Lihat ke Halaman Asli

Abdul Haris

TERVERIFIKASI

Menulis Untuk Berbagi

Menjodohkan Pertumbuhan Ekonomi dengan Inflasi

Diperbarui: 15 Februari 2024   03:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. Sumber: KOMPAS/CHY

Idealnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi berbarengan dengan inflasi yang rendah. Itulah tujuan semua bangsa yang hendak menyejahterakan rakyatnya. Dalam kenyataanya, menjodohkan kedua tujuan itu memberikan tantangan tersendiri.

Ada ulasan menarik dari editorial Bisnis Indonesia yang membandingkan pendekatan ekonomi era Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Joko Widodo (Jokowi). Ringkasnya, laju ekonomi masa pemerintahan SBY mencapai angka yang tinggi namun disertai inflasi yang tinggi pula. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi masa Jokowi tidak bisa melampaui rekor SBY namun sukses dalam menekan inflasi yang rendah.

Menurut harian tersebut, dengan rata-rata inflasi relatif rendah, pemerintahan Jokowi lebih menekankan pada pembangunan ekonomi melalui pemerataan pendapatan dan kesejahteraan. Konsekuensi dari laju inflasi yang rendah adalah pertumbuhan ekonominya juga terbatas.

Tantangan yang Berbeda    

Laju ekonomi era SBY kerap di atas 6% dan sempat mencapai 6,5% pada 2011. Namun, prestasi itu dibarengi dengan kecenderungan inflasi yang tinggi. Diantaranya, pada 2005 dan 2008, inflasi tahunan sempat menyentuh dua digit yaitu 17,11% dan 11,06% berturut-turut.

Sebaliknya, selama hampir 10 tahun kepemimpinan Jokowi, catatan inflasi tahunan tidak pernah menembus dua digit. Angka yang tinggi terjadi pada 2014 sebesar 8,36% dan 2022 sebesar 5,51%. Selebihnya, inflasi berkisar 3% ke bawah. Tetapi, pada era dimaksud pertumbuhan ekonomi tertinggi hanya 5,31% pada 2022 bahkan sempat terperosok -2,07% pada 2020.  

Manakah yang lebih baik dari dua kondisi tersebut? Jawabannya, tidak bisa dibandingkan karena tantangan yang dihadapi pada tiap era berbeda.

Satu dekade era SBY, Indonesia dihadapkan kekhawatiran dampak rambatan krisis global (great recession) yang bermula dari kasus subprime mortgage di Amerika Serikat (AS) pada 2008. Saat itu, Indonesia termasuk sedikit dari negara yang mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya.

Tidak kalah beratnya, pada periode Jokowi, dunia dihadapkan ujian berat pandemi Covid-19. Perekonomian global nyaris mati karena aktivitas fisik sangat dibatasi. Dengan tersendatnya aktivitas ekonomi maka pertumbuhannya kala itu sempat menunjukkan angka negatif.

Selain pandemi, berbagai ketegangan geopolitik silih berganti, dari perang dagang antara AS dengan China, hingga perang bersenjata di Ukraina, Rusia, Palestina, dan Israel. Ketegangan itu merembet pada persoalan ekonomi seperti terganggunya rantai produksi yang memicu inflasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline