Dalam beberapa kesempatan, masih saja saya temui, mini market modern tidak mengembalikan uang receh atau menawarkan kembalian tersebut untuk disumbangkan. Meskipun, ada juga kasir memberikan kembalian lebih, mungkin untuk mempermudah pecahan kembalian.
Untuk yang terakhir, tidak menjadi persoalan bagi konsumen. Tapi, jika terlalu sering dilakukan maka toko akan rugi. Namun, terkait kembalian yang ditahan, perilaku itu mengurangi hak konsumen meskipun dalam nominal yang kecil.
Bagi pengelola mini market, jika diakumulasikan dari seluruh transaksi harian hingga tahunan, bisa jadi terkumpul nominal yang besar. Sekitar tahun 2016, persoalan tersebut sempat dipersengketakan di majelis Komisi Informasi Pusat.
Perilaku tidak mengembalikan uang receh memang sudah berlangsung lama. Dulu pernah ada kembalian diganti permen, lalu berubah menjadi tawaran untuk disumbangkan. Yang semoga tidak terjadi lagi, tidak ada omongan, tau-tau tidak dikembalikan.
Sekali lagi, namanya kembalian uang receh, tentu nominalnya tidak seberapa, sekitar Rp100,00-Rp200,00. Namun, nilai receh semacam itu tetap merupakan hak konsumen sehingga wajib bagi penjual memberikannya kepada konsumen.
Etika Receh
Alasan mengapa kembalian receh kerap diabaikan tentu bisa bermacam-macam. Mungkin saja pihak mini market tidak mempersiapkan uang logam. Jika itu persoalannya, semestinya mudah diatasi dengan menukarkan uang logam ke bank.
Waralaba profesional pastinya terafiliasi dengan perbankan, atau bahkan malah nasabah prioritas yang mendapatkan privillege layanan, termasuk penukaran uang.
Masalah tidak siapnya uang logam merupakan kelalaian pihak toko. Mengingat, banyaknya barang yang mencantumkan harga dengan nominal "nanggung", misalnya Rp8.900,00.
Alasan lain, menganggap nilai uang yang kecil tidak berarti bagi konsumen. Ya, umumnya para konsumen tidak memprotes kembalian tersebut, bahkan mungkin tidak mengeceknya. Mereka diduga tidak enak juga menuntut kembalian uang receh.