikasi  jaringan saraf dan sistem sirkulasi ini  mereka berani mengklaim  bahwa Pikaia gracilens adalah nenek moyang manusia.  Betapa luar biasa anehnya jalan pikiran tersebut.

Kekeliruan Klasifikasi dan Pohon Kehidupan

Mengapa para ilmuwan  yang notabene punya reputasi ilmiah internasional  berani  mengambil kesimpulan bahwa mahluk-mahluk itu sebagai  leluhur manusia?

Menurut saya  ini  adalah  “kutukan” teori evolusi, sebuah kesalahan yang  dimulai dari spekulasi  tetapi  dibiarkan terus menerus dari generasi ke generasi.  Produk dari teori yang salah, tentu akan melahirkan  karya ilmiah yang juga salah. Tentu kita masih ingat, dengan kasus fosil palsu manusia Piltdown? Berapa  tesis yang dihasilkan dari fosil palsu tersebut? Lima ratusan! Hasil penelitian yang  tidak punya kontribusi  buat ilmu pengetahuan, selain warisan cara berpikir yang spekulatif.

Kekeliruan ini dimulai  sejak  awal munculnya klasifikasi yang mencoba dikaitkan dengan kekerabatan. Klasifikasi modern pertama kali dikembangkan oleh Carolus Linnaeus, seorang naturalis Swedia, ilmuwan yang tidak mempercayai evolusi. Pengklasifikasian ini didasarkan atas tingkat kemiripan yang ditemui di lapangan, antara hewan yang satu dengan hewan lainnya.

Linnaeus mengelompokan  hewan yang memilki ciri kemiripan terbesar dikelompokan bersama yang dimulai dari satuan terkecil yang disebut species.  Kumpulan dari species membentuk  genus. Kumpulan dari genus  membentuk famili. Kumpulan famili  membentuk ordo, dan ordo di kelompokan dalam kelas. Dan kelas-kelas yang sama dikelompokan dalam filum, dan seterusnya. Susunan klasifikasi organisasi berdasarkan kemiripan inilah  yang kemudian dikenal sebagai Hierarki Linnaean.  Apa yang dilakukan Linnaeus  ibaratnya seperti mengelompokan buku di lemari. Buku disusun dari urutan terkecil, sedang hingga ukuran paling besar.  Tetapi pendukung teori evolusi menginterpretasikan bahwa buku besar berevolusi dari buku sedang, dan buku sedang berevolusi dari buku kecil.

Tentu saja pola pikir  evolusi tersebut adalah pikiran yang tidak masuk akal. Dan orang yang tidak mempelajari evolusi tentu akan terperangah jika mengetahui hal ini. Tetapi faktanya dengan cara seperti itulah yang dilakukan para pendukung teori evolusi. Tidak percaya? Silahkan simak uraian berikut ini.

Awal  Kesalahan

Menurut Mayr (2010) dalam bukunya Evolusi dari Teori ke Fakta bahwa, hakikat dan penyebab pengelompokan organisme  yang dilakukan oleh Linnaeus dianggap tidak punya nilai apa-apa, selain menunjukkan adanya penciptaan.  Sehingga lebih lanjut Mayr menyebutkan bahwa, Darwin mengaitkan pengelompokan tersebut dengan apa yang disebut sebagai leluhur bersama (Common descent by modification). Sehingga sejak tahun 1859 inilah, persoalan klasifikasi yang dilakukan Linnaeus menjadi pintu gerbang diterimanya teori evolusi secara luas.

Kisahnya mirip  seperti  Alfred Russel Wallace dengan Charles Darwin yang diistilahkan oleh seorang teman di Kompasiana, sebagai telur mata sapi. Ayam yang punya telur, tetapi sapi yang punya nama. Artinya Walace yang melakukan riset berdasarkan fakta-fakta ilmiah di lapangan, tetapi Darwin yang membuatkan versi  fiksi ilmiahnya. Darwinlah   yang  akhirnya lebih dikenal ketimbang Wallace.  Berbeda dengan  Linnaeus, Linnaeus tetap masih punya nama karena sistem penamaan binomial yang dia ciptakan  dan masih digunakan hingga sekarang, bahkan Linnaeus pun  dikenal sebagai Bapak Taksonomi.

Jika Wallace dimanfaatkan oleh Darwin untuk buku yang akan diterbitkannya, sedangkan Linnaeus dimanfaatkan untuk meyakinkan para pendukukungnya terhadap apa yang dia tulis.

Di tangan para evolusionis, perkembangan klasifikasi tidak lagi mencerminkan kemiripan melainkan derajat kekerabatan (Kimball, Biologi, jilid 3, 1983, hlm 826).  Klasifikasi adalah kerangka dasar  para  evolusionis dalam berimajinasi tentang evolusi dari berbagai kelompok mahluk hidup. Sebab dari tiang penyangga inilah para evolusionis  melakukan penyusunan pohon silsilah  untuk mempertahankan sejarah evolusi kelompok.  Mulai dari organisasi tingkat protoplasma, Protozoa; tingkat selular, Porifiera; tingkat jaringan, Coelenterata; tingkat alat dan system alat dan seterusnya yang berujung pada manusia.

Hasil pengklasifikasian  ini  dijadikan sebagai bukti evolusi. Padahal dasar klasifikasi itu sendiri adalah evolusi, kekerabatan. Bukankah ini hal yang tidak masuk akal (lagi)? Dasar yang keliru, menghasilkan sesuatu yang keliru juga. Ini sama dengan pertanyaan, “mana yang lebih dulu, RNA atau DNA; atau mana yang lebih dulu ayam atau telur; atau mana yang lebih dulu, klasifikasi atau evolusi”.

Bagi orang awam, yang  tidak pernah belajar tentang evolusi secara khusus, tentu akan terkejut jika saja mengetahui  fakta ini. Anehnya, kekeliruan ini tetap dibiarkan dan tetap diajarkan dari generasi ke generasi. Topik ini masih tercantum di dalam buku-buku pelajaran Biologi di perguruan tinggi dan sekolah menengah atas.

Klasifikasi memang tidak pernah diajarkan sebagai bukti evolusi. Tetapi sudah diintegrasikan ke dalam  ilustrasi pohon-pohon silsilah, seolah-olah evolusi itu benar terjadi,  tanpa ada penjelasan dasar ilmiah dari penyusunan tersebut, selain penjelasan penyusunan mirip buku di atas.

Karena skema klasifikasi inilah sehingga  penelitian terbarupun masuk dalam perangkap paradigma evolusi juga. Mereka beranggapan bahwa evolusi itu terjadi, mahluk yang kompleks berasal dari mahluk yang sederhana, sehingga mereka mengkhayal kalau   Pikaia gracilens pun dianggap sebagai bagian sejarah nenek moyang manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline