Jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan diseleranggarakan secara serentak diseluruh Indonesia, para Elit Politik telah mempersiapkan kandidat atau calon yang bakal diusung untuk bertarung di daerahnya masing-masing calon kandidat tersebut. Jika mengacu pada Peraturan KPU (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Wali kota Tahun 2024, pelaksanaan pemungutan suara untuk Pilkada serentak dilaksanakan tepatnya pada hari rabu tanggal 27 November 2024.
Istilah Politik Dinasti dan atau Dinasti Politik tengah menjadi perbincangan yang hangat ditengah masyarakat, isu ini sering muncul dalam forum diskusi -- diskusi politik ditanah air, baik dalam Media online, media cetak maupun media elektronik, dan bahkan para netizen di indonesia pun tidak ketinggalan untuk membahas hal tersebut. mengingat beberapa waktu lalu ikut sertanya pencalonan anak Presiden RI. Joko Widodo yakni Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden pendamping Prabowo Subianto juga sebagai Calon Presiden yang mana pada tanggal 24 april Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi telah menetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih tahun 2024.
Pencalonan putra Presiden Joko Widodo menuai polemik ditengah masyarakat, terutama dikalangan para tokoh kaum intelektual atau cendekiawan yang menduga dan berpandangan bahwa majunya dalam Kontestasi Pilpres Gibran Rakabuming Raka dianggap Presiden Jokowi sedang membangun Dinasti Politik apalagi akan majunya sang menantu Boby Nasution dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) di Sumatera Utara dan juga isu akan majunya Kaesang Pangarep anak bungsu dari Presiden Joko Widodo dalam Pilkada serentak bulan November nanti.
Bahwa Politik Dinasti dan atau Dinasti Politik menarik untuk diulik, karena dua istilah tersebut merupakan dua hal yang berbeda, merujuk dalam laman resmi Mahkamah Konstitusi, yang dimaksud dengan Politik Dinasti adalah sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. sedangkan Dinasti politik lebih indentik dengan kerajaan. sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak.
agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga, dan jika merujuk pada Martien Herna Susanti dalam jurnalnya Journal of Government and Civil Society yang berjudul "Dinasti Politik Dalam Pilkada di Indonesia" yang dimaksud dengan Dinasti Politik adalah sistem reproduksi kekuasaan yang dilakukan secara primitif sebab mengandalkan darah keturunan dari beberapa orang.
Bahwa menurut hemat penulis, Dinasti Politik itu sangat berbahaya bagi Sistem Demokrasi dinegara kita, meskipun dilakukan secara prosedural melalui jalur politik atau dilakukan dalam proses Demokratis namun sangat berpotensi besar untuk mengahalangi akses bagi figur-figur atau tokoh-tokoh yang berkualitas dan berkompeten untuk bertarung dalam pesta demokrasi tersebut, dan Dinasti Politik juga berpeluang menutup ruang dan kesempatan bagi seseorang atau setiap individu dari seluruh elemen atau lapisan masyarakat yang lebih luas untuk masuk dan terlibat dalam dunia politik, dan itu mempunyai pengaruh buruk bagi pengkaderan dalam internal organisasi katakanlah dalam internal partai politik karena pasti tidak berjalan baik dan seolah tidak mempunyai efek dan manfaat karena kader yang disiapkan dan dipilih nanti untuk bertarung pada ajang pesta demokrasi tersebut yang pada akhirnya berdasarkan pada relasi atau hubungan keluarga dan atau darah keturunan bukan dari kader atau figur yang berpengalaman dan berkompeten. Dinasti Politik membuat orang yang mempunyai kompeten dan kapabilitas untuk menjadi pemimpin menjadi terhalang dan menjadi tidak berguna karena alasan bukan keluarga.
Dan juga Dinasti Politik juga berpotensi membuat sebuah pemerintahan tidak berjalan secara baik, efektif, adil, inklusif dan jujur. Sebab, cara kerja dinasti politik hanya memberikan kekuasaan kepada saudara dan kerabatnya saja dan fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif. Sehingga kemungkinan besar terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme begitu tinggi.
Namun disisi lain, negara memberikan kesempatan pada setiap warga negara untuk berhak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum dan ini juga merupakan hak politik bagi setiap warga negara dan dari latarbelakang keluarga dari mana, negara memberikan ruang untuk ikut dalam menyalurkan hak politiknya, karena ini dijamin dalam Undang-Undang kita pada pasal 43 Ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dinyatakan, "1.setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". 2.setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantara wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan"
Menurut hemat penulis, Dinasti politik harus dilarang dengan tegas dinegara kita, atau paling tidak negara membuat sebuah regulasi yang ketat untuk membatasi agar para elit politik tidak secara 'ugal-ugalan' untuk mengajukan kader atau figur yang berdasar pada hubungan kerabat/keluarga bukan karena kemampuan dan kompetensi seorang kader.
karena jika makin maraknya praktik ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka akan berefek buruk pada kaderisasi di partai politik karena karena kader dan figur yang dipilih atau dicalonkan adalah kader yang 'instan' yang memiliki hungan kerabat tanpa mempertimbangkan kompetensi atau kapabilitas seorang kader untuk memimpin sebuah daerah.