Lihat ke Halaman Asli

Terjerembab di Depan Gerbang Kuburan

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Hariyanto

Jalan sepanjang ± tiga kilometer yang menghubungkan tiga dusun di desa saya itu kondisinya masih relatif sama, seperti sekitar dua puluh lima tahun silam. Di satu kilometer pertama, kanan-kiri jalan berupa hamparan air waduk dan rawa-rawa desa. Dua kilometer berikutnya adalah area persawahan. Bedanya, saat ini sudah ada satu dua rumah yang dibangun di pinggir jalan sekitar wilayah tiap dusun. Namun, sebagian besar masih sama, berupa sawah.

Di kilometer 2,5 jalan  itu teridpaat kuburan dusun. Dari jalan berjarak sekitar 50 meter. Ada sebuah pintu masuk atau gerbang kecil menuju kuburan itu di pinggir jalan. Pengalaman sekitar 23 tahun yang lalu di depan kuburan itu memberi pengalaman berharga tentang akibat dari "kepanikan dan ketakutan semu".

Di malam sepi disertai gerimis itu, seseorang mengetuk pintu rumah saya. Waktu menunjukkan pukul 21.00 WIB. Bapak, ibu dan adik saya sudah beranjak ke tempat tidur. Saya baru saja selesai membaca-baca buku pelajaran. Saya masih duduk di bangku kelas dua SMA kala itu. Ketika saya membukakan pintu seseorang yang saya kenal muncul. Dia adalah Yak Kacung, atau Yak Cung, begitu saya biasa memanggilnya, kerabat yang tinggal di dusun paling ujung di desa saya.Dia baru datang dari luar kota. Dia bekerja sebagai sopir antar truck yang mengantar barang lintas kota.

Setelah saya persilahkan masuk dan ngobrol sebentar, Yak Kacung mengutarakan maksudnya, minta tolong diantar pulang ke rumahnya. Yak Cuk memang tahu kalau Bapak saya punya sepeda motor. Maklum, selain bertani, Bapak saya juga menjadi tukang ojek di sekitar terminal kala itu. Ketika saya beritahu kalau Bapak sudah tidur, Yak Cung meminta agar saya saja yang mengantar. Tidak usah membangunkan Bapak.

Saya memang sudah bisa mengendarai sepeda motor waktu itu meski belum lihai. Bersepeda motor  di sekitar desa saja, belum berani ke kota atau ke sekolah karena belum punya SIM. Saya awalnya menolak dengan halus permintaan tersebut, karena sudah malam dan saya takut. Tapi, karena Yak Cung bersikeras meminta tolong, akhirnya sterpaksa aya iyakan permintaan tersebut.

Saya ambil kunci dan mengeluarkan motor butut yang biasa dipakai ayah ngojek. Ketika berangkat, Yak Cung yang membonceng saya. Suasana gelap dan gerimis tipis masih menghiasi malam itu. Motor mulai melaju dan pikiran saya pun mulai berkecamuk. Dipenuhi rasa takut. Bagaimana pulangnya nanti, ketika harus kembali sendiri.

Cukup beralasan sebenarnya rasa takut saya. Kala itu, jalan penghubung antar dusun tersebut memang sepi dan menakutkan kalau malam hari. Angker begitu kata orang. Ada tiga titik tempat yang konon menurut cerita para tetangga dikatakan berhantu. Pertama, di hamparan air kanan kiri jalan pada kilometer pertama. Di jalan ini saya pernah sempat "sawanen" ketika "berjumpa kalab". Kedua, di pertigaan menuju dusun kedua yang sepi dan terdapat pohon Randu besar. Pertigaan ini terletak di tengah-tengah berjarak relatif sama ke tiga dusun yang ada. Lebih dari setengah kilometer.

Tempat ketiga adalah sekitar makam dusun. Banyak cerita yang saya dengar tentang kejadian-kejadian menyeramkan yang terjadi di seputaran kuburan itu.  Katanya, ada yang pernah bertemu“kemamang” atau hantu api, “gendruwo”, dan juga “ndas glundung” atau hantu kepala (tanpa badan). Itu sebabnya jarang yang lewat jalan itu kalau malam hari, apalagi sendirian.

-------

Semakin jauh kendaraan motor melaju, perasaan saya semakin penuh dengan rasa takut. Motor tidak bisa melaju dengan cepat. Disamping karena memang motor butut, kondisi jalan juga becek dan licin setelah hujan. Jalan desa tersebut belum beraspal, masih jalan tanah sedikit berbatu kala itu. Untungnya, Yak Cung sesekali mengajak ngobrol sehingga agak berkurang rasa takut saya.

Sesampai di tujuan, YaK Cung menawari saya mampir dulu ke rumahnya. Tapi karena sudah malam, saya langsung pamit pulang saja. Dalam perjalanan kembali sendiri inilah rasa takut mulai berkecamuk lagi, bahkan tambah menjadi-jadi. Saya mulai berkendara dengan tegang. Sekitar dua ratus meter keluar dari dusun Yak Cung, saya semakin kalut. Cerita-cerita dari tetangga yang pernah saya dengar semakin membayangi dan memenuhi ingatan saya.

Rasa takut itu membuat saya ingin mempercepat motor saya. Tapi jalan tanah yang licin dan cuaca gerimis tipis tidak memungkinkan saya melakukannya. Lampu depan motor yang tidak cukup terang juga menyulitkan saya memilih bagian jalan yang paling tidak licin.

Takut!. Panik! Itu dua kata yang menggambarkan perasaan saya kala itu. Gerimis, jalan gelap, sepi, dan licin, ditambah dengan cerita-cerita tentang hantu di sekitar jalan itu. Lengkap sudah ketakutan saya.

Sekitar dua puluh lima meter menjelang pintu kuburan dusun, jalan semakin terasa licin. Entah itu karena perasaan saya saja atau tidak. Saya harus semakin berhati-hati. Di sisi lain, saya semakin takut dan ingin mempercepat laju motor butut itu. Semakin panik dan takut. Merinding. Bulu kuduk berdiri. Seolah-olah ada yang memegangi saya dari belakang. Saya tak berani menoleh kanan kiri. Panik dan Takuuuuut.

Sekian detik kemudian, “Greeeeng greeeeeeng hwreeeng hwreeng hweeeeeeeeeeeeeeeng, dan braaaaaaak gedebuuuuuug........hwreeeeeeen hwreeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeennnnnng”, suara motor menderu mengiringi saya yang terpelanting jatuh. Ban motor terpeleset jatuh ke semak-semak dan rumput di tepi jalan. Saya terjerembab persis di depan pintu kuburan.

Sempat sekian detik buyar ingatan saya. Tersadar kembali, saya sempat berteriak, tapi tak seorang pun mendengar atau melintas. Saya lihat kanan-kiri, tidak ada apa-apa. Tidak ada siapa-siapa. Yang saya lihat hanya gerbang kecil depan kuburan. Saya semakin takut dan deg deg plasss. Sangat tidak beraturan detak jantung saya. Dari sorot lampu depan motor yang jatuh dan mengarah ke kuburan saya dapat melihat beberapa batu nisan dan "kijing" dalam kuburan tersebut. Wuuuuuiiiiiih benar-benar bertambah takut.

Sambil meringis kesakitan dan diliputi ketakutan, saya bergegas bangkit dan memberdirikan motor saya yang mesinnya masih hidup. Saya segera naik dan melaju pulang, masih sambil gemetaran. Saya tidak bertemu dengan siapa pun malam itu di jalan desa itu.

Sampai di depan rumah saya membersihkan tangan dan kaki saya dengan air. Ternyata sekujur tubuh saya basah. Saya tidak tahu apakah itu karena guyuran gerimis tipis atau kah keringat dingin yang keluar karena ketakutan. Yang jelas,  sepanjang malam itu saya tak nyenyak beristirahat.

Dihantui kepanikan dan ketakutan membuat saya terjerembab meringgis kesakitan di depan gerbang kuburan. Padahal, senyatanya saya tidak melihat atau bertemu hantunya.

----------

Terjatuh atau “gagal dalam menggapai asa” karena "dihantui kepanikan dan ketakutan” semu dalam kehidupan.

Pernahkah mengalaminya????

---Hariyanto---  Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline