Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan BI 7 day Repo Rate (BI 7 day) sebesar 50 basis poin menjadi 5,25%. Ini adalah kenaikan dengan rentang basis poin tertinggi sejak berlakunya suku bunga acuan ini pada April 2016.
BI 7 day sebelumnya mengalami kenaikan 2 kali pada bulan Mei tahun ini yaitu berturut-turut dari 4,50% ke 4,75%. Sebelumnya, sejak bulan September 2017 hingga April 2018, BI 7 day konsisten di posisi 4, 25%. Jika kita tarik lagi ke belakang, sejak kemunculannya menggantikan BI Rate (suku bunga acuan bank sentralsebelumnya), BI 7 day menunjukkan trend menurun dan belum pernah mengalami kenaikan.
Lalu, apa yang dapat dilihat dari indikator trend tersebut?
Dalam siaran persnya, BI kembali menegaskan bahwa kenaikan suku bunga tersebut masih merupakan lanjutan strategi bank sentral yang menerapkan 3 strategi kebijakan yaitu pre-emptive, front-loading, dan ahead the curve. Strategi itu kurang lebih dapat diartikan kebijakan yang lebih antisipatif dalam menghadapi perubahan kondisi ekonomi yang sangat cepat sehingga mencegah keterlambatan penanganan. Dengan strategi tersebut, BI berupaya mengurangi risiko terjadinya kejutan-kejutan akibat ketidakpastian ekonomi, khusunya situasi global.
Kondisi ekonomi global belakangan ini memang sedang memanas. Keteganganyang ditimbulkan oleh Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang mengarah ke perang dagang, dampaknya mulai menyebar ke negara-negara lain. Kawasan Amerika Utara, Eropa, bahkan Asia mulai merasakan efek dominonya. Kondisi itu tidak dapat dielakkan karena merupakan konsekuensi globalisasi dan terintegrasinya perdagangan antar negara.
Pergerakan indeks harga saham di berbagai kawasan umumnya menunjukkan trend menurun. Kurs mata uang berbagai negara pun juga masih tertekan.
Di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih di bawah level 5.800 yang merupakan level terendah tahun ini. Nasib kurs rupiah dibanding dolar tidak jauh berbeda, masih menunjukkan pelemahan. Dari bulan April yang masih pada kisaran 13.800 saat ini merangkak di kisaran 14.300.
Apa yang terjadi diantara AS dan Tiongkok dan dampaknya yang mengglobal tentu di luar kendali negara kita. Meski demikian, setidaknya kekuatan dan stabilitas ekonomi di dalam negeri dapat tetap terjaga. Dengan kondisi yang solid, implikasi perang dagang dan ketidakstabilan ekonomi global terhadap Indonesia setidaknya dapat diredam.
Secara garis besar, di luar indikator nilai tukar dan IHSG, kondisi ekonomi Indonesia dapat dikatakan cukup baik berdasarkan berbagai indikator lainnya. Inflasi masih rendah dan terkendali yaitu 3,23% (yoy) atau masih dalam rentang target inflasi nasional 3,5+/-1% (yoy). Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2018 juga masih baik didukung oleh permintaan domestik (pertumbuhan konsumsi dan kuatnya investasi).
Defisit transaksi pada neraca perdagangan menurun karena ekspor mengalami peningkatan ketimbang impor, yaitu dari defisit USD 1,63 miliar (April) menjadi USD 1,52 miliar (Mei). Posisi cadangan devisa pun masih tinggi yaitu USD 122,9 miliar yang diperkirakan cukup untuk pembiayaan impor selama 7,4 bulan.
Kondisi perbankan tetap terjaga yang antara lain ditunjukkan dari rasio kecukupan modal (CAR) yang cukup tinggi yaitu 22,1%, rasio kredit bermasalah (NPL) yang rendah yaitu 2,79% (gross), serta pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan Kredit yang masing-masing 8,1% dan 8,9% (yoy). Kebijakan suku bunga juga dilengkapi dengan pelonggaran rasio Loan to Value yang diharapkan dapat mengongkrak sektor properti.