Ada fenomena menarik sekaligus menggelitik pada kontestasi politik pemilu kali ini.
Seorang Aldi Taher, yang bagaimanapun layak disebut figur, dianggap "mengkelabui" dua partai dengan mencalonkan diri sebagai caleg dari keduanya.
Bedanya, kepada PBB "beliau" ini menyatakan sikap akan menjadi calon DPRD DKI yang pada akhirnya kita semua tahu, jadi dicalonkan sebagai caleg DPRD DKI lewat PBB. Lalu tidak berselang lama, Aldi Taher, The Son of Chaos, lewat PERINDO maju sebagai calon DPR RI.
Menariknya, pihak KPU kesulitan untuk menginventaris berkas persyaratan Aldi Taher karena katanya ini baru pernah terjadi seseorang mencalonkan diri pada dua embaga berbeda sekaligus, lewat partai berbeda.
Pada dasarnya setiap bakal calon punya kesadaran hukum yang cukup tinggi, misalnya ketentuan tentang syarat pencalonan sudah barang tentu melekat diluar kepala semua bakal calon.
Pasal 240 ayat (1) hurus o dan p UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu secara gramatikal tegas mensyaratkan seorang bakal calon "hanya" dicalonkan di 1 lembaga perwakilan dan di 1 daerah pemilihan.
Frasa "hanya" dalam ilmu perundang-undangan sebagai sebuah bahasa hukum memberikan pengerian jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut.
Angka 269 BAB I Kerangka Peraturan Perundang-undangan Lampiran UU Pembentuka Peraturan Perundang-undangan jelas tentang itu.
Meskipun demikian legalitasnya, berbeda dengan sudut pandang politik, hal ini tetap dapat diperdebatkan.
DPR RI dan DPRD secara terminologi mungkin memiliki presentese tinggi dalam kesamaan nama, tapi secara ketatanegaraan keduanya tentu merupakan lembaga yang benar-benar berbeda.