Lihat ke Halaman Asli

Hari Wiryawan

Peminat masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo.

Penuturan Sejarah dan Isu PKI di Barak Militer Magelang Tahun 70-an

Diperbarui: 29 September 2020   18:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap awal bulan Oktober di lingkungan kami, kompleks militer Ngentak, Magelang awal dasawarsa 1970-an selalu sibuk. Ada 2 peristiwa penting yang harus diperingati yaitu Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober dan Hari lahir ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) 5 Oktober.

Berbagai acara dilakukan seperti upacara bendera, lomba lukis, atau lomba deklamasi di sekolah-sekolah milik keluarga TNI AD seperti SD Sudirman I, SD Sudirman II, SD Piere Tendean, SD A.Yani, dsb. Tentu saja di kesatuan militer yang ada di lingkungan kami juga ada upacara bendera. 

Kesatuan yang ada di komplek militer Ngentak antara lain adalah Resimen Induk Kodam VII Diponegoro (Rindam VII Diponegoro), Bataliyon Artileri Medan (kesatuan ini memiliki senjata andalan berupa meriam dan berbaret coklat), Batalyon Kavaleri (bersenjatakan tank dan berbaret hitam).

Di seberang utara lapangan terdapat Batalyon Zipur (Zeni Tempur) yang bertugas membangun insfrastuktur, dan beberapa kesatuan lain.

Di sekolah dasar, para guru mengajarkan tentang peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Saya mendengar ceritera tentang PKI sejak kelas 3 SD, tahun 1973. Peristiwa yang terjadi 8 tahun sebelumnya itu, diceriterakan oleh guru kami bernama Bu Titik.

Guru ini suaranya keras dan agak galak, namun pandai berceritera. Cerita serupa juga saya dengar dari guru kelas kami waktu saya kelas IV dan kelas V (Bu Endang yang cantik, berambut panjang) dan Kelas VI (Pak Soemihardjo, yang berkumis melintang). Kadang-kadang kepala sekolah Bu Atiek Suwarti yang sudah sepuh juga masuk kelas untuk jika guru kelas kami berhalangan.

Ceritera tentang G30s/PKI juga saya dengar dari orangtua, atau kakak-kakak kami yang sudah besar. Nama 7 Pahlawan Revolusi itu melekat dalam ingatan kami, di samping sering diceriterakan juga sering jadi soal ujian di sekolah.

Kata-kata "kekejaman PKI", "lobang buaya", "gerwani" adalah diksi yang buruk dan jahat dalam pandangan saya dan juga teman-teman. Ini semua karena ceritera yang kami tangkap dari para orangtua kami dan guru kami di sekolah.

Bagi kami, mendengar nama Jenderal A Yani, Piere Tendean, Katamso, Sugiyono seperti mendengar ceritera tentang Pakde atau Paman kami sendiri.

Kami merasa dekat karena mereka juga tentara seperti ayah kami, mereka kebetulan juga berasal dari tempat di sekitar Magelang yaitu Purworejo (A.Yani), Jogjakarta (Katamso dan Sugiyono), atau Piere Tendean yang memang orang Magelang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline