Lihat ke Halaman Asli

Subjektivitas dan Indoktrinasi dalam Pendidikan Sejarah

Diperbarui: 31 Desember 2018   03:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sejarah adalah kisah panjang yang merentang dari masa lalu hingga hari ini. Kisah panjang yang menceritakan tentang perjalanan memperjuangkan apa yang dicita-citakan oleh orang-orang yang berani. Berani menerima resiko terburuk, yakni kematian. Karena itu, membaca sejarah atau mendengar tuturan tentang sejarah amat menarik perhatian. Begitu pula dengan sejarah Indonesia, yang menjadi bagian penting dari proses pendidikan untuk para siswa. Tujuannya adalah untuk menanamkan semangat kepahlawanan, menghargai jasa para pahlawan, mengenang betapa sulitnya melawan penjajahan dan memahami perlunya keberanian untuk berkorban apa saja.

Pendidikan sejarah juga memuat catatan penting dan heroik mengenai sosok dan kelompok yang layak dikenang sebagai pejuang, sebagai pahlawan yang amat berjasa bagi lahirnya suatu bangsa dan negara, juga bagi terselenggaranya kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan sebagai upaya untuk mensejahterakan rakyat. Catatan penting ini harus tertanam kuat dalam ingatan antar generasi dalam jangka panjang sehingga diperlukan metode yang dianggap istimewa untuk maksud tersebut.

Pada titik ini, segala hal yang dianggap berbeda, berkecederungan mereduksi atau menentang kepentingan tersebut akan disingkirkan tanpa bersisa. Tidak boleh ada nuansa hubungan yang menyisakan ruang perbedaan, sehingga makna tunggal kebenaran harus dimonopoli.

Dalam kaitan itu, kemana penulis dan penutur berpihak menjadi suatu keniscayaan sehingga manipulasi atau ketidakjujuran mengenai sejarah justeru dipercaya sebagai kebenaran. 

II 

Orde Baru telah berakhir. Soeharto juga telah lengser. Indonesia, katanya, kini sudah memasuki reformasi. Segala macam warisannya dihapus. Sebut saja dwifungsi ABRI. Namun, agaknya masih ada yang luput. Suatu warisan yang dikonsumsi banyak kepala hampir setiap hari di dalam kelas. Peristiwa '65 dan setelahnya. Lebih jelasnya, sejarah tentang PKI.

PKI adalah satu kata yang sangat gaib. Selama 50 tahun lebih, negara mencangkokkan semua sentimen negatif yang mungkin ada terhadap partai ini pada setiap kesempatan yang dipunyainya, melalui segenap teknologi yang dimilikinya.[1] Salah satunya lewat lembaga bernama sekolah. Lewat pelajaran bertajuk sejarah.

Meski Soeharto sudah lengser, tetap saja, kurikulum pendidikan masih menggambarkan PKI kejam, jahat, dan sadis. Peralihan kurikulum relatif tak membawa perubahan. Selama 50 tahun lebih, pelajaran sejarah di sekolah-sekolah masih saja menggunakan narasi Orba yang sengaja dituliskan untuk menyingkirkan PKI. Ia dianggap melakukan kudeta berdarah terhadap pemerintah Soekarno. PKI dianggap membantai para jendral dan membuang jasadnya ke lubang buaya.

Dampaknya? Bukan main! Ribuan orang setiap tahun saat tamat sekolah, membawa pikiran kalau PKI itu sadis dan atheis, maka dari itu harus dibasmi. Setiap kali kata itu beredar, kontan keributan menjalar. Dan, gambaran menyeramkan atasnya juga dilebih-lebihkan. Bahkan, tak masuk akal. Tahun 2017, gedung LBH Jakarta dikepung ribuan massa. 

Orang-orang kalap ini menduga di dalam gedung itu tengah bersembunyi barang haram bernama PKI. Padahal, waktu itu, LBH Jakarta tengah melangsungkan solidaritas terhadap Dandy Dwi Laksono dan Penggerudukan LBH karena seminar sejarah. Kasus yang terakhir, tebak saja, digeruduk karena ditengarai berupaya membangkitkan lagi PKI. 2018, Mantan Kepala Staf Kostrad menyatakan bahwa PKI tengah bangkit kembali. "Jumlah pengikutnya kini sudah 15 juta. Jika digabung dengan anak cucu dan ditambah para simpatisan, bisa mencapai 60 juta."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline