Malam itu, angin bertiup pelan di luar rumah. Ratna sedang memotong sayuran di dapur kecilnya. Di meja dapur, daftar pesanan katering untuk keesokan hari sudah tertata rapi. Kehidupan yang ia jalani selama hampir 29 tahun pernikahan bersama Bayu telah mengajarkan banyak hal, termasuk kesabaran yang tak bertepi.
"Bu, ayam gorengnya sudah selesai?" suara Prita, putri sulungnya, terdengar dari ruang makan. Ratna tersenyum tipis, meski hatinya lelah.
"Sebentar lagi, Nak. Kamu bisa bantu buat jus jeruk?"
Prita mengangguk dan mulai sibuk di sudut dapur. Sementara itu, Andi, anak bungsu mereka, terdengar tertawa riang di ruang keluarga. Ratna melirik jam dinding. Sudah pukul delapan malam, tapi Bayu belum pulang. Lagi-lagi, ia merasa ada lubang di hatinya yang tak bisa terisi.
Tak lama, suara mesin mobil Bayu terdengar di depan rumah. Prita melirik ibunya dengan tatapan penuh tanya, tapi Ratna pura-pura sibuk memotong wortel.
"Bu, bapak pulang telat terus ya?" tanya Prita pelan.
Ratna hanya tersenyum kecil. "Bapakmu banyak urusan, Nak. Sudah, kamu selesaikan jus itu."
Bayu masuk dengan wajah kelelahan. "Malam," katanya singkat sambil meletakkan tas kerja di meja. Ratna hanya menjawab dengan anggukan kecil. "Makan malam sudah siap," katanya lembut.
Mereka duduk di meja makan, makan bersama dalam keheningan yang terasa berat. Setelah selesai, Bayu menghilang ke kamar tanpa banyak bicara. Prita dan Andi membantu Ratna membereskan meja, tapi pertanyaan yang sama terus berputar di kepala Prita.
Malam itu, setelah anak-anak tidur, Ratna duduk sendirian di ruang tamu. Ia menatap foto pernikahannya yang tergantung di dinding. Wajahnya yang dulu penuh harapan kini tampak berbeda di cermin kehidupannya.