"Bapak mungkin berpikir dunia tuna netra itu adem-ayem aja ya? Nggak pak, kami juga manusia, matanya saja yang tidak normal, hati dan hasratnya sama dengan yang lain. Ada lho tuna netra yang ingin punya mobil dan ingin menyetir sendiri. Ada juga yang berhasrat punya istri lebih dari satu. Termasuk dalam persaingan usaha: lumayan keras."
Itu sebagian isi obrolan saya kemarin dengan salah seorang terapis (pemijat) tuna netra sambil merasakan usapan jari-jarinya ke seluruh tubuh saya. Maklum habis empat bulan di NTB perlu relaksasi dan memilih untuk dipijat oleh Pak Muri, pemijat tuna netra yang membuka usaha pijat tradisional di dekat komplek saya.
Biasanya kalau dipijat saya tidak pernah banyak mengobrol karena fokus ingin merasakan relaksasi otot-otot, seringkali malah sampai tertidur. Tetapi kemarin, karena diawali dengan perkenalan dari Pak Muri yang sama-sama berasal dari Sunda (asal Tasik), obrolan mengalir ringan. Selama dua jam saya mendapat gambaran bagaimana sisi kehidupan para tuna netra yang mungkin jarang kita pikirkan.
Awalnya Pak Muri bertanya masalah pekerjaan saya. Setelah dijawab, entah bagaimana dia bertanya, "Pak, kalau LBH yang bagus di mana ya?"
"LBH, Lembaga Bantuan Hukum? Kenapa memang", jawab saya.
"Begini pak. Dulu saya punya karyawan perempuan, tuna netra juga, awalnya pamit karena mau pindah ke tempat lain. Awalnya saya larang. Ditanya apakah ada hal-hal yang kurang dari panti pijat yang saya kelola ataukah kenapa. Dia bilang tidak ada apa-apa. Ingin mencari pengalaman kerja di tempat lain saja. Saya jawab, kita sudah tua, lebih baik utamakan mencari uang daripada mencari pengalaman di tempat lain yang belum tentu lebih baik. Tapi, ia bersikeras. Akhirnya saya ijinkan."
"Terus pak?"
"Terus kira-kira dua minggu lalu ada orang yang telpon saya. Bertanya apakah benar ini pak Muri. Saya jawab betul. Tiba-tiba orang itu bilang, katanya tidak menyangka sama sekali Pak Muri kok tega meniduri anaknya sendiri. Saya langsung sesak dada. Ditanya dari mana info itu? Tidak mau jawab. Tapi setelah lama-lama ia menjawab dari si A, si perempuan tuna netra yang keluar tadi itu".
"Terus dia mengancam bapak?", saya balik bertanya karena penasaran.
"Mengancam sih tidak. Hampir tiap hari orang itu menelpon. Pusing juga. Ternyata dia itu selingkuhan dari mantan karyawati saya. Entah tujuannya apa, saya juga bingung, kenapa memfitnah seperti itu".
"Tapi bapak sendiri yakin tidak pernah melakukan itu?"