Lihat ke Halaman Asli

Hari Wiryawan

Peminat masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo.

Tirto Adhi Suryo dan Suryo Suparto

Diperbarui: 9 Februari 2019   19:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pramoedya Ananta Toer, dalam Sang Pemula (1985) menggambarkan dengan dramatis seorang tokoh pejuang yang terasing, sehingga masyarakat luas tidak mengenal sosok penting itu. Ia seorang tokoh besar bernama Tirto Adhi Suryo (TAS).

Pram menggambarkan terasingnya TAS dengan mengutip sebuah surat yang dimuat koran De Locomitief, setelah wafatnya TAS pada 7 Desember 1918. Surat itu berbunyi: "...lantaran tahun-tahun terakhirnya yang memilukan. Karena Tirto Adhi Soerjo telah menjadi kurban kerasnya sendiri dalam tujuh-delapan tahun terakhir telah sepenuh-penuhnya rusak ingatan dan takut orang..."

Menurut Pram, surat tersebut tidak mengandung maksud jahat, malah hendak memuliakan almarhum, tapi tanpa sengaja juga ikut menjatuhkan hukuman kepada TAS sebagai "orang yang telah sepenuhnya rusak ingatan dan takut orang".

Citra buruk TAS itulah yang dikehendaki para pejabat Hindia Belanda agar tokoh modernis itu tidak muncul dalam sejarah pergerakan Indonesia. Pram membeberkan adanya upaya sistematis mendiskreditkan dan menggelapkan peran besar TAS dalam menggerakkan kesadaran bangsa. Setelah Indonesia merdeka, syukurlah TAS kemudian dikenal sebagai "Bapak Pers Indonesia".

Namun kisah TAS berulang kembali. Dewasa ini nasib Tirto Adhi Suryo itu menimpa Suryo Suparto, nama kecil  Mangkunagoro VII. Ceriteranya begini:

Seorang tokoh wartawan bertanya kepada Sejarawan LIPI Dr Asvi Warman Adam, "Apakah seorang yang menyumbang 600 gulden kepada sebuah stasiun radio layak disebut sebagai  Bapak Penyiaran?"

Pertanyaan itu diajukan pada saat rehat seusai rapat di Kementerian Kominfo, Jakarta tiga tahun silam tepatnya 25 Februari 2016. Dalam rapat tadi Dr Asvi membagikan artikelnya "Radio Sebagai Alat Perjuangan: Mangkunegoro VII dan SRV" (Solosche Radio Vereeniging) yang menyebutkan bahwa Mangkunegoro VII (selanjutnya disebut MN VII), "...menyumbang 600 gulden untuk pembelian sebuah pemancar dan kemudian menyerahkan tanah seluas 6.000 meter persegi senilai 15 ribu gulden untuk pembangunan gedung studio SRV di Kestalan Mangkunegaran..".

Kalimat dari Dr Asvi W Adam itu sebenarnya ingin menghargai peran penting MN VII di bidang penyiaran namun secara tidak sengaja justru mendegradasikan "hanya dengan menyumbang kepada radio lalu akan dinombatkan sebagai bapak penyiaran?". (Dalam rapat bertajuk "Penetapan Hari Penyiaran" siang itu memang di singgung soal Bapak Penyiaran tetapi urung dibahas).

Pertanyaan sang wartawan dan kalimat artikel itu menunjukkan bahwa MN VII adalah tokoh yang tidak dikenal, asing bagi masyarakat, termasuk masyarakat media. Tokoh wartawan tadi tentu sudah banyak membaca buku sejarah.

Tapi toh merasa asing dengan nama MN VII. Tidak dikenalnya MN VII sebagai perintis penyiaran bisa dicek kepada para pengelola media penyiaran radio dan televisi di Indonesia saat ini. Apakah mereka mengenal sosok dan peran MN VII dalam penyiaran?  

Baik Tirto Adi Suryo (1880-1918) maupun Suryo Suparto (1885-1944) adalah perintis media massa di Indonesia. TAS merintis media cetak, MN VII merintis media penyiaran. Yang menarik, menurut Pram, TAS dari garis Ibu adalah keturunan Mangkunagoro I.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline