Baru-baru ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan adanya kabar mengenai Pertemuan LGBT se-ASEAN yang hendak diadakan di Jakarta pada bulan Juli 2023. Tidak disambut dengan ramah, sebagian besar masyarakat Indonesia justru menolak adanya rencana kegiatan pertemuan tersebut. Alhasil, rencana agenda pertemuan tersebut dibatalkan.
Penolakan-penolakan seperti ini tidak hanya sekali dua kali terjadi di Indonesia. Sudah banyak sekali penolakan terhadap kegiatan & propaganda yang mengandung unsur LGBT. Salah satu contoh bentuk penolakan lainnya adalah, “Batalnya Kunjungan Utusan Khusus LGBTQI+ AS ke RI Usai Ditolak Sana-Sini”, seperti yang dilansir oleh laman news.detik.com, Sabtu, (3/12/2022).
Mengapa LGBT selalu mendapat penolakan di Indonesia?
Mengapa LGBT selalu menjadi hal yang tabu di Indonesia?
Mengapa mereka tidak bisa menyuarakan hak-hak mereka di Indonesia?
Bukankah Indonesia adalah negara yang demokrasi?
Bukankah Demokrasi menjunjung tinggi persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara?
Lantas, mengapa kaum LGBT diperlakukan berbeda?
Ditengah era masyarakat bebas berdemo untuk menyuarakan hak-hak mereka, mengapa kaum LGBT tidak berhak menyuarakan hak-hak mereka?
Apakah kaum LGBT yang salah?
Atau sistem pemerintahan dan hukum negara kita yang salah?
Pertanyaan-pertanyaan diatas merupakan sekumpulan pertanyaan yang muncul pada pemikiran penulis. Puncak dari munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut berasal dari isu penolakan terhadap “Pertemuan LGBT se-ASEAN” yang hendak diadakan di Jakarta. Kumpulan pertanyaan tersebut bukan berarti saya merupakan bagian dari LGBT. Tentu tidak, saya sendiri juga merupakan insan ber-gender laki-laki yang masih memeluk agama Islam. Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanyalah didasari oleh pemikiran saya pribadi.
Dalam agama Islam, tentu saja LGBT sangat dilarang dan tidak dibenarkan. Sebagaimana yang terdapat pada HR. Abu Dauda, Tirmidzi dan Ibnu Majah, yang berbunyi (artinya): “Barangsiapa yang kamu temui mengerjakan perbuatan kaum Luth maka bunuhlah yang bersetubuh dan yang disetubuhi”. Perlu diketahui bahwa Luth merupakan nabi dalam agama Islam. Pada zamannya, banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Salah satu penyimpangan terbesarnya adalah homoseksual. Nabi Luth sangat mengecam penyimpangan homoseksual. Namun, dakwah yang Ia lakukan tidak membuahkan hasil. Pada akhirnya Nabi Luth meminta mohon kepada Allah SWT. untuk memberikan azab sebesar-besarnya kepada mereka yang masih melakukan penyimpangan dan tidak kunjung berubah.
Tidak hanya agama Islam, bahkan agama selain Islam di Indonesia juga melarang dan tidak membenarkan adanya LGBT ini. Banyak kerugian, ketidak-bermanfaatan, dan ketidaksesuaian nilai-nilai agama terhadap LGBT ini. Seperti halnya yang tertera pada Alkitab yang diimani oleh kaum Kristiani (Katolik dan Protestan), yang tertuang dalam Kitab Imamat, yang berbunyi:
“Orang laki-laki tak boleh bersetubuh dengan orang laki-laki, Allah membenci perbuatan itu” (Imamat, 18:22).
“Apabila seorang laki-laki bersetubuh dengan laki-laki lain, mereka melakukan perbuatan yang keji dan hina, dan kedua-duanya harus dihukum mati. Mereka mati karena salah mereka sendiri” (Imamat, 20:13). Dan masih banyak sumber-sumber atau dalil-dalil lainnya.
Yang menjadi perhatian saya terkait isu ini adalah mengenai sistem pemerintahan dan hukum di negara kita. Indonesia menganut sistem pemerintahan Demokrasi. Yang artinya, Indonesia menjunjung tinggi gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Tetapi, hal ini dirasa tidak diperlakukan dengan semestinya terhadap kaum LGBT. Pasalnya, kaum LGBT selalu mendapat kecaman dari masyarakat Indonesia. Mereka dirasa tidak mendapatkan kesempatan dan hak yang sama dengan masyarakat lainnya. Lantas, bagaimana sistem Demokrasi menyikapi hal ini? Apakah ada hukum atau undang-undang yang melarang adanya LGBT di Indonesia?
Mahfud MD selaku menkopolhukam dan mantan ketua Mahkamah Konstitusi, pernah menegaskan bahwa “Indonesia merupakan negara yang sangat demokratis”. Pada tahun 2022, Ia juga pernah angkat suara mengenai salah satu konten youtube yang cukup kontroversial di kalangan masyarakat Indonesia. Konten yang terbilang ‘kontroversial’ ini ditayangkan oleh channel yang bernama Close The Door. Usut punya usut, channel Close The Door ini dimiliki oleh salah satu Tokoh Publik terkenal, yaitu Deddy Corbuzier. Pada konten yang terbilang ‘kontroversial’ ini, Deddy Corbuzier mengundang Ragil Mahardika yang merupakan salah satu influencer ternama di Indonesia, yang juga merupakan pro LGBT. Jelas, konten yang dianggap kontroversial oleh masyarakat ini, karena secara garis besar pembahasannya mengenai persoalan LGBT.
Dilansir dari timesindonesia.co.id (11/5/2022), Mahfud MD menegaskan, bahwa “Indonesia merupakan negara yang sangat demokratis dan menghargai produk pers, termasuk podcast Close The Door”. Dikutip dari laman Twitter resminya @mohmahfudmd, Rabu (11/5/2022), Ia juga menjelaskan bahwa "Pemahaman Anda bukan pemahaman hukum. Coba saya tanya balik: mau dijerat dengan UU nomor berapa Deddy dan pelaku LGBT? Nilai-nilai Pancasila itu belum semua menjadi hukum. Nah LGBT dan penyiarnya itu belum dilarang oleh hukum. Jadi ini bukan kasus hukum”. Ia juga menambahkan bahwa "Seperti caci maki publik, pengucilan, malu, merasa berdosa dan lainnya. Sanksi otonom adalah sanksi moral dan sosial. Banyak ajaran agama yang belum menjadi hukum”.
Menurut Mahfud MD, persoalan terhadap LGBT ini belum ada hukumnya. Ia juga menyoroti soal Pasal 292 KUHP tentang pencabulan. Baginya, pasal itu hanya mengatur soal larangan homoseksual atau lesbian antara orang dewasa dan anak-anak. Pasal 292 KUHP itu sendiri berbunyi “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun". "Kalau lesbi/homo sesama orang dewasa apa ancaman hukumannya? Tidak ada, kan? Kalau kita menghukum tanpa ada ancaman hukumnya lebih dulu berarti melanggar asas legalitas, bisa sewenang-wenang. Makanya ber-Pancasila bukan hanya berhukum, tapi juga bermoral,” tutur Mahfud MD.
Dari pernyataan-pernyataan Mahfud MD tersebut bisa disimpulkan bahwa, belum adanya hukum kenegaraan yang secara valid dalam menindak tegaskan kaum LGBT di Indonesia. Sampai tahun (2023) ini pun juga masih belum ada hukum atau undang-undang terkait persoalan LGBT ini. Bahkan, dilansir dari kompas.com, kamis (15/12/2022), "Enggak ada satu pasal pun yang mengatakan 'barangsiapa itu LGBT diancam hukuman...', enggak ada. Cari di pasal berapa,” kata Mahfud MD dalam jumpa pers nya di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta.