Mungkin diantara kita pernah merasa sebal saat menelpon call center bank untuk mengadukan sesuatu. Ya, ribet karena harus pilih banyak menu, lama menunggu, atau malah diperdengarkan iklan tawaran produk yang tidak kita perlukan. Contoh itu menggambarkan kesan kita betapa repotnya pengaduan ke bank.
Sulitnya mengakses layanan pengaduan menggambarkan masih kurangnya perhatian pelaku usaha sektor keuangan, termasuk bank, terhadap pemenuhan hak konsumen. Padahal, konsumen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam rantai bisnis sektor keuangan. Tanpa konsumen, kegiatan usaha sektor keuangan tidak akan berjalan, gampangnya seperti itu.
Indonesia sebenarnya pernah mendapatkan pembelajaran berharga mengenai pentingnya kedudukan konsumen. Tahun 1998 saat krisis moneter dan tahun 2008 saat krisis global, sektor keuangan berjuang keras untuk menjaga kepercayaan konsumen yang mulai luntur karena adanya bank-bank yang kolaps. Berbagai insentif, misalnya bantuan keuangan (likuiditas), dikucurkan untuk menjaga kesehatan industri keuangan sehingga memulihkan kepercayaan konsumen. Tidak berlebihan jika dianggap peran konsumen menentukan hidup-matinya sektor keuangan saat itu.
Memang, bencana terbesar dalam industri keuangan adalah saat konsumen hilang kepercayaan terhadap institusi keuangan. Akibatnya, mereka melakukan penarikan dana besar-besaran (rush) yang berimbas pada terguncangnya sistem keuangan.
Penting tapi Dilupakan
Sekian tahun sejak berlalunya peristiwa-peristiwa ekonomi besar tersebut, perhatian para pelaku usaha sektor keuangan terhadap konsumennya mulai kurang optimal. Mereka mungkin terlena dengan kondisi ekonomi yang relatif stabil yang tentunya menurunkan risiko hilangnya kepercayaan konsumen.
Kurangnya perhatian tersebut dapat dilihat dari banyak indikator. Selain sulitnya akses pengaduan sebagaimana awal tulisan, beberapa diantaranya yang umum terjadi adalah perjanjian baku yang berpotensi merugikan konsumen, misalnya klausul yang panjang dan bahasa yang sulit dipahami. Ada lagi, upaya perlindungan data yang masih lemah, seperti masih adanya indikasi pencurian data melalui kejahatan siber. Transparansi informasi juga kerap menjadi persoalan, yang mana pelaku usaha tidak memberikan informasi lengkap mengenai fitur produknya, contohnya pengenaan biaya dan risiko produk.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, otoritas sektor keuangan pun perlu melakukan penguatan upaya pengawasannya. Strategi pengawasan yang tepat penting untuk diterapkan sehingga menghasilkan dampak nyata berupa kepatuhan dalam pelindungan konsumen.
Pengawasan Perilaku Pasar
Penguatan pelindungan konsumen oleh otoritas sektor keuangan telah diakomodir dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Dalam beberapa pasalnya, UU PPSK mengatur mengenai pelaksanaan pengawasan perilaku pasar atau biasa dikenal market conduct supervision oleh otoritas sektor keuangan.
Sedikit mengulas pengawasan otoritas keuangan, umumnya terdapat pendekatan pengawasan prudensial dan pendekatan pengawasan perilaku pasar. Untuk yang pertama, pengawasan fokus pada pemenuhan aspek-aspek kehati-hatian pelaku usaha, diantaranya pemenuhan modal, pengelolaan risiko, tata kelola perusahaan, dll. Sedangkan pengawasan perilaku pasar singkatnya merupakan pengawasan terhadap perilaku pelaku usaha dalam upaya mewujudkan pelindungan konsumen.