MENJELANG Pemilu 2009, keluarlah fatwa haram golput. Padahal, negara-negara lainnya, terutama negara-negara Islam tidak ada yang mengeluarkan fatwa haram golput. Artinya, fatwanya hanya tidak bersifat universal-internasional. Hanya untuk Indonesia saja. Fatwa yang meragukan, apalagi dikeluarkan menjelang pemilu. Masyarakat pantas curiga di balik fatwa tersebut pastilah ada nuansa politiknya. Fatwa tersebut kelihatannya baik tetapi tidak mendidik dan tidak mencerdaskan. Memilih adalah hak dan bukan kewajiban Banyak politisi atau pihak-pihak nonpolitik yang cara bicaranya membodoh-bodohkan rakyat, seolah-olah memilih itu wajib. Seolah-olah pertisipasi itu wajib. Seolah-olah golput itu tidak baik. Seolah-olah golput itu dosa besar dan layak masuk neraka. Fatwa yang tidak cerdas Kalau tujuannya untuk mengurangi angka golput, tidaklah dengan cara mengeluarkan fatwa golput. Melainkan mendesak DPR agar merevisi UU Pemilu yang antara lain memuat pasal bahwa memilih bukan lagi hak, melainkan kewajiban. Sanksinya, yang tidak datang ke TPS akan dikenakan denda (seperti yang berlaku di Australia). Golput tidak sama dengan daging babi Daging babi pastilah haram dan dosa bagi umat Islam. Sedangkan golput penyebabnya sangat banyak. Ada puluhan penyebab golput dan tidak bisa disamaratakan. Tidak bisa menggunakan Logika Hantam Kromo bahwa golput itu buruk. Banyak rakyat yang golput justru sengaja digolputkan atau karena manajemen pemilu yang amburadul sehingga ada jutaan bahkan puluhan juta rakyat yang tidak terdaftar di DPT dan sebab-sebab lainnya. Golput mana yang termasuk dosa dan masuk neraka? Enggaklah, golput itu pilihan dan karena keadaan. Cara memilih yang benar Memilih yang benar haruslah berdasarkan kecerdasan dan pemahaman politik yang benar. Memilih harus tahu kriteria dan ciri-ciri dari calon pemimpin dan calon wakil rakyat yang berkualitas. Harus tahu mana yang benar-benar yang berkualitas dan mana yang benar-benar tidak berkualitas. Tidak faham politik Sayang, sekitar 70% yang datang ke TPS adalah para pemilih yang awam politik. Apalagi, 50% dari mereka hanya berpendidikan/ lulusan SD atau tidak tamat SD. Lebih parah lagi, selama ini rakyat tidak pernah mendapatkan pendidikan dan pencerahan politik. Mereka memilih hanya berdasarkan hal-hal yang tidak rasional. Yang karena money politic-lah, tergiring hasil survei politiklah, termakan iklan-iklan di TV-lah, dan pengaruh-pengaruh lain yang tidak mencerdaskan. Kalau golput 100% Indonesia tidak punya pemimpin? Ada cara berlogika yang keliru, seolah-olah kalau angka golputnya 100%, maka Indonesia tidak punya pemimpin dan wakil rakyat. Tidak realistis. Di dunia ini tidak ada negara yang angka golputnya 100%. Hanya berandai-andai saja. Tidak cerdas. Banyak rakyat golput antara lain karena tidak ada capres atau calon wakil rakyat yang benar-benar berkualitas dan benar-benar bisa dipercaya. Korupsi dan kemaksiatan salah mereka yang tidak golput Dengan demikian, terjadinya banyak korupsi dan kemaksiatan adalah salahnya yang tidak golput. Kalau kekayaan alam Indonesia dijual murah ke kapitalis asing, itu juga tanggung jawab mereka yang salah pilih. Demikian juga karut marut penegakan hukum juga akibat dan hasil pilihan dari mereka yang salah pilih. Dengan demikian, salah pilih bisa mengakibatkan berbagai bencana. Antara lain bencana korupsi, bencana kemaksiatan, bencana hukum, bencana APBN, bencana kekayaan alam, bencana energi, bencana sosial, nemcana perbankan dan berbagai bencana lainnya di berbagai sektor. Salah pilih , haram hukumnya Justru, mereka yang salah pilihlah yang layak difatwakan haram hukumnya. Nasehat yang mengatakan “Pilihlah yang terbaik dari semua yang tidak baik” merupakan nasehat yang menyesatkan, sebab bisa jadi semua yang tidak baik itu calon koruptor semua. Alasan bahwa yang penting memilih sesuati hati nurani juga cara yang salah, sebab hati nurani juga bisa keliru. Begitu juga ada nasehat yang tidak benar yang mengatakan, pilih yang kira-kira tidak baik. Kalau ternyata tidak baik, itu bukan salah pemilih. Ini merupakan logika yang keliru karena memilih hanya berdasarkan Ilmu Kira-Kira. Salah pilih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Memilih berdasarkan Ilmu Kira-Kira adalah salah besar dan tidak cerdas serta berdosa. Catatan: Maaf, saya jarang sekali membaca komen-komen. Hariyanto Imadha Pengamat perilaku Sejak 1973
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H