Seorang pengemudi ojek online (ojol) terkejut ketika mengetahui upah yang dia terima hanya beberapa ribu rupiah, setelah pengantaran makanan selesai. Dia nampak geram dengan penyedia aplikasi, yang menurutnya memberikan upah terlalu murah.
Itulah pengalaman saya tahun lalu, setelah memesan makan melalui sebuah aplikasi. Saya ingat, memang aplikasi menampilkan promo ongkos kirim yang sangat murah. Yang tentunya, amat menarik bagi para konsumen. Tentu saya, atau mungkin sebagian besar konsumen, tidak mengetahui bagaimana mekanisme bagi hasil antara penyedia dengan mitra pengemudinya.
Beberapa hari lalu, Jakarta dan kabarnya beberapa kota besar lainnya, kembali diramaikan demo pengemudi ojol. Peristiwa serupa sudah sekian kali terjadi.
Persoalan paling disorot kali ini adalah upah yang terlalu rendah. Masalah kecilnya upah itu juga dikeluhkan para kurir. Ya, bisnis ekspedisi memang sedang marak seiring trend belanja daring.
Pudarnya Semangat Sosial
Sejak munculnya transportasi daring, demo sudah berulangkali terjadi. Dulu, demo diawali dengan penolakan pengemudi konvensional terhadap kehadiran layanan berbasis digital. Ada lagi, demo ketidakseragaman perizinan kendaraan. Dan, yang berulang, persoalan kesejahteraan.
Tarif murah ini merupakan daya tarik kuat transportasi online, selain kemudahan akses. Penyedia mampu menangkap naluri alamiah konsumen yang menyenangi sesuatu yang murah, atau bahkan gratisan.
Pada awal berdirinya perusahaan layanan online (transportasi, penginapan, jejaring sosial, dan lainnya), dalam bebagai wawancara dengan para pendirinya, umumnya mereka memberikan alasan yang mirip yakni memberikan kemudahan kepada masyarakat. Memang benar, kemunculan layanan daring itu menjawab kebutuhan masyarakat, yang dengan sendirinya membuat perusahaan cepat berkembang.
Lalu, perkembangan pesat itu menarik banyak investor untuk menanamkan modalnya. Makin lama, makin banyak investor menaruh dananya, apalagi ketika perusahaan go public. Baik struktur perusahaan maupun proses bisnis yang dijalankan pun menjadi semakin kompleks, seiring banyaknya penanam modal.
Tuntutan perolehan keuntungan pun semakin tinggi. Kondisi itu mendorong perusahaan memutar otak untuk meraup keuntungan yang besar. Alhasil idealisme layanan sosial pun semakin luntur dengan semangat komersial.