Sudah hampir sebulan uji coba penggunaan plastik berbayar pada berbagai retailer diterapkan. Sejauh ini, tampaknya program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu berjalan efektif. Para kasir di toko ritel secara otomatis menawarkan penggunaan plastik berbayar kepada konsumennya. Konsumen sendiri juga relatif dapat menerima pemberkuan aturan itu, beli tanpa plastik atau bayar 200 perak. Evaluasi resmi pemerintah terhadap program ini akan dilakukan 3 bulan terhitung sejak uji coba dicanangkan.
Dalam tahap awal ini, pemerintah telah menunjukkan kesungguhannya akan perwujudan pengurangan sampah di Indonesia. Sebelumnya, payung hukum pengelolaan sampah telah diterbitkan, seperti UU No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, PP No. 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, dan terakhir, yang menjadi dasar pelaksanaan plastik berbayar ini, yaitu SE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. S.1230/PSLB3-PS/2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar.
Dalam jangka waktu panjang, jika kebijakan tas plastik berbayar diterapkan secara konsisten, pengurangan sampah di negeri ini pasti akan tercapai. Indonesia Solid Waste Association mencatat bahwa produksi sampah plastik di Indonesia menduduki peringkat kedua penghasil sampah domestic yaitu 5,4 juta ton/ tahun. Jumlah tersebut merupakan 14% dari total produksi sampah di Indonesia. Luar biasa kan.
Bukan Peluang Bisnis
Saya, sebagai warga negara tentu sangat mendukung program pemerintah ini. Namun, saya sebagai konsumen juga berharap bahwa kebijakan ini tidak memberatkan konsumen di satu sisi dan menguntungkan penyedia barang di sisi lain.
Sebelum aturan plastik berbayar diterapkan, kalkulasi pelaku bisnis retail tentu sudah memperhitungan biaya pembelanjaan plastik. Dengan diterapkannya konsumen untuk membayar plastik, sudah pasti pebisnis retail memperoleh keringanan beban pembelanjaan plastik itu. Atau bahkan, jika modal pembelanjaan plastik itu kurang dari Rp200,00 mereka malah dapat keuntungan tambahan. Untuk yang terkhir, saya tidak mengharapkan seperti itu. Penerapan aturan plastik berbayar harus dikembalikan kepada tujuan mulianya, yaitu mendidik masyarakat untuk peduli lingkungan.
Jika nanti dalam 3 bulan ke depan data statistic menunjukkan efektivitas program plastik berbayar ini dalam mengurangi sampah plastik maka kita patut memberikan applause kepada konsumen Indonesia yang telah sadar dan peduli terhadap penyelamatan lingkungan dari sampah plastik. Tak lupa, kita juga perlu memberikan respek para petugas kasir retail yang secara tegas telah membantu penegakkan ketentuan penggunaan plastik ini.
Pelaku Bisnis Peduli Lingkungan
Saat ini, di jendela kaca atau dinding swalayan dan ritel, dengan mudah kita dapat melihat tempelan ajakan kepada konsumen untuk peduli penggunaan plastik. Konsumen sejauh ini telah menaatinya, selanjutnya giliran pelaku bisnis juga mendukung program itu. Jadi, apakah cukup peritel membebankan biaya tambahan Rp200,00/ plastik maka mereka telah dinyatakan turut mensukseskan program ini? Menurut saya belum cukup.
Bagi para konsumen menengah ke atas mungkin membayar plastik seharga Rp200,00 bukan sesuatu yang memberatkan.Atau yang lebih mengkhawatirkan, seluruh konsumen semakin lama tidak lagi keberatan membayar Rp200,00. Di sinilah, para retailer harus mulai mampu menunjukkan perannya.
Pertama, perolehan pembayaran plastik sebaiknya tidak diperhitungkan sebagai bagian dari keuntungan yang sesungguhnya. Artinya, pemasukan dari sumber tersebut harus dialokasikan untuk kepentingan di luar bisnisnya. Misalnya, mengalokasikan hasil penjualan plastik untuk kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) di sektor daur ulang sampah plastik. Penyaluran bantuan kepada bank-bank sampah (pihak yang bergerak dalam aktivitas daur ulang sampah) non komersil juga dapat dipertimbangkan.