Lihat ke Halaman Asli

Abdul Haris

TERVERIFIKASI

Menulis Untuk Berbagi

Ketika Perang Dagang AS dan Cina Berlanjut, Tak Perlu Takut

Diperbarui: 26 Juni 2018   09:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.foodbusinessnews.net

Amerika Serikat (AS) kembali menegaskan pengenaan tarif untuk barang-barang impor dari Cina yang mencapai nilai USD 200 miliar. Pembebanan tarif itu secara bertahap telah dimulai sejak 18 Juni lalu. Sikap itu merupakan reaksi balasan atas tindakan Cina yang sebelumnya mengeluarkan kebijakan pengenaan tarif untuk barang-barang dari AS.

Sebagaimana pernyataan Cina, 25% persen pengenaan tarifnya akan mencapai USD 34 miliar terhadap barang-barang dari AS. Kebijakan itu akan berlaku pada 6 Juli. Tindakan tersebut masih merupakan gelombang pertama. Untuk gelombang berikutnya, pengenaan tarif akan mencapai USD 16 miliar untuk waktu yang masih dijadwalkan.

Sikap saling membalas untuk pengenaan tarif tersebut menandai masih berlangsungnya perang dagang antar dua motor ekonomi dunia itu. Hubungan dagang mereka memiliki nilai yang terbesar di dunia.

Cina merupakan mitra dagang AS yang sangat strategis. Tahun 2017, Cina menduduki peringkat ketiga sebagai negara tujuan ekspor barang dan jasa AS dengan proporsi 8% (di bawah Kanada dan Meksiko). Untuk kategori impor, negeri tirai bambu itu menduduki peringkat pertama dengan penetrasi 18%. Valuasi ekspor tersebut yaitu USD 130 miliar dan nilai impor sejumlah USD 505 miliar.

Dengan kondisi itu, sekilas Cina akan menjadi pihak yang kalah dalam perang tarif melawan AS. Aktivitas bilateral dagang tersebut menunjukkan aliran barang sebagian besar mengalir dari Cina ke AS. Namun demikian, prediksi para analis, sebagaimana dilansir CNN, Cina tidak kehabisan akal untuk menyeimbangkan persaingan tarif itu. Cina diprediksikan bukan hanya akan memberlakukan pengenaan tarif perdagangan barang, tetapi juga ditambah dengan sektor non fisik yaitu  perdagangan jasa. 

Dalam hal ini, ekspor AS lebih besar daripada impor atau AS memperoleh surplus sebesar USD 32,9 miliar. Pariwisata mendominasi sektor jasa negara tersebut yakni sekitar 2/3 atau 63%. Jadi, dapat dikatakan, sektor itulah yang kemungkinan besar paling terpukul.

Masih lekat di ingatan kita ketika strategi semacam itu diterapkan kepada Korea Selatan beberapa waktu lalu. Saat itu, hubungan diplomatik kedua negara dimaksud memanas karena permasalahan misil senjata. Cina melarang agen travel perjalanan menjual paket wisata ke Korea Selatan. 

Dampaknya, sektor jasa terkait pariwisata di negeri ginseng itu, seperti hotel atau agen wisata, menurun drastis. Pariwisata merupakan sektor unggulan di Korea Selatan dengan 47% turis berasal dari Cina. Bukan tidak mungkin hal itu akan terjadi di AS.

Efek perang dagang sudah mulai terlihat. Riset dari Rhodium Group, sebagaimana dikutip The Guardian, menunjukkan penurunan 92% investasi Cina ke AS dalam 5 bulan pertama tahun ini. Persentase tersebut merupakan level terendah selama 7 tahun.

Kekhawatiran dampak perang dagamg yang berlanjut pun muncul dari perusahaan-perusahaan raksasa AS yang memiliki penetraai pasar besar di Cina. Sebut saja, Apple, Intel, Nike atau Starbucks. Wajar kekhawatiran itu muncul mengingat Cina terkenal berani mengambil tindakan tegas terhadap suatu perusahaan kelas dunia sekalipun. Cina pernah menghentikan layanan mesin pencari Google pada tahun 2010, sebagai contoh.

Efek yang Meluas

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline