Lihat ke Halaman Asli

Abdul Haris

TERVERIFIKASI

Menulis Untuk Berbagi

Serius Mengurus Urusan Siber

Diperbarui: 29 September 2024   06:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk melumpuhkan perekonomian suatu bangsa, bisa jadi cukup melumpuhkan sistem keuangannya. Pernyataan itu mungkin berlebihan pada saat ini. Namun, diwaktu mendatang, rasanya tidak mustahil, seiring makin terdigitalisasinya ekosistem keuangan.

Beragam inovasi layanan keuangan berbasis digital terus bermunculan. Yang masih konvensional pun ditransformasikan menjadi virtual. Regulator maupun industri memang terus mendorong digitalisasi. Alhasil, pertumbuhannya pun makin subur. Setali tiga uang, masifnya digitalisasi diiringi tingginya risiko siber.

Siber dan Keuangan

Jumlah serangan siber hampir dua kali lipat sejak pandemi. Sektor keuangan menjadi sasaran utama serangan tersebut. Hampir seperlima dari insiden berdampak pada perusahaan keuangan. Bank merupakan target yang paling sering diincar. Meskipun dampaknya tidak sistemik, insiden pada institusi keuangan besar dapat mengancam stabilitas keuangan makro. Hal itu dikarenakan hilangnya kepercayaan, disrupsi layanan kritikal, dan tidak terhubungnya teknologi dan keuangan. Itulah kutipan kajian International Monetary Fund (IMF) dalam Global Financial Stability Report 2024. 

Kajian IMF juga menyebutkan bahwa meningkatnya konektivitas saat pembatasan fisik, meningkatkan pula ketergantungan pada teknologi dan inovasi keuangan. Kondisi itu diduga berkorelasi dengan peningkatan serangan siber.

Serangan siber yang masif sudah sekian kali terjadi, sebut saja cyber heist Bangladesh Bank yang menyebabkan kerugian USD101 juta, atau serangan siber pada The central Bank of Lesotho yang sempat melumpuhkan sistem pembayaran nasionalnya. Di Indonesia, terhentinya layanan Bank Syariah Indonesia selama hampir seminggu diduga juga akibat serangan siber. 

Sektor keuangan memang sasaran yang menarik. Tidak hanya karena potensi dana yang besar, tetapi juga penguasaan informasi sensitif pemilik dana. Informasi yang mempunyai nilai tinggi untuk di monetisasi.

Solusi Regulasi

Salah satu yang disoroti IMF dalam kajiannya ialah kurangnya kerangka kebijakan keamanan siber pada negara-negara berkembang. Dari 74 negara yang disurvei, kurang dari separuhnya yang telah memiliki strategi nasional yang fokus pada pengamanan siber. 

Bagaimana dengan Indonesia? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline