Bagi mereka yang bermain di microstock foto hari-hari ini pasti sedang jengah dengan keputusan manajemen Shutterstock yang mengubah rate komisi untuk para kontributor, baik pemasok foto, ilustrasi, maupun video.
Betapa tidak, penghasilan mereka bisa kepangkas hingga 70% akibat kebijakan baru. Sebelumnya, pendapat minimal untuk foto (kontributor level 1) adalah US$0,25 per sekali downdload. Makin tinggu level kontributor, pendapatannya akan naik menjadi US$0,33, kemudian US$0,38. Rate lebih tinggi jika foto, ilustrasi atau video diunduh atas permintaan. Muali US$1,88, US$2,48 dan terus bertambah sesuai level masing-masing.
Kebijkan baru yang diberlakukan mulai 1 Juni, benar-benar menghantam kontributor. Per unduhan hanya diberikan kompensasi mulai US$0,10 terus 0,12 dilanjut, 0,14 sampai 0,19. Nilai untuk unduhan berbasis permintaan juga menurun tajam. Dan untuk setiap 1 Januari, semua contributor akan di-reset ke tingkat awal. Jadi, setinggi apapun level contributor, akan kembali ke level 1 pada awal tahun dengan tingkat pendapatan mulai dari bawah. Begitu seterusnya.
Hal ini membuat kontributor, khususnya para senior berang. Begitu kebijakan dijalankan, perlawanan dimulai. Kontributor membanjiri media sosial dengan tagar #shutterstock. Segera muncul Group di Facebook, Stock Submitter Coalition. Ribuan orang bergabung di Group ini untuk membahas strategi melakukan perlawanan pada kapitalis.
Langkah pertama yang dilakukan kontributor adalah menghapus akun di Shutterstock (SS) atau menonaktifkan (disable). Dengan demikian foto, footage, atau video mereka tidak bisa lagi dijual oleh SS. Hasilnya mulai terlihat. Jumlah foto yang dijual di SS justru terus menurun saban hari, meski masih ada pemasok yang mengunggah karya mereka. Namun, jumlah unggahan baru tak sebanding dengan mereka yang mencabutnya.
Langkah lainnya adalah menjual ke microstock lain, semisal Getty Image, Dreamtime, Alamy, 123rf, dan lainnya. Memang, SS lebih agresif dalam hal penjualan dibanding perusahaan lain. Namun, ketika sejumlah foto eksklusif tak lagi dijual di situ, pembeli akan mencari ke tempat lain. Buktinya, ketika akun SS saya disable, penjualan di microstock lain meningkat.
Ada juga yang mengusulkan, ini kriminal, untuk membayar hacker guna mengobok-obok situs SS. "Saya yang membayar," ujar seorang kontributor senior. "Adakah hacker Rusia atau Ukrania yang bisa membantu?" Orang Rusia bereaksi, "Mengapa harus Rusia? Orang Amerika banyak yang bisa melakukan itu." Si peminta menjawab santai, "Tarifnya lebih murah." Hingga kini, opsi ini hanya sebatas wacana.
Sama juga dengan usulan untuk melakukan class action dengan menyewa pengacara. "Saya tak mau bayar pengacara hanya untuk meributkan US$0,10," kata seorang pengguna FB. Kendati demikian, jika opsi ini diambil ia siap membantu sokongan dana.
Yang dicemaskan kontributor sebenarnya bukan soal pendapatan di SS yang akan menurun drastis. Lebih dari itu, kebijakan SS dikhawatirkan akan menimbulkan "iklim baru" dalam bisnis microstock. Saat ini agensi lain masih diam karena mereka mendapat keuntungan dengan limpahan karya-karya baru atau lama. Stok mereka akan bertambah yang membuka peluang untuk meningkatkan penjualan.
Nah, ketika stok mereka dirasa sudah cukup, bisa jadi mereka melakukan hal yang sama dengan SS. Menurunkan rate. Apes sudah nasib kita. Kalau cuma US$0,10 per foto, masih kalah dengan Pak Ogah yang membantu mobil menyeberang atau memutar karena mereka memperoleh Rp2.000 untuk tiap kendaraan. Tanpa perlu modal kamera atau video, dan juga kemampuan teknis lainnya.
Kebijakan baru itu telah menimbulkan gelombang protes di kalangan kontributor. Melalui media sosial mereka menggaungkan hastag #BoycottShutterstock. Jika ini terus berlanjut, nasib SS bisa di ujung tanduk.***