Lihat ke Halaman Asli

Guru Kelas Sebagai Guru TIK, Seberapa Efektif?

Diperbarui: 25 April 2016   15:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Bagi pendidik di Sekolah Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK), menjadi guru kelas sekaligus guru TIK adalah hal biasa. Merencanakan pembelajaran, menyiapkan, mengajar dan melaporkan hasil belajar siswa secara berkala adalah tugasnya. Matematika, bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial dan tentunya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) adalah mata pelajaran yang harus diampu. Untuk mata pelajaran seperti agama, olahraga, bahasa Inggris ataupun bahasa asing lainnya sengaja diampu oleh guru khusus atau specialist.

Sekolah SPK yang mengadopsi kurikulum internasional semacam International Baccalaureate, Cambridge atau yang lainnya misalnya. Kurikulum-kurikulum tersebut mengedepankan peran guru kelas sebagai guru TIK. Para guru wajib mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi kedalam setiap mata pelajaran yang diampunya tanpa terkecuali.

Sedikit flashback tentang kompetensi guru. Seseorang mulai dipanggil guru manakala ia telah menyelesaikan pendidikan wajib keguruan yang berjenjang. Guru matematika dianggap cakap mengampu mata pelajaran tersebut dikarenakan ia telah memenuhi semua persyaratan wajib seperti menguasai pengetahuan kematematikaan, cara mendidik siswa maupun persyaratan penunjang lainnya.

Sebaliknya ia disebut guru TIK manakala ia telah mengenyam pendidikan dan atau pelatihan tentang ilmu komputer, pengetahuan seputar teknologi informasi dan komunikasi beserta permasalahannya dan tidak terkecuali ketrampilan mengajar.

Pertanyaannya “Seberapa efektif guru kelas mengampu mata pelajaran TIK?” Jika tidak efektif, bukankah kurikulum dapat membantu guru kelas mengintegrasikan TIK kedalam mata pelajaran lainnya? Atau, bukankah pelatihan khusus dapat menjadikan guru kelas cakap dalam mengampu mata pelajaran tersebut?

Sebaliknya jika efektif, “Bukankah untuk menjadi guru TIK kita harus melalui pendidikan ataupun pelatihan khusus, memiliki pengetahuan yang cukup serta ketrampilan menangani permasalahan piranti keras ataupun lunak?” Mengingat tidak semua guru kelas terampil dalam hal tersebut. Pun demikian, tidak semua guru TIK mumpuni dalam mengampu mata pelajaran lainnya.

Wijayah Kusumah, seorang pakar TIK sekaligus sekertaris jenderal Asosiasi Guru TIK dan KKPI Nasional (AGTIKKNAS) dalam tulisannya mengemukakan “TIK tidak bisa diberikan materinya kepada semua guru mata pelajaran, karena belum semua guru matpel di Indonesia menguasai TIK dengan baik dan benar” (Wijaya Kusumah, 2016, diakses tanggal 23 April 2016). Sebuah organisasi pecinta komputer di Irlandia, Irish Computer Society (ISC) melalui sebuah laporannya di situs https://www.ics.ie/news/view/1131, mengenai e-skills for jobs di tahun 2014 mengungkapkan bahwa pada akhir tahun 2015 Uni Eropa diperkirakan akan mengalami kekurangan tenaga TIK professional yang berkualitas lebih dari setengah juta dan meningkat menjadi 900 ribu tenaga professional pada tahun 2020.

Berikutnya, sebuah laporan yang datangnya dari pemerintah Irlandia yang menemukan bahwa hanya 30% dari keseluruhan guru sekolah dasar yang ada dan 25% dari guru sekolah menengah yang mengatakan jika mereka merupakan pengguna TIK yang standar-standar saja; kemudian kurang dari 25% yang menganggap jika mereka mampu mengaplikasikan TIK secara efektif dalam mengajar (Irish Computer Society, 2016).

Apakah fakta-fakta tersebut diatas merupakan imbas dari diterapkannya kebijakan guru kelas sebagai guru TIK? Atau barangkali itu adalah dampak dari dihapuskannya mata pelajaran TIK dari Kurikulum di negara mereka, sama halnya dengan yang terjadi pada kurikulum2013 kita.  

Di abad web 2.0 seperti sekarang ini, guru dituntut untuk tidak hanya mampu menggunakan perangkat lunak pengolah kata, pengolah angka dan spreadsheet saja. Namun, sebagai guru abad 21 mereka harus memiliki keterampilan digital yang meliputi cloud storage and sharing solutions, social media, web editing, image editing, presentation software dan general multimedia.

Dalam tulisan saya terdahulu, saya mengutip pendapat Becta, 2014, mengenai dua hambatan besar dalam mengaplikasikan TIK sebagai media pembelajaran di sekolah yaitu teacher-level barriers yang meliputi kurangnya waktu, kepercayaan diri, penolakan akan suatu perubahan dan sikap-sikap negatif lainnya; dan school-level barriers yang meliputi kurangnya pelatihan terhadap kesiapan guru atas permasalahan-permasalahan teknis maupun minimnya kesempatan untuk mengakses sumber daya yang tersedia. Suka atau tidak, keduanya pun memiliki keterkaitan dan berkontribusi besar terhadap efektifitas pengajaran TIK di sekolah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline