Tulisan ini saya awali dengan sebuah kutipan dari buku tentang menulis karya Agung Webe: "Writing is your inner growing." Kutipan ini menggambarkan bahwa menulis adalah bentuk pertumbuhan dalam diri. Menarik sekali kalimat ini, karena sebuah tulisan tercipta dari proses alami yang dinamis, dengan pertumbuhan seiring berjalannya waktu. Apa yang diterima oleh penulis akan mempengaruhi isi serta kualitas tulisannya.
Proses perjalanan menjadi seorang penulis tidak bisa terjadi secara instan. Tidak bisa satu, dua, tiga, lalu tiba-tiba menjadi penulis yang memiliki banyak buku. Menjelang akhir tahun 2020, tepatnya bulan Agustus, saya mulai memasuki proses mewujudkan diri menjadi seorang penulis.
Oleh karena itu, saya memberanikan diri untuk mendaftar dalam kelas menulis bersama Andrias Harefa, yang dikenal dengan nama AHA. Sosok ini mempengaruhi perjalanan hidup saya untuk menjadi seorang WTS: Writer, Trainer, Speaker, sejak tahun 1999. Saya bersyukur bisa bertemu beliau, meskipun hanya dalam dunia maya melalui kelas Zoom atau grup WhatsApp.
Mengapa ingin menjadi penulis? Pertanyaan sederhana ini ternyata tidak mudah dijawab. Selama ini, yang ada dalam pikiran saya adalah bahwa menjadi penulis itu keren, karena tulisan bisa menjadi legenda sepanjang masa meskipun penulisnya sudah tiada. Alasan ini sementara cukup memotivasi, tetapi tentu belum kuat. Dibutuhkan pemurnian motivasi lebih mendalam untuk menciptakan kemauan yang lebih kuat. Meskipun saya memiliki banyak buku tentang cara menulis di rak buku, namun ketakutan, kemalasan, dan banyak alasan seringkali menghambat saya untuk mulai menulis.
Apakah menjadi penulis adalah panggilan jiwa? Menurut saya pribadi, jawabannya masih abstrak. Menulis ya menulis saja. Terlalu berlebihan jika menulis dikaitkan dengan panggilan jiwa. Namun, berbeda halnya jika kita memiliki sikap untuk memberi atau berbagi melalui tulisan.
Berbagi kisah yang bisa memberikan peneguhan, inspirasi, atau masukan yang mencerahkan, sehingga orang lain bisa belajar tanpa harus mengalami hal serupa. Ada jalan pintas untuk belajar dari pengalaman yang sudah ada, dan lebih menyenangkan lagi jika semuanya tercatat rapi dalam bentuk tulisan.
Perjalanan menuju sebuah buku dimulai dari menulis 600 kata dalam bentuk artikel. Proses ini sangat menarik. Otot-otot kreativitas sedang dibentuk dan diciptakan. Tujuannya adalah menciptakan kebiasaan menulis, menyusun ide menjadi kalimat panjang yang terstruktur rapi dan sistematis dengan unsur SPOK (Subjek, Predikat, Objek, dan Keterangan).
Sebagai seorang pecinta buku dengan koleksi banyak judul, ada tantangan tersendiri. Apakah saya memiliki kemauan untuk menghasilkan karya tulis dalam bentuk buku? Saya kutip kata-kata Heri Gol A Gong, penulis novel "Balada Si Roy," dalam salah satu bukunya: "Dan bukti bahwa membaca itu membawa manfaat, ketika kita mampu menuliskannya kembali dalam bentuk buku yang lain." Itulah mengapa ada pepatah Cina yang mengatakan, "Menulis adalah membaca dua kali."
"Writing is your inner growing," semakin sering menulis, ada proses pertumbuhan alami dalam diri. Susunan kalimat, pemilihan kata, dan makna tulisan akan tumbuh. Semua ini saya peroleh dari buku tentang menulis, bukan berdasarkan pengalaman pribadi.
Lalu, bagaimana selanjutnya? Pada akhirnya, kita perlu menciptakan keberanian untuk mulai menulis dan menyelesaikannya. Menulis dan terus menulis. Tidak cukup hanya menulis 600 kata seminggu atau sebulan sekali, tetapi buatlah tulisan 600 kata itu setiap hari, setidaknya tiga kali: pagi, siang, dan malam. Suatu proses pembelajaran yang luar biasa jika ini semua berani diwujudkan dengan penuh disiplin, konsistensi, dan tanpa patah semangat hingga otot-otot kreativitas semakin kuat dan terasah tajam.
Louis L'Amour, penulis dengan hampir 230 juta eksemplar bukunya dicetak di seluruh dunia, pernah ditanya tentang gaya penulisannya. Ia menjawab, "Mulailah menulis, apa saja. Air saja tidak akan mengalir sampai krannya dibuka."