Sarsito Mangunkusumo, Sang Perintis Penyiaran.
Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta Rabu malam (18/2/21) sedang berbahagia. Stasiun radio tertua di Indonesia itu kemarin meresmikan penggunaan kembali auditoriumnya yang menawan. Namanya: Auditorium Sarsito Mangunkusumo (tertulis Mangoenkoesoemo).
Saya pertama kali menginjakan kaki di auditorium ini sekitar 45 tahun silam, akhir dasa warsa 1970. Waktu itu saya menyaksikan pertunjukan gitar klasik pelajar yang diselenggarakan oleh sebuah yayasan musik dimana saya belajar gitar. Yang saya kagumi dari auditorium itu adalah akustiknya yang canggih. Suara gitar yang dipetik menjadi sangat jelas dan bening, tidak ada gema. Waktu pun berjalan, setelah itu saya kadang juga menyaksikan wayang orang, pertunjukan musik di auditorium itu atau mengantar anak untuk kegiatan seni. Auditorium yang megah di tahun 1970-an pun makin kusam. Dan tadi malam auditorium itu bersolek. Mewah.
Senang melihat RRI merawat auditorium itu dengan tetap memperhatikan aspek cagar budaya. Namun malam itu, perhatian saya adalah menunggu kata dan kalimat dari atas panggung yang gemerlap tentang siapa nama yang disandang di auditorium itu: Sarsito Mangunkusumo. Tampilah slide di panggung dimana nama Sarsito ditulis berkali-kali, tapi tidak menjelaskan, siapa Sarsito? Pertunjukan wayang Punokawan yang berusaha melucu menjelaskan tentang sejarah auditorium itu tidak menyingkap, siapa Sarsito? Ada pidato dan sambutan (bahkan puisi) yang berusaha menerangkan sejarah auditorium itu tapi tidak menyebut, siapa Sarsito? Pertunjukan keroncong juga yang berusaha menjelaskan tentang sejarah keroncong, juga tidak menyebut, siapa Sarsito? Sepasang master of ceremony (MC) yang terus menerus berbicara lantang tentang apa dan mengapa auditorium itu juga tidak menjelaskan, siapa Sarsito? Sedih.
Saya jadi teringat sekitar tahun 2009-2010, ketika harus naik turun ke lantai 2 RRI Solo untuk menemui Ibu Saraswati, Kepala Stasiun RRI Solo, harus melalui depan auditorium. Tapi saya dan teman-teman biasanya tidak lama bertemu dengan Bu Saras di kantor. Tempat yang lebih sering untuk bertemu dan berlama-lama adalah di rumah dinas Kepsta RRI Solo, di depan Stasun Balapan. Hampir tiap malam saya 'apel' ke Bu Saras. Waktu itu Bu Saras selalu didampingi oleh Ibu Umi Iriyani (sekarang Kepsta Gorontalo) yang menjadi tangan kanan yang handal. Selain itu selalu ada sejumlah praktisi penyiaran se Solo Raya yang berkumpul di rumah Kepsta RRI antara lain Itong Widjanto (Mentari FM), Sapto Adi Nugroho (Prambors), Yunianto Puspowardoyo (Solo Radio), Suwarmin (SoloPos FM), Wulan (TA TV), Uud Iswahyudi (TA TV), Didiek Miftah (Gesma FM) dll.
Kami berkumpul untuk membahas Deklarasi Hari Penyiaran 2010, dan berbagai pernak-perniknya. Di sela-sela pembahasan rapat itulah kami banyak diskusi tentang sejarah penyiaran. Saya yang sedang menulis di bab-bab akhir buku sejarah penyiaran pun selalu mengupdate temuan terbaru kepada para praktisi radio/TV itu. Penulisan buku sejarah penyiaran waktu itu sudah sampai tahap akhir. Sudah lima tahun saya menelusuri sejarah penyiaran waktu itu dan saya baru menemukan data-data tentang Sarsito Mangunkusumo. Karena tahun-tahun pertama riset saya adalah mencari data tentang Mangkunagoro VII dan SRV secara kelembagaan.
Saya memiliki kebiasaan jika menemukan suatu data baru segera saya share ke orang-orang disekitar saya, apakah anak, isteri, teman atau siapa saja. Saya tidak peduli apakah yang saya ajak bicara itu paham atau tidak. Tujuan saya adalah untuk menguji data, agar saya segera mendapat umpan balik, kritik dan sanggahan. Apapun komentarnya itu bahan bakar utama bagi saya untuk terus meneliti. Karena itu data-data baru tentang sejarah penyiaran, termasuk data tentang riwayat Sarsito segera saya sampaikan kepada para panitia Harsiarnas. Saya tidak peduli mereka paham atau tidak, makin ngaco komentarnya makin bagus buat saya untuk terus menelusuri data itu.
Suatu malam, setelah panitia membahas semua agenda acara. Bu Saras dengan bersemangat mengatakan bahwa RRI Solo juga akan menyumbangkan acara yaitu Deklarasi Himpunan Penyiaran Perempuan Indonesia (HPPI). "Acara ini harus dilangsungkan di auditorium RRI," kata Bu Saras tegas. Bu Saras pun kemudian terdiam sejenak. Kami pun jadi agak heran apa maksudnya. "Saya akan minta Pak Dirut RRI meresmikan auditorium kami dengan nama Sarsito Mangunkusumo", kata Bu Saras dengan senyum lebar. Saya dan anggota panitiapun merasa terkejut dan senang.
Setelah siang hari acara penandatangan deklarasi hari penyiaran, malamnya kami berkumpul di auditorium itu. Dirut RRI Parni Hadi turut hadir memberi sambutan dan membuka selubung nama "Auditorium Sarsito Mangoenkoesoemo"yang keren itu. Hadir dalam cara itu Ir Kanjeng Pangeran Haryo (KP) Sularso Basarah Suryosuyarso, putra tertua Gusti Nurul dan Ir Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT) Darma Tantyo Saptodewo, cucu dari Ir RM Sarsito Mangunkusumo. Lalu siapa sebenarnya Sarsito Mangunkusumo?
Sarsito adalah salah seorang yang berasal dari trah Mangunkusumo. Sebuah trah yang memiliki kedudukan penting pada dinasti Mangkunagaran. Sarsito Mangunkusumo adalah tangan kanan Mangkunagoro VII dalam urusan infrastruktur. Mangkunagoro VII adalah orang yang bersemangat membangun jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dan juga stasiun radio. Dan Sarsito-lah orang yang menjadi tangan kanan untuk mewujudkan proyek-proye ambisus Mangkunagoro VII itu.